Nicky mematung, ia ingat waktu itu ia memang melihat pipi kiri Liana terdapat bekas luka. Dan Liana berkata itu akibat terjatuh, dan ia mempercayainya begitu saja. Tapi..., bukankah kemarin ia sempat meraba luka itu ketika memagutnya? Ia juga menatap wajah Liana dekat, tapi kenapa ia tak menyadari hal itu? Â
"Kenapa kau diam saja, katakan apapun yang ingin kau katakan. Bukankah kau terbiasa membiarkan lidahmu menjelajah saat berdua dengannya. Sekarang katakan saja padaku, jangan hanya berani mencelanya ketika dia sedang sendirian. Karena aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya, tidak lagi Nicky!"
"Aku tahu aku memang bodoh, aku melakukan banyak kesalahan!" ia berucap akhirnya, "dan aku sudah tahu semuanya, aku..., aku ingin bisa memperbaiki semuanya!"
"Memperbaiki!" cibir Rizal, Nicky menoleh ke arah Liana. Memandangnya dalam keadaan seperti itu dan mengetahui bahwa dirinyalah penyebabnya sungguh membuat pedih dadanya.
Ia tahu ia tak bisa membalikan waktu, tapi mungkin...ia bisa memperbaiki kesalahannya. Meski..., dengan apa yang ia lakukan kemarin itu, mungkin membuat Liana tidak akan memaafkannya. Bahkan mungkin membencinya, tapi ia tak siap kehilangan cinta wanita itu.
"Aku akan terima semua sikap Liana padaku, tapi aku tetap akan membawanya pulang!"
"Pulang?" desis Rizal, "tidak Nicky!" larangnya. Nicky kembali menolehnya.
"Tidak, apa maksudmu?"
"Kau tidak akan membawanya kemana-mana, karena Liana akan bersamaku!"
"Aku suaminya!" protes Nicky.
Rizal menyunggingkan senyum simpul, ia melirik benda di sandaran sofa lalu beranjak memungutnya, Nicky hanya melirik. Rizal kembali ke hadapannya, menyodorkan benda itu. Nicky memandang sweter di tangan Rizal, iapun memungutnya. Mengamati hingga matanya menemukan tulisan namanya di dada sweter itu. Matanya melebar.