"Anna!" seru Ramores, tak ada suara yang Anna lontarkan kecuali pergerakan mulut mungilnya. Dan tiba-tiba tubuhnya melemas, matanya terpejam. Cedrix hanya menatapnya diam, sementara Gerhana matahari mulai memudar. Lalu ia melengkingkan teriak. Saat itulah...,
Indonesia, 2016...,
Anna tersentak bersamaan saat Cedrix melepaskan kepalanya, nafasnya sedikit tak beraturan, semua yang ia lihat tadi..., kenapa nama gadis itu sama dengan namanya, bahkan wajahnya. Dan Cedrix, juga sama, yang berbeda..., hanya pria yang bernama Ramores. Ia tak pernah melihatnya sebelumnya, ini tak masuk akal, tapi...,
Anna mengangkat wajahnya menatap Cedrix yang sudah berdiri kembali, ia memungut cawan dan pisau. Lalu kembali berjalan ke arah Anna, memutarinya dan berhenti di belakangnya. Sesaat kemudian, Anna merasakan perih di telapak tangan kanannya,
"Argh!" raungnya seketika, ia rasakan darahnya mengalirkan, menetes di kulitnya. Lalu Cedrix sudah kembali berdiri di depannya dengan menenteng cawan itu, terlihat oleh mata Anna, Cedrix mengiris telapaknya sendiri dan meneteskan darah di cawan itu, bercampur dengan darah dirinya. Anna menggeleng pelan. Ia meronta sekuat tenaga dari ikatan tali yang mengikat tangannya di bekakang kursi. Entah ini benar atau tidak, ia tidak akan membiarkan Cedrix melakukan ritual gila ini. Ia melirik matahari yang sudah mendekati sempurna tertutup bulan.
Mulut Cedrix berkomat-kamit mengucapkan kalimat yang tak Anna mengerti, tapi rasanya ia mengenali kalimat itu, lalu Cedrix menempelkan pisau itu ke ubun-ubun Anna masih dengan mengucapkan mantra-mantra. Terdengar beberapa hewan bersayap beterbangan, angin juga bertiup di iringi gumpalan awan pekat. Padahal baru saja langit cerah, angin pun tenang. Tapi kini, hati Anna mulai gelisah. Ia tak tahu apa yang terjadi, apakah Cedrix mengira dirinya adalah Annabelle yang itu. Yang meninggal oleh perbuatannya sendiri, pria itu berfikir dirinya adalah reinkarnasi Annabelle?
Tapi namanya memang sama, wajahnya juga sama dengan dirinya. Dalam rontanya, Anna memejamkan mata. Ia mencoba untuk tenang, untuk berfikir. Tapi saat itulah justru ia merasakan sesuatu yang aneh menjalari dirinya. Seperti sengatan listrik mengalir di dalam nadinya. Ia seolah mengingat semua hal yang tak pernah ia tahu selama ini. Termasuk Cedrix, perlahan ikatan di tangan dan tubuhnya memudar. Pakaian hitam yang ia kenakan dari rumah berubah menjadi serba putih, seperti pakaian pengantin, atau lebih tepatnya seperti seorang putri di belahan dunia bagian barat. Ia membuka matanya perlahan.
Cedrix mendongak ke arah Gerhana matahari yang kini sedang total, ia memimun isi di dalam cawan itu lalu menoleh ke arah Anna. Tapi tubuhnya terlonjak karena kini Anna sudah berdiri dengan pakaian yang berbeda. Menatapnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu merenggutku ke dalam kegelapan Cedrix!" serunya lalu mendorong tubuh Cedrix dengan telapak tangannya, Cedrix terpental jauh bersama cawan yang kini menumpahkan isinya. Tubuh Anna dalam sekejap sudsh berada di sisi Cedrix, membawanya bangkit dengan kekuatannya, angin bertiup cukup kencang saat itu. Cedrix mencoba melawan, tapi ia tahu saat ini kekuatan Anna tak bisa ia tandingi.
Jadi..., jadi dirinya sudah lebih dulu menemukannya. Ia terlambat!
Anna mengangkat tubuh Cedrix tinggi-tinggi dengan kekuatannya, keluar cayaha terang dari tangannya, lalu ia menyentakan cahaya itu keras ke tubuh Cedrix hingga terpental ke batang pohon. Tubuh Cedrix sedikit kelojotan, lalu terdiam dan melebur ke udara. Tak berbekas. Gerhana matahari mulai memudar, langit kembali cerah. Tiupan angin mereda, Anna menatap tangannya sendiri. Kini ia mulai mengerti, karena seakan ada sesuatu dalam dirinya. Keping-keping masalalu seolah menyatu.