Lima Chapther Terakhir...
Â
Sebelumnya, The Wedding #Part 38
Â
"Papapa...," tangis Nino menggema memenuhi ruangan mobil, "papa....mom.....mommy....!" anak kecil itu memang sudah lancar mengucapkan beberapa kata, beberapa bulan dekat dengan Nicky membuatnya menganggap pria itu benar sebagai papanya. Selama 4 bulan terakhir ia memang memanggilnya papa. Tentu, usianya sekarang sudah 20 bulan.
Ivana mendekatkan diri ke babychair yang di duduki Nino, mengelus pipinya, "maafkan mommy sayang, tapi papa Nicky bukan papa kamu lagi. Kita harus pergi!" airmatanya menetes, itu memang kesalahannya. Nicky benar, ia telah mempermainkan perasaan putranya sendiri. Ternyata cukup menyakitkan kini mengetahui semua itu, melihat putra kecilnya menangis karena akan berpisah dengan pria yang sudah seperti papanya itu.
"No..., papa...!"
"Sayang..., please...," katanya mengecup kening anak itu untuk menangkannya, ia memeluknya dalam tangis. Tapi semakin lama ia beranjak akan semakin berat dan tak tega ia melihat putranya menangis seperti itu. Iapun menghapus airmatanya lalu mulai menyalakan mesin mobil.
Fajar baru saja menyingsing, menunggu mentari memulai hari. Ia harus segera pergi sebelum Nicky melihatnya, ia sengaja tak mau ada perpisahan antara Nicky dan Nino, karena itu akan cukup berat. Ia yakin Nino akan segera melupakan Nicky sebagai papanya meski kekosongan akan menyergap hati putra kecilnya untuk beberapa saat, anak itu masih cukup kecil untuk bisa membawa ingatannya tentang Nicky hingga beranjak dewasa. Meski mungkin, jika suatu saat nanti mereka bertemu lagi, ikatan batin itu masih menyisakan jejak.
Nicky menatap mobil Ivana dari balik jendela kamarnya dulu yang selama ini di tinggali Ivana bersama Nino, entah kenapa ia merasa cukup berat melepas kepergian Nino. Meski anak itu bukan darah dagingnya, tapi ia menyayanginya seperti anaknya sendiri. Dan menatap wajah anak itu saat perpisahan pasti akan sangat menyakitkan, itu sebabnya ia sengaja hanya mengintipnya saja dan pura-pura tak tahu saat kepergiannya.
Setelah mobil itu menghilang dari balik gerbang iapun membalikan tubuhnya, menatapi ruangan itu yang masih bisa ia rasakan tawa dan tangis Nino. Masih ada beberapa mainan yang ia belikan terpajang di lemari kaca.
Damn!
Ia merutuki Ivana dalam hati. Wanita itu kini membuatnya merasa kehilangan seseorang lagi selain Liana, tapi ia juga berterima kasih karena telah membuatnya merasa menjadi seorang ayah. Hal yang juga menjadi salah satu ketakutanya. Mengingat Liana...,
Dadanya kembali menyesak, senyuman wanita itu juga masih bisa ia rasakan di dalam kamar ini. Sebutir buliran bening menetes kembali, ia merasa menjadi cengeng setelah bertemu Liana. Benarkah cinta itu mampu membuat hati seseorang yang seperti karang menjadi lunak?
* * *
Rizal mulai menyiapkan barang-barang untuk membuat sarapan pagi yang cocok, saat mencari pisau di dalam rak, matanya menemukan sesuatu di tong sampah yang masih bersih itu. Ia menatapinya lama sebelum memungutnya, sweter yang Liana buat untuk Nicky!
Kenapa Liana membuangnya? Â
Benarkah wanita itu ingin mengubur Nicky dari hidupnya?
Tapi jika itu membuat keadaan menjadi lebih baik, mungkin memang itu yang harus di lakukan.
Nicky masih mengingat semua yang di ucapkan Liana kemarin selama perjalanan, tentu ia tak akan melupakan hal itu. Terutama mata sembabnya yang selalu berpura-pura tegar. Tapi sesungguhnya, ia tak tahu bagaimana harus memulai saat bertemu wanita itu, apakah ia akan sanggup menatap matanya?
Tapi bagaimanapun ia tetap harus menemuinya, jika Liana tak mau menyisakan maaf lagi untuknya, ia akan menerima. Tapi ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi lagi dari hidupnya, karena kepergian Liana telah membunuh sebagian jiwanya. Membuat kekosongannya kian nyata, ia kembali merasa menjadi batu karang ketika wanita itu pergi.
"Kau harus makan meski hanya sedikit!" bujuk Rizal, sendok masih di tangannya, melayang di udara. Karena Liana tak bereaksi iapun menaruhnya kembali ke dalam mangkok di atas meja.
"Liana, aku tidak suka kau seperti ini. Ini bukan dirimu,"
Tapi Liana tetap diam saja, ia tahu mungkin wanita itu masih membutuhkan waktu untuk bisa kembali bangkit. Tapi jika terus seperti ini, keadaannya bisa drop dan masuk rumah sakit.
"Kau sudah janji untuk bangkit kembali, jadi berhenti menyiksa dirimu sendiri. Karena itu...,"
Tok - tok - tok -tok...,
Suara ketukan di pintu membuatnya harus memutus kalimatnya, ia menoleh keluar kamar sejenak lalu kembali menatap Liana yang sepertinya mulai di serang rasa panik dengan suara ketukan itu.
"Aku akan lihat siapa yang datang, kau tak perku kuatir. Aku ada di sini!" hiburnya laku bangkit dan keluar kamar, ia mengintip dari jendela terlebih dulu untuk mengetahui siapa tamunya. Ia mengernyit melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Rizal terdiam beberapa saat sebelum membuka pintu. Saat pintu hendak terbuka, Nicky mengambil nafas panjang untuk mengurangi kegugupannya. Ia sendiri bingung harus bagaimana setelah bertatap muka dengan Liana, tapi sosok yang muncul ketika pintu itu terbuka harus membuatnya terpaku. Itu Rizal, bukan Liana.
Kedua pria itu saling tatap. Diam seribu bahasa. Rizal menatapnya nanar, ada kilatan benci di kolam matanya, juga amarah. Nicky melihat itu, tak perlu bertanya untuk mengetahuinya.
"Mau apalagi kau?" tanya Rizal datar, Nicky juga tak perlu bertanya kenapa Rizal bersikap seperti itu. Rizal memang pantas bersikap seperti itu padanya,
"Aku...,"
"Kau mau menemui Liana kan, sayangnya dia tidak mau bertemu denganmu lagi!" potong Rizal, "Tapi aku ingin bertemu dengannya!" tukas Nicky.
"Untuk apa?" potong Rizal lagi, "untuk bisa menyakitinya lagi, untuk menghinanya, kau masih belum puas memperlakukannya seperti sampah, sekarang apa lagi?" seru Rizal setengah berteriak, nafasnya mulai tak beraturan.
Nicky terbungkam.
"Kau hanya bisa melukainya, Nicky!" tuduh Rizal, "aku tidak tahu apa yang kau lakukan padanya saat aku tidak ada, tapi itu cukup menghancurkannya. Apa kau tidak ingat..., bagaimana dia berjuang untuk mengembalikan kehormatannya? Tentu kau masih ingat kan. Tapi entah apa yang kau lakukan sehingga membuatnya seperti ini__" Rizal diam sejenak menatap Nicky tajam, " kau ingin melihatnya kan, kau ingin melihatnya?" tanya Rizal lalu masuk ke dalam.
Nicky masih diam sampai Rizal berhenti di depan sebuah pintu yang terbuka di dalam rumah mungil itu, perlahan Nickypun mengayunkan langkah mendekatinya. Mata Rizal terkunci ke dalam ruangan kamar itu, Nicky berhenti di sisi Rizal lalu mengarahkan matanya ke arah Rizal memandang. Matanya melebar menemukan pemandangan di dalam.
Liana duduk bersandar di atas ranjang, meringkuk menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Pandangannya kosong. Masih ada sisa ketakutan di dalam mata indah itu. Menyaksikannya, mendadak dadanya seperti di jatuhi meteor besar. Sakit. Sesak.
"Kau lihat itu!" desis Rizal, "harusnya dia tak terlibat dengan keluargamu, sepupunya... Rey, membuat kehormatannya cacat. Lalu Valent, kakakmu. Apa kau tahu apa yang di lakukannya terhadap Liana?" serunya. Nicky terhenyak Rizal menyebut nama kakaknya.
Valent?
Apa maksudnya?
"Kau tahu, saat keluar dari rumah. Valent menyergapnya, kakakmu itu..., mengukir inisial namanya di wajah Liana dengan pisau matang!" ungkap Rizal. Nicky kian terhenyak, kini memutar kepalanya ke arah Rizal, "kau bisa bayangkan bagaimana rasanya?" tambah Rizal. Nicky masih diam,
Valent mengukir inisial namanya di wajah Liana dengan pisau matang? Benarkah?
"Aku hanya mampu membiayai operasi pertamanya, kata dokter..., bekas lukanya bisa benar-benar hilang dengan operasi susulan. Kau bertemu dengan Liana beberapa kali kan?" tanya Rizal. Nicky masih tak menjawab, "apa kau tidak melihat itu, Nicky. Inisial nama kakakmu, di wajahnya?" Rizal menatapnya tajam.
Nicky mematung, ia ingat waktu itu ia memang melihat pipi kiri Liana terdapat bekas luka. Dan Liana berkata itu akibat terjatuh, dan ia mempercayainya begitu saja. Tapi..., bukankah kemarin ia sempat meraba luka itu ketika memagutnya? Ia juga menatap wajah Liana dekat, tapi kenapa ia tak menyadari hal itu? Â
"Kenapa kau diam saja, katakan apapun yang ingin kau katakan. Bukankah kau terbiasa membiarkan lidahmu menjelajah saat berdua dengannya. Sekarang katakan saja padaku, jangan hanya berani mencelanya ketika dia sedang sendirian. Karena aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya, tidak lagi Nicky!"
"Aku tahu aku memang bodoh, aku melakukan banyak kesalahan!" ia berucap akhirnya, "dan aku sudah tahu semuanya, aku..., aku ingin bisa memperbaiki semuanya!"
"Memperbaiki!" cibir Rizal, Nicky menoleh ke arah Liana. Memandangnya dalam keadaan seperti itu dan mengetahui bahwa dirinyalah penyebabnya sungguh membuat pedih dadanya.
Ia tahu ia tak bisa membalikan waktu, tapi mungkin...ia bisa memperbaiki kesalahannya. Meski..., dengan apa yang ia lakukan kemarin itu, mungkin membuat Liana tidak akan memaafkannya. Bahkan mungkin membencinya, tapi ia tak siap kehilangan cinta wanita itu.
"Aku akan terima semua sikap Liana padaku, tapi aku tetap akan membawanya pulang!"
"Pulang?" desis Rizal, "tidak Nicky!" larangnya. Nicky kembali menolehnya.
"Tidak, apa maksudmu?"
"Kau tidak akan membawanya kemana-mana, karena Liana akan bersamaku!"
"Aku suaminya!" protes Nicky.
Rizal menyunggingkan senyum simpul, ia melirik benda di sandaran sofa lalu beranjak memungutnya, Nicky hanya melirik. Rizal kembali ke hadapannya, menyodorkan benda itu. Nicky memandang sweter di tangan Rizal, iapun memungutnya. Mengamati hingga matanya menemukan tulisan namanya di dada sweter itu. Matanya melebar.
"Liana membuatnya sendiri, dia menabung untuk bisa membuat itu. Bahkan meskipun kau sudah tak memperdulikannya lagi, tak mau tahu bagaimana dia menjalani hidup dengan keadaannya, tak berusaha untuk menemukannya..., dia masih mencintaimu sampai detik kau menghancurkan cintanya!" gerutu Rizal, "dia memang membuat itu..., dengan cinta yang di milikinya untukmu. Tapi pagi tadi, aku melihat benda itu di tong sampah!" Rizal menambahi.
Nicky mengangkat pandangannya dari sweter itu ke wajah Rizal,
"Kau tahu apa artinya itu?" tanya Rizal, "itu artinya..., Liana sudah membuang cintanya terhadapmu!" sambung Rizal. Nicky kian melebarkan bola matanya, "dia bahkan berkata kepadaku, bahwa dia tidak ingin bertemu lagi denganmu. Jadi..., kau tak perlu membawanya pulang!"
Nicky menggeleng pelan, "itu tidak mungkin!" katanya tak percaya,
"Bukankah pernah ku katakan padamu, jika kau tak peduli padanya kau bisa melepaskannya. Dan jika kau merasa mencintainya, kau harus menjaganya dengan baik. Dan kau sudah melepaskannya, Nicky!"
Nicky tak mampu menyahut, karena itu memang bebar, ia tidak mencegah ketika Liana pamit untuk pergi. Ia hanya diam ketika Liana melangkah meninggalkan rumah. Padahal sebenarnya wanita itu ingin dirinya mencegahnya.
"Kau tak peduli dia mau hidup seperti apa di luar sana," geram Rizal, "bagaimana dia bertahan hidup, dan kemungkinan buruk apa yang akan terjadi padanya!" nada Rizal mulai meninggi lagi, "kau membiarkan kakakmu yang psikopat itu menyakitinya, dan apa kau juga tahu apa yang telah Anthony lakukan padanya?" ia berusaha untuk tak berteriak agar Liana tak terusik dan mengetahui perdebatan itu.
"Rizal!" desis Nicky,
"Kau justru datang untuk kembali mematahkan hidupnya, kau hanya datang..., merenggut sedikit asa yang masih dia percaya tentangmu!" Nicky kembali terbungkam, "kau...," tunjuk Rizal dengan telunjuknya, lalu mengepalkan tinju untuk menahan emosinya, "aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi, jadi....kau hanya punya satu pilihan!" tekan Rizal. Kediaman merajut beberapa detik di antara mereka.
"Ceraikan dia!" pintanya, dan itu terdengar bukan seperti permintaan melainkan perintah. Mata Nicky kian melebar, tubuhnya menegang. Ia sunguh tak percaya dengan apa yang Rizal katakan.
Rizal menyuruhnya untuk menceraikan Liana?
---Bersambung.....---
• T.B.W.O.A Trilogi ~ The Wedding (second novel)
The Wedding #Part 40 | The Wedding #Prologue
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H