[caption caption="gerhana matahari, masshar.com"][/caption]
Indonesia, 9/3/2016
Ringtone dengan lagu A Thousand Years dari Christina Perry menggema, benda mungil itu juga bergetar di atas meja. Meraung-raung melantunkan lagu kesukaan Anna, sejak pertama kali lagu itu ia dengar beberapa tahun lalu sebagai sountrack film Twilight, ia langsung jatuh hati.
Annabelle, gadis yang hari ini tepat berulang tahun yang ke 20, bergegas menyambar hpnya sambil memakai anting berumbai panjang yang ujungnya berbentuk kelopak bunga lilac berwarna violet, ia menengok nama si penelpon. Tiffani, ia sudah duga. Temannya itu memang tidak sabaran sekali, atau..., memang dirinya saja yang lelet!
Ia menyilakan rambutnya dari dahi hingga ke belakang lalu memungut hpnya dan menerima panggilan itu, dan seperti yang sudah ada dalam otaknya, ia langsung saja di semprot oleh omelan cempreng Tiffani.
"Aduh, Anna. Ini sudah jam berapa, cepat keluar dari kamar sialanmu itu. Atau aku yang akan menyeret kupingmu!" umpatnya,
"Sorry Fan..., aku ketelatan bangun nih!" sahutnya menanggapi omelan Tiffani dengan tenang, kenapa harus panik. Tiffani memang cerewet setengah hidup.
Hari ini Anna ketelatan bangun dari jadwal yang sudah di sepakati, bahwa mereka akan pergi tepat jam lima pagi. Berhubung ini tanggal merah untuk NYEPI bagi umat Hindu, mereka berencana untuk berlibur sembari menikmati Gerhana Matahari Total yang akan melintasi Pangkalan Bun. Sekaligus merayakan hari ulangtahunnya. Berhubung ini adalah hari spesial kuadrat baginya, ia harus tampil cantik. Terutama di depan Roy, cinta matinya. Gadis indo-eropa itu memang jatuh hati setengah mati dengan Roy, meski mereka belum resmi pacaran.
"Anna, cepetan!" seru Tiffani ketika melihat sahabatnya keluar dari gerbang rumahnya dan menghampiri mobil Soni, pacar Tiffani. Mereka sepakat pergi menggunakan mobil Soni.
"Bawel!" balas Anna begitu masuk ke jok belakang yang sudah ada Roy di sana yang menatapnya kagum, iapun membalas tatapan itu dengan tersipu malu. Seketika wajahnya memerah seperti kepiting rebus, "iye..., Anna emang cantik. Sampai segitunya kamu melototin!" seru Tiffani menyentak kekaguman Roy, "hati-hati Roy, entar mata kamu meloncat dari tempurungmu. Ha...ha...ha...!" tawanya menggelegar, Soni hanya menggeleng saja sambil tersenyum dengan tingkah pacarnya. Mulai menjalankan mobilnya.
Selama perjalanan mereka isi dengan tawa dan cengkrama, hingga...,
"Aduh... Ssshhhh!" desis Anna lirih, tapi itu masih terdengar oleh Roy. Pemuda yang hanya setahun lebih tua darinya itu menatapnya aneh, "kenapa An?" tanyanya,
Anna menoleh seketika, tadinya mau ia tahan dulu tapi rasanya..., "nggak apa-apa!" sahutnya lalu menyorokan kepalanya di sela kursi depan yang di duduki Tiffani dan Soni, ia berbisik pada Tiffani, "Fan..., aku kebelet pipis nih!" katanya. Tiffani langsung melotot dan berseru,
"Hah..., mau pipis!" teriaknya,
Busset..., main nyablak aja tuh cewe, bikin pipi Anna merona. Anna pun meringis malu-malu saat dua cowo itu menolehnya, terutama Roy, "ih..., apaan sih... nggak perlu teriak-teriak kali!" kesalnya kembali ke duduknya.
"Emangnya kamu belum pipis tadi, kita nungguin sampai jamuran di depan gerbang kamu ngapain aja?" katanya memiringkan kepalanya melirik ke belakang.
"Ih, kamu super bawel deh. Gimana nih..., udah nggak tahan!" rengek Anna, "ya udah, kita cari...," sahut Tiffani yang di potong kembali oleh Anna, "sumpah, nggak tahan banget nih. Turun dimana aja deh, cepetan!" serunya tak peduli lagi dengan rasa tengsinnya terhadap Roy.
Melirik wajah Anna yang memerah membuat Soni harus menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dalam sekejap Anna sudah melesat nggak tahu kemana, ada beberapa rumah warga di sana. Mungkin dia memasuki salah satunya buat numpang pipis. Lebih dari 10 menit menunggu, gadis itu tak kunjung datang.
"Itu teman kamu pipis apa ngapain sih, lama banget. Kita bisa ketelatan nih!" keluh Soni, "ya aku kan di sini, kalau mau tahu susul aja sono!" ketus Tiffani, "tapi..., iya ya. Kok Anna lama sekali ya. Coba aku turun ya?" seru Tiffani yang langsung meloncat tanpa persetujuan Soni. Ia celingukan untuk memikirkan rumah yang mana kemungkinan Anna numpang ke kamar kecil.
Lalu ia melangkah ke rumah yang lebih dekat saja, mengetuk. Lama tak di buka ia mengetuk kembali. Sepi. Nampaknya tak ada orang, ia mengintip lewat jendela. Tertutup gorden, lalu ia pindah ke rumah lainnya. Kali ini orangnya, berbicara dengan Tiffani sejenak, lalu Tiffani mulai memutari rumah itu untuk pergi ke belakang rumah itu karena kamar kecilnya ada di belakang rumah, terpisah dari ruamhnya. Soni dan Roy mengamati dari dalam mobil saja.
Tiffani mendekati kotak bangunan yang sepertinya hanya seluas satu meter persegi itu yang sudsh cukup usang. Pintunya terbuka, ia melongok ke dalam dan tak menemukan temannya. Ia pun celingukan sambil memanggil-manggil nama Anna. Tapi tak ada jejak.
"Anna, An..., kamu dimana?" serunya, "jangan becanda dong..., kan kamu yang paling semangat mau lihat gerhana. Keluar kenapa sih!" kesalnya, masih sepi. Ia celingukan lagi memandangi sekitarnya. Belakang rumah ini langsung terhubung ke hutan. Hanya tersekat kebun. Lalu mata Tiffani menangkap sesuatu, iapun mendekatinya karena ia merasa mengenalinya. Dan benar, ia memungut benda itu dari tanah yang di penuhi geguguran daun kering. Itu adalah anting yang Anna pakai tadi pagi. Ia kenal betul karena Anna membelinya bersama dirinya.
Tiffanipun mulai panik, ia segera menelpon Soni.
"Son, Anna ilang!"
"Apa, ilang. Jangan becanda Fan?" Soni masih belum panik, "siapa yang becanda, kata pemilik rumah ini emang Anna numpang pipis di kamar kecil di belakang rumah. Tapi sekarang nggak ada, aku cuman nemuin antingnya doang!" katanya mulai menangis.
"Serius?"
Roy mendekat, "Anna ilang!" seru Soni. Lalu keduanya langsung berhambue meninggalkan mobil.
* * *
Anna membuka matanya perlahan, masih samar. Ia mengerjap beberapa kali, kepalanya masih sedikit pening oleh aroma yang ia hirup dari sapu tangan yang membungkamnya sampai pingsan. Lalu ia mencoba memperjelas pandangannya, hanya pepohonan yang ia lihat. Dan sosok seorang pria yang hanya ia lihat dari punggungnya.
Pria itu tengah menatap matahari yang sudah bersinar. Ya Tuhan, berapa lama dirinya pingsan? Ia mencoba menggerakan tubuhnya tapi ternyata kedua tangannya terikat. Ia duduk di sebuah kursi kayu, ia pun meronta. Matanya menatap garis-garis di sekitarnya. Ia mengamati garis-garis itu yang akhirnya ia mengenalinya seperti lingkaran yang di sebut lingkaran setan oleh para penganut ilmu hitam di negara barat. Ia mulai semakin panik.
"Kau sudah sadar?"
Suara itu amat ia kenali, ia mengangkat kepalanya untuk menatap dan memastikan. Ia membulatkan matanya lebar ketika memang benar, "Cedrix!" desisnya.
"Iya sayang, ini aku!" katanya mendekat. Pria itu berlutut di depannya, memungut wajahnya, "sebentar lagi kita akan bersama, selamanya..., aku akan melepaskanmu dari tubuh tak abadimu ini!" bisiknya, Anna menatapnya dengan tatapan aneh.
"Kamu bicara apa, Key. Aku nggak ngerti. Lepaskan aku!"
"Jangan takut sayang, aku tidak akan menyakitimu. Sebentar lagi, setelah ritual pernikahan suci kita. Kau akan terlepas dari tubuh ini, dan kita akan abadi selamanya!" katanya membelai wajah Anna,
"Pernikahan, ah..., kamu gila ya. Pernikahan apa, lepasin aku Key!" rontanya, "Cedrix, Anna sayang, aku tidak suka kau memanggilku Key. Kau masih tidak mengingatku Anna, meski aku sudah menggunakan nama asliku. Apa kau tahu, aku sudah menunggumu selama tiga generasi, aku mencarimu ke semua negri. Dan sekarang, kau di sini. Bersamaku!"
"Terserah apa kata kamu, lepaskan aku!" teriaknya meronta, karena wanita yang di ajaknya bicara itu masih tidak mengerti juga. Atau bahkan mungkin memang tidak mau tahu, maka Cedrix mempererat pegangannya pada kepala Anna, memaksanya untuk menatap matanya.
Sesuatu yang aneh Anna rasakan, ia seperti melihat cahaya berkilauan bergerak cepat sekali menembusinya, akalnya, ingatannya....,
New Orlean, Februari 1916...,
Wanita itu menatap matahari yang hampir total tertutup rapat oleh bayangan hitam, memakai gaun pengantin yang sangat indah, tapi gaun itu tidak berwarna putih melainkan hitam. Di sisinya, seorang pria yang juga berpakaian hitam, sedang membaca mantra seraya mengiris telapak tangannya dengan pisau kecil yang mengkilat, lalu meneteskan darahnya ke sebuah cawan perak. Sang wanita memutar tubuhnya hingga mengahdap pria itu, mengulurkan tangannya agar bisa ikut serta meneteskan darahnya ke cawan itu. Karena setelah darah mereka bercambur dan di mantrai, mereka akan meminumnya secara bergantian. Itu adalah ritual pernikahan yang akan mereka jalani di bawah gerhana matahari total, ketika gerhana sempurna mereka akan saling mencium dan keabadian akan menghampiri bersama kekuatan hitam yang besar. Darah murni yang di miliki sang gadis akan mengalirkan kekuatan mahadasyat ke tubuh mereka jika mereka bersatu dalam ikatan pernikahan di bawah gerhana, mereka akan menjadi penyihir terhebat yang pernah ada. Tapi sebaliknya, jika darah murni gadis itu menyatu dengan kekuatan putih, juga akan menghasilkan kekuatan tiada tara dalam kebaikan, dan jika menyatu dengan darah biasa, maka akan lenyap selamanya.
Cedrix tidak akan menyia-nyiakan hal itu, setelah sekian lama ia membuat Annabelle jatuh hati padanya. Ia akan membuat Annabelle menjadikannya penyihir terhebat dan abadi.
Tapi saat Cedrix baru saja mengiris telapak tangan Anna, sebuah suara menghentikannya, "Anna!" keduanya menoleh, itu Ramores, bersama ibu Anna. Ramores adalah sahabat kecil Anna yang juga menaruh hati pada Anna, dari awal ia sudah mencurigai bahwa Cedrix adalah seorang penyihir hitam.
Melihat ada pengganggu, Cedrix menjadi murka, ia menyerang Ramores dan ibu Anna dengan kekuatannya. Pada saat itulah Anna sedikit tersadar, ia bersedia melakukan ritual itu karena di bawah pengaruh sihir Cedrix meski ia memang jatuh pada pria itu. Cedrix masih mencoba menyerang Ramores yang mencoba melawan dengan kekuatan seadanya. Anna melihat Ramores mulai terpojok, "Cedrix, stop it!"
Tapi teriakannya tak di dengar oleh Cedrix yang terus menyerang Ramores yang sudah lemah hingga terpental-pental, tak berfikir lama..., Anna langsung berlari. Tanpa sepengetahuan Cedrix, tiba-tiba Anna berada di depan tubuh Ramores hingga harus terkena kekuatan mematikan yang harusnya di tujukan pada Ramores. Setelah serangan Cedrix tarik, perlahan tubuh Anna roboh ke tanah di samping tubuh Ramores.
"Anna!" seru Ramores, tak ada suara yang Anna lontarkan kecuali pergerakan mulut mungilnya. Dan tiba-tiba tubuhnya melemas, matanya terpejam. Cedrix hanya menatapnya diam, sementara Gerhana matahari mulai memudar. Lalu ia melengkingkan teriak. Saat itulah...,
Indonesia, 2016...,
Anna tersentak bersamaan saat Cedrix melepaskan kepalanya, nafasnya sedikit tak beraturan, semua yang ia lihat tadi..., kenapa nama gadis itu sama dengan namanya, bahkan wajahnya. Dan Cedrix, juga sama, yang berbeda..., hanya pria yang bernama Ramores. Ia tak pernah melihatnya sebelumnya, ini tak masuk akal, tapi...,
Anna mengangkat wajahnya menatap Cedrix yang sudah berdiri kembali, ia memungut cawan dan pisau. Lalu kembali berjalan ke arah Anna, memutarinya dan berhenti di belakangnya. Sesaat kemudian, Anna merasakan perih di telapak tangan kanannya,
"Argh!" raungnya seketika, ia rasakan darahnya mengalirkan, menetes di kulitnya. Lalu Cedrix sudah kembali berdiri di depannya dengan menenteng cawan itu, terlihat oleh mata Anna, Cedrix mengiris telapaknya sendiri dan meneteskan darah di cawan itu, bercampur dengan darah dirinya. Anna menggeleng pelan. Ia meronta sekuat tenaga dari ikatan tali yang mengikat tangannya di bekakang kursi. Entah ini benar atau tidak, ia tidak akan membiarkan Cedrix melakukan ritual gila ini. Ia melirik matahari yang sudah mendekati sempurna tertutup bulan.
Mulut Cedrix berkomat-kamit mengucapkan kalimat yang tak Anna mengerti, tapi rasanya ia mengenali kalimat itu, lalu Cedrix menempelkan pisau itu ke ubun-ubun Anna masih dengan mengucapkan mantra-mantra. Terdengar beberapa hewan bersayap beterbangan, angin juga bertiup di iringi gumpalan awan pekat. Padahal baru saja langit cerah, angin pun tenang. Tapi kini, hati Anna mulai gelisah. Ia tak tahu apa yang terjadi, apakah Cedrix mengira dirinya adalah Annabelle yang itu. Yang meninggal oleh perbuatannya sendiri, pria itu berfikir dirinya adalah reinkarnasi Annabelle?
Tapi namanya memang sama, wajahnya juga sama dengan dirinya. Dalam rontanya, Anna memejamkan mata. Ia mencoba untuk tenang, untuk berfikir. Tapi saat itulah justru ia merasakan sesuatu yang aneh menjalari dirinya. Seperti sengatan listrik mengalir di dalam nadinya. Ia seolah mengingat semua hal yang tak pernah ia tahu selama ini. Termasuk Cedrix, perlahan ikatan di tangan dan tubuhnya memudar. Pakaian hitam yang ia kenakan dari rumah berubah menjadi serba putih, seperti pakaian pengantin, atau lebih tepatnya seperti seorang putri di belahan dunia bagian barat. Ia membuka matanya perlahan.
Cedrix mendongak ke arah Gerhana matahari yang kini sedang total, ia memimun isi di dalam cawan itu lalu menoleh ke arah Anna. Tapi tubuhnya terlonjak karena kini Anna sudah berdiri dengan pakaian yang berbeda. Menatapnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu merenggutku ke dalam kegelapan Cedrix!" serunya lalu mendorong tubuh Cedrix dengan telapak tangannya, Cedrix terpental jauh bersama cawan yang kini menumpahkan isinya. Tubuh Anna dalam sekejap sudsh berada di sisi Cedrix, membawanya bangkit dengan kekuatannya, angin bertiup cukup kencang saat itu. Cedrix mencoba melawan, tapi ia tahu saat ini kekuatan Anna tak bisa ia tandingi.
Jadi..., jadi dirinya sudah lebih dulu menemukannya. Ia terlambat!
Anna mengangkat tubuh Cedrix tinggi-tinggi dengan kekuatannya, keluar cayaha terang dari tangannya, lalu ia menyentakan cahaya itu keras ke tubuh Cedrix hingga terpental ke batang pohon. Tubuh Cedrix sedikit kelojotan, lalu terdiam dan melebur ke udara. Tak berbekas. Gerhana matahari mulai memudar, langit kembali cerah. Tiupan angin mereda, Anna menatap tangannya sendiri. Kini ia mulai mengerti, karena seakan ada sesuatu dalam dirinya. Keping-keping masalalu seolah menyatu.
* * *
"Pak, tolonglah..., kalau terjadi sesuatu dengan teman kami. Kami bisa mati di gorok papanya..., pak Polisi... Anda tidak tahu siapa papanya, plissss!" rengek Tiffani di kantor polisi, sudah lebih dari satu jam ia merayu kepala polisi di sana, yang sudah menyuruhnya untuk menunggu 1x24 jam baru Anna bisa di nyatakan hilang.
"Fan!"
Tubuh Tiffani menegang seketika, begitu pun Soni dan Roy. Apalagi ketika melihat sosok yang berdiri di dekat pintu masuk polsek itu.
"Anna!" desis Tiffani tak percaya, itu memang Anna. Hanya..., terlihat berbeda, bukan hanya karena pakaiannya yang seperti hendak menikah. Tapi ada sesuatu yang memang berbeda pada diri Anna yang biasanya gampang panik dan penakut. Terlihat sangat tenang, dan terlihat lebih dewasa.
Anna tersenyum pada sahabatnya lalu mengerling pada Roy yang juga memandangnya tak percaya.
Â
__________o0o__________
Â
©Y_Airy | 9 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H