Sebelumnya, Wild Sakura #Part 10 ; Perkenalan di Koridor Toilet
 "Kamu!"
Pemuda itu memberikan senyuman yang jauh lebih manis dari tempo hari, tapi Sonia tak sedetikpun membalas senyumannya, justru terkesan menampakan ekspresi tidak senang akan kehadiran tamu tak di undangnya.
"Hai, gimana kabarnya?"
"Ngapain kamu kesini?"
"Melanjutkan urusan kita yang terbengkalai!"
Sonia melebarkan kata mendengar sahutannya, dan pemuda itu tak sedikitpun menyurutkan senyumannya. Justru memberikan ekspresi lain dengan menggerakan sebelah alisnya. Meletakan tangan kirinya ke bingkai pintu.
"Aku rasa urusan kita sudah selesai, jadi lebih baik sekarang kamu pergi!" usirnya menutup pintu tapi dengan sigap pemuda itu menahan daun pintu dan mendorongnya hingga terbuka lebar, membuat tubuh Sonia terpental ke belakang.
"Arhh!" seru Sonia spontan saat tubuhnya terjengkang tapi untungnya ia segera bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya hingga tak terjatuh ke lantai, "mau apa kamu?" tanyanya mulai panik ketika pemuda itu melangkah ke dalam.
Sonia pun melangkah mundur secara perlahan, ia bisa menangkap sinyal negatif dari sorot mata pemuda di hadapannya yang melangkah dengan senyum sinis penuh arti. Mana di jam segini penghuni kost lain belum pulang, dan kenapa Erik juga tak kunjung pulang?
"Berhenti!" seru Sonia menyodorkan kelima jarinya untuk menyetop langkah pemuda itu, "kamu keluar sekarang atau aku akan berteriak!" ancamnya.
"Teriak saja, kelihatannya masih sepi tuh!" tantangnya membuat Sonia kembali melotot, Sonia menggerutu, di pikirnya ia hanya menggertak apa!
"Tolong...., tol..ehm....!" Ryan segera menyambar tubuhnya dan membekap mulut Sonia dengan tangannya, merapatkannya ke tembok. Sonia meronta, pemuda itu dengan segera memeluknya erat dengan satu tangan karena tangan yang satu harus menutup mulut gadis itu agar tak bersuara. Tangan kanan Sonia yang terjepit di antara tubuhnya dengan tubuh Ryan sungguh sulit untuk di gerakan, tapi tangan kirinya yang bebas memukul-mukul tubuh pemuda itu.
"Sssshhhhttt....,kamu diam aja, nurut aja ya, aku nggak akan nyakitin kamu kok!" bujuknya, tapi Sonia tetap berusaha melepaskan diri dari dekapan Ryan.
"Hemh....hemh....!" hanya suara seperti itu yang mampu keluar dari tenggorokannya karena terhalang tangan pemuda yang tengah memeluknya erat, bahkan sampai membuat tubuhnya terasa sakit. Katanya tidak akan menyakiti, lalu ini apa?
Karena sulit sekali mendorong tubuh Ryan yang termasuk dalam kelategori atletis itu, maka Sonia mencoba dengan cara lain, ia mencakar bahu pemuda itu hingga tersentak lalu menendang bagian vitalnya. Spontan Ryan melepasan dekapannya dan memegang alat vitalnya sendiri seraya meraung,
"Auwh...shit! Brengsek!" makinya, ia lalu menatap Sonia dengan garang, gadis itu mencoba memukulnya, ia pikir mungkin karena saat ini Ryan sedang kesakitan. Tapi rupanya pemuda itu menangkap tangannya dengan cepat, dan secepat kilat pula melintirnya ke belakang hingga tubuh Sonia berbalik, "arghh!" teriak Sonia.
Ryan kembali memeluk tubuh Sonia, kali ini dari belakang dengan tetap mengunci tangan gadis itu agar tak bisa bergerak, "sudah aku bilang kamu nurut aja, jadi kita nggak perlu pakai kekerasan!" bisik Ryan,
"Lepaskan aku brengsek!"
Terdengar tawa ringan dari mulut Ryan, "boleh, tapi ada syaratnya!" katanya menawar, "kamu harus menuruti semua mau aku, gimana?"
"Nggak akan pernah!"
"Yakin?"
"Ryan, lepaskan aku!"
Ryan tak lagi menyahut, Sonia merasakan hembusan hangat nafas pemuda itu di belakang telinganya. Jujur, itu membuatnya begidik seketika, ia mencium adanya bau yang tidak beres.
"Yan, kalau kamu berani macam-macam...aku....,"
"Kamu mau apa, teriak? Atau.....ekk!" tiba-tiba Ryan terpekik, pegangannya mengendur. Soniapun segera melepaskan diri, tubuh Ryan terpental ke lantai. Erik sudah berdiri di ruangan itu juga, sedang menghampiri Ryan yang sedang berusaha berdiri, Erik menarik Ryan hingga berdiri lalu menghantam perutnya. Tapi saat ia melancarkan pukulan susulan, Ryan menangkisnya dan membalas pukulannya hingga mengenai wajah Erik. Lalu mereka pun beradu fisik hingga keluar ruangan kamar kost Sonia.
Terlihat Ryan mulai kewelahan, tubuhnya terjerembat dan Erik sedang memukulinya. Sonia berlari ke arah mereka dan menghentikan serangan Erik,
"Rik, Erik sudah!" lerainya, tapi Erik malah menyingkirkannya. Sonia tidak mau kalah juga, ia menghentikan serangan Erik terhadap Ryan, ia menerobos ke depan tubuh Erik lalu mendorongnya menjauh dari Ryan bersama dirinya.
"Sudah Rik, cukup!"
"Menyingkir kamu, biar ku hajar dia!"
Sonia memegangi tubuh Erik seraya mendorongnya mundur, "cukup Rik!" lalu Sonia menoleh ke arah Ryan sedang berusaha berdiri, "Yan, lebih baik kamu pergi sekarang!" suruhnya. Ryan pun mulai menyingkir, Erik menyingkirkan Sonia dan hendak mengejarnya tapi kembali Sonia mencegahnya.
"Jangan Rik, udah!"
"Kenapa kamu biarin dia pergi?"
"Karena aku nggak mau membuat masalah jadi panjang!"
Erik menatap Ryan mengendarai motornya meninggalkan tempat itu, lalu menatap Sonia, "siapa dia?" tanyanya tegas, Sonia menghela nafas panjang sebelum menjawab,
"Ryan, dia....dia yang malam itu godain aku sama teman-temannya!"
"Dia, jadi dia....lalu kenapa tadi kamu membelanya?"
"Rik, aku nggak membelanya. Aku cuma nggak mau nantinya kamu dapat masalah gara-gara bikin dia babak belur, apalagi sampai masuk rumah sakit. Nanti malah kamu bisa berurusan sama polisi!" jelas Sonia.
Erik menghela nafas, mendengus kesal, "kamu nggak apa-apa?" tanyanya, Sonia menggeleng, "aku baik-baik aja kok!" sahutnya dengan mengedikan bahu.
"Lagian kamu pulangnya lama sekali, tumben. Kan aku jadi kedatangan tamu nggak di undang kaya' barusan!" dengus Sonia seraya berjalan ke kamarnya, Erik pun mengikutinya.
"Kan udah mau akhir bulan, jadi harus membuat laporan dulu!" jawabnya, ia berdiri di pintu sementara Sonia duduk di kasur menatapnya.
"Ngomong-ngomong...., pria berjas itu....ngikutin kamu ya?" tanya Erik membuat Sonia mengernyit, mencoba mengingat siapa yang Erik maksud, "ouh....dia!" sahutnya setelah ingat siapa orangnya, iapun mengangguk. Erik tersenyum menggoda, "kamu laris banget ya!" katanya seraya menjinjing satu alisnya. Mata Sonia melebar,
"Emangnya sotonya pak No, laris!" kesalnya, tawa Erik malah meledak dengan sahutan gadis itu, "abis...baru beberapa hari kamu di sini, udah banyak cowo yang ngantri!"
"Beli tiket kali, ngantri. Udah-udah-udah....aku ngantuk!" katanya berdiri menghampiri Erik, mendorong tubuh pemuda itu lalu menutup pintunya. Tawa Erik masih terdengar oleh telinga Sonia meski pintunya sudah terkatup rapat, bahkan di kunci. Sonia diam bebrlerapa detik di depan pintu.
Ia jadi ingat apa yang di lakukan Ryan beberapa saat lalu itu, ia merasa ada yang aneh, jika Ryan benar berniat menyakitinya....pasti sudah di lakukannya tanpa basa-basi dulu. Dari sikap pemuda itu seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Tapi Sonia menggeleng seraya menuju kasur dan merebahkan diri di sana, memejamkan mata tapi ia sendiri sadar ia belum merasa mengantuk. Lalu ia merogoh bajunya dari bagian atas, mengeluarkan liontin di kalungnya, menatapinya lama.
"Bu, aku nggak tahu mesti mulai darimana untuk mencari ayah. Aku sudah di sini, di kota ini, tapi ini bukan kota kecil atau pedalaman yang membuatku mudah menemukan ayah. Seandainya ibu sempat memberitahu nama ayah....,mungkin akan lebih mudah bu!" keluhnya. Ia memandangi Liontin bunga Sakura yang hanya separuh itu, lalu menggenggamnya dan mendekatkan pada dadanya seolah sedang memeluk ibunya.
* * *
Sonia mengetuk pintu Erik dengan kencang karena pemuda itu tak kunjung membukanya, "aduh Rik....kamu kemana sih, udah sesiang ini lagi!" keluhnya menggaruk sisi kepalanya, lalu ia berkacak pinggang, menggaruk lehernya, padahal tak ada bagian tubuhnya yang terasa gatal. Tapi kesal tak mendapat jawaban dari Erik yang entah sedang apa di dalam kamar itu membuatnya ingin menggaruk seluruh tubuhnya.
Saat kembali mengetuk, pintupun terbuka seketika membuat tangannya mengetuk kepala Erik, "auw!" seru Erik membuat Sonia tercekat, segera saja ia meringis seraya menutup mulutnya. Erik memegang kepalanya, "apaan sih pagi-pagi main ketok saja?"
"Maaf, habisnya.....kamu nggak jawab-jawab aku. Tenggorokanku nyaris putus nih!"
Erik malah tertawa, Sonia memperhatikan Erik dari atas hingga bawah lalu memasang muka cemberut, "kok...kamu belum siap?" tanyanya karena Erik masih memakai celana pendek selutut dan kaos oblong, bahkan rambutnya masih awut-awutan seperti baru bangun tidur. Erik pun menghentikan tawanya sambil berkacak pinggang.
"Hari ini aku masuk siangan!"
"Masuk siang, kok nggak kasih tahu aku?"
"Aduh!" katanya menepuk jidatnya, "memangnya....aku belum kasih tahu kamu ya semalam?" wajahnya sengaja di o'onin, tapi malah terlihat cukup imut.
"Ya iyalah, kalau udah pasti aku udah berangkat dari tadi tanpa harus bikin tanganku bengkak nggedorin pintu kamu!"
"Maaf...., kan semalem emang nggak sempet. Kamu main usir aku aja!"
Sekarang Sonia yang terhenyak, ya, ia ingat semalam. Memang ia mendorong Erik keluar saat sedang menggodanya, "ya udah deh, aku berangkat. Udah mau telat nih!" katanya seraya berputar, "eh, aju anter aja ya?" tawar Erik sebelum Sonia melangkah. Soniapun harus memutar kepalanya, "nggak usah deh, nungguin kamu cuci muka, gosok gigi, tambah lama!" ketusnya membalikan kepalanya ke depan lalu melangkah.
Erik menatap gadis itu menjauh lalu menggelengkan kepala. Terkadang, judesnya mengingatkannya kepada kakaknya. Lalu iapun kembali masuk kamar.
Sonia berjalan cepat, rasanya ia harus cari angkot atau ojek agar tidak terlambat. Tapi tak ia temui satupun, bahkan sampai di jalan raya, yang ada hanya kendaraan-kendaraan pribadi dan taksi. Jadi ia mempercepat jalannya saja, di sisi jalan berseberangan dengannya ada seorang nenek tua yang sepertinya sedang kebingungan. Nenek itu membawa keranjang belanjaan dan juga tas wanita yang lusuh, seperti hendak menyeberang tapi tak mendatpatkan celah. Sementara lampu merah masih jauh, karena itu tikungan ke pasar jadi memang tak memiliki rambu. Sonia pun menyeberang di sela kendaraan yang terlihat jarang, menghampiri nenek itu.
"Maaf nek, nenek mau menyeberang ya"
"Iya cu, tapi jalannya ramai terus. Nenek tak berani!"
Sonia celingukan, ia menunggu hingga jalanannya sepi, akhirnya setelah menunggu beberapa menit. Ia bisa juga menyeberangkan nenek itu, "ayo nek, mumpung sepi. Sekalian saya bantuin bawa barangnya ya!" katanya memungut barang-barang di tangan nenek itu kecuali tasnya, lalu mulai menyeberang.
Di tengah jalanan nenek itu tersandung, Sonia mencoba membantunya berdiri tapi ia harus meletakan keranjang belanjaan itu dulu. Sementara ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang mengarah para mereka,
"Papa harus janji!"
"Iya, papa janji!"
"Pokoknya pestanya di buat semeriah mungkin, kan ini tahun pertama aku mengadakan pesta ulang tahun setelah kembali lagi ke Indonesia, aku mau mengundang semua teman kampusku, sekaligus....aku ingin mereka tahu kalau aku akan segera bertunangan dengan Rocky!"
Hardi Subrata hanya tersenyum sambil mengusap rambut putrinya, "aduh papa, nanti rambutku jel...papa awas!" seru Nancy ketika mobil mereka mengarah kepada dua orang di tengah jalan.
Saat itu Sonia hendak memungut keranjang belanjaan sang nenek yang tergeletak di atas aspal ketika mendengar bunyi klakson yang nyaring. Ia segera menoleh, keranjang itu kembali tergeletak di jalan, matanya melebar seketika tapi yang menjerit adalah sang nenek, Sonia hanya terpaku saja. Bunyi derit ban yang di paksa untuk berhenti mendadak cukup nyaring, mobil itu berhenti teat di depan Sonia dan sang nenek, hanya berjarak beberapa inchi saja.
"Apakah mereka gila, menyeberang seenaknya saja!" gerutu Hardi, sementara Nancy yang menutup mata kini membukanya perlahan, ia bernafas lega karena tak menabrak dua orang itu. Hardi membuka seatbelt nya dan keluar dari mobil, menghampiri mereka,
"Kalian sudah gila, apa kalian tak punya mata. Ini bukan tempat orang menyeberang!" serunya membuat Sonia kaget dan terjaga, ia celingukan untuk memastikan dirinya masih hidup lalu menatap sang nenek, "nek, nenek tidak apa-apa?" cemasnya. Hardi yang merasa di cuekan oleh mereka kembali bersuara,
"Hei, kamu tidak punya telinga?"
Soniapun meoleh, ia baru sadar kalau ada orang lain di antar mereka.
"Lain kali jangan berjalan seenaknya di tengah jalan, dasar tidak tahu aturan!"
"Saya hanya membantu nenek ini menyeberang, lagipula...seharusnya anda juga membawa mobil dengan benar!"
"Kalian yang salah menyeberang bukan pada tempatnya dan kamu malah menyalahkanku?" Hardi memandangi Sonia dari atas hingga bawah, pakaian gadis itu sudah terlihat kusam, sudah jelas....dari kalangan mana asalnya, ia pun tersenyum sinis, "orang miskin seperti kalian itu memang susah di atur, buang waktu saja!" katanya seraya berbalik dan kembali ke mobilnya. Sonia terpaku menatap pria itu hingga mobilnya melaju pergi.
Ia menghela nafas lalu kembali menyeberangkan nenek itu sebelum ada mobil lain yang melintas, setelah di tepi ia berbicara sebentar dengan sang nenek lalu ia segera berjalan cepat menuju tempat kerjanya.
Sampai di kedai soto ia memang terlambat, tapi untungnya ia masih sempat membantu banyak hal, seperti membereskan meja misalnya!
* * *
Seperti biasa, di jam makan siang Rocky kembali menyantap makanan di sana. Kembali bersama Aldi dan beberapa yang lain, tapi Sonia sengaja tak mau mendatangi mereka dengan alasan cucian di belakang menumpuk, padahal Ayu sudah membujuk agar dirinya saja yang melayani.
Maka dari itu Rocky kembali datang saat kedai itu hendak tutup, ia mengamati dari dalam mobil lagi. Setrlah Sonia berpisah dengan teman-temannya ia baru keluar dari mobil dan menghampiri.
"Hei!"
Sonia menghentikan langkah dan berbalik seketika saat mengenali suara itu, pria itu sedang berjalan cepat ke arahnya, "mau pulang ya?" tanyanya setelah mereka berhadapan.
"Kamu mau menguntitku lagi?"
"Menguntitmu..., tentu tidak. Aku hanya....ingin mengantarmu pulang!"
"Terima kasih tapi aku mau....ke tempat kerja temanku dulu!" tolaknya, "yang di rental itu?" tanya Rocky, Sonia mengangguk tanpa ragu.
"Teman apa pacar?"
Sonia menatapnya, menelisik wajah di depannya dengan matanya yang indah, "aku rasa itu bukan urusanmu!" jawabnya lalu berbalik dan mulai berjalan, Rocky mengikuti.
"Aku tidak keberatan untuk menunggu sampai urusanmu selesai!"
"Kalau aku tidak mau kamu mengantarku bagaimana?" katanya sambil terus berjalan, "ya aku akan terus mengikutimu, entah kamu mau pulang atau....kencan dengan Dimas!" sahut Rocky. Sonia menghentikan langkahnya seketika, begitupun Rocky.
Sonia memutar kepalanya hingga menemukan wajah pria itu, "kamu kenal sama Dimas?" tanyanya, Rocky menjinjing satu alisnya lalu menjawab, "orangtua kami berteman, teman bisnis juga teman karib. Tapi....jujur saja, aku dan Dimas tidak akrab, bahkan aku baru bertemu dengannya sekali sebelum melihatnya kemarin bersamamu!"
Sonia mengangguk-angguk perlahan, "karena selama ini kamu di Amerika?" sahutnya, Rocky sedikit memiringkan wajahnya dengan sahutan gadis itu, "kamu tahu itu?"
"Teman kerjaku si Ayu, mulutnya seperti kereta ekspres!"
Rocky mengernyitkan dahi sebelum tawanya meledak begitu saja, Sonia hanya menatapnya saja, "kata Aldi juga begitu, tapi dia baik!" sahut Rocky pula. Sonia kembali melanjutkan langkah dan tentu Rocky mengikuti.
"Sebenarnya Ayu sangat menyukai pria itu tapi dia takut!"
"Takut?"
"Takut kalau dia tak memiliki perasaan yang sama meski mereka cukup akrab, kan.....kami cuma pelayan kedai soto yang gajinya tak seberapa, kata Ayu...keluarganya juga orang tak mampu, jadi.....Ayu tak mau terlalu berharap sama Aldi yang memiliki jabatan tinggi di kantormu!"
"Begitu, tapi.....mungkin kamu bisa menyampaikan padanya sesuatu!"
"Apa itu?"
"Alasan Aldi sering makan siang di sana bukanlah hanya karena masakannya enak, tapi.....karena ada Ayu!"
Sonia menoleh, "benarkah?" tanyanya meyakinkan, "katanya sih begitu, dia berkata sendiri kepadaku setelah bubar dari sana saat pertama kali mengajakku ke sana!"
Tak terasa mereka sudah sampai di depan Reizy, mereka segera masuk. Erik sedang sibuk dengan beberapa pelanggan rupanya, pemuda itu hanya menoleh sejenak. Karena Erik sibuk maka Sonia iseng melihat-lihat kaset di ikuti Rocky, dari tempatnya bekerja Erik sesekali melirik mereka.
"Kamu suka film apa, romance, action....horor....!"
"Aku tidak tahu, aku....tak pernah nonton!" sahutnya membuat Rocky harus memperhatikannya dalam, "tepatnya.....tak sempat memperhatikan hal seperti itu!" ada nada perih dalam suaranya, Sonia sedikit menunduk sedih. Karena saat ini Rocky tak ingin membuat gadis itu bersedih maka ia menanyakan hal lain saja,
"Ehm...., boleh aku meminta nomor teleponmu?"
Sonia mendongak perlahan, lalu menggeleng, "aku tak punya!" sahutnya. Pria itu jelas menampakan wajah kagetnya, "tak punya?" tanyanya,
Mereka kembali bertatapan, orang seperti apa di jaman seperti ini tak memiliki handphone? Meskipun jadul atau murahan biasanya seseorang akan tetap mengusahakan untuk memilikinya satu. Rocky menatapnya semakin dalam, dari mata gadis itu ia seperti melihat sesuatu yang lain, seperti ada ketakutan dari sorot matanya, entah itu ketakutan akan apa?
Dan bagi Sonia, menyelami mata pria di hadapannya kembali membuat jantungnya berdebar hebat. Ada sorot tulus, asa, dan sesuatu yang lain. Tapi ia segera memalingkan pandangannya ke jejeran kaset itu, bergerak perlahan menjauh. Rocky masih menatapnya, pembicaraan ini membuatnya ingin mengenal gadis itu lebih dalam. Gadis sederhana yang selalu mengenakan pakaian yang sudah usang, dan setelah ia perhatikan gadis itu memakai pakaian yang sama saat pertama kali mereka bertemu. Apakah dia tak punya pakaian lain?
Sonia memang hanya membawa satu setel pakaian di dalam tasnya dan satu setel yang di kenakannya saja saat keluar dari lapas, lalu Erik memberinya 2 potong baju dan satu celana pendek yang pas di tubuh Sonia karena hampir semua pakaian Erik kedodoran di pakai Sonia. Jadi ya tentu saja gadis itu tak memiliki baju lain.
Tapi di mata Rocky, meski gadis itu berada dalam balutan celana jeans dan kemeja usang, tapi dia terlihat begitu mempesona dengan kulit putihnya yang bersih, tinggi badannya yang semampai, rambut panjangnya yang hitam lurus alami, dia begitu cantik tanpa make up.
Rocky tersenyum penuh arti dalam hati, sepertinya ada sesuatu di dalam benaknya. Lalu iapun mengikuti Sonia kembali, "apa kamu mau menunggu Erik pulang?"
"Erik pulang jam sembilan hari ini!"
"Jadi sebenarnya....kamu kesini untuk menghindariku?"
"Kalau sudah tahu harusnya kamu berhenti mengikutiku!" sahutnya sok memilih-milih kaset film-film baru, "kan aku sudah bilang, aku akan tetap mengikutimu!" sahut Rocky,
"Keras kepala!"
"Bukan keras kepala, tapi berpendirian tetap!"
"Terserahlah!" katanya meletakan sebuab kaset di tempatnya kembali lalu berjalan ke arah kasir karena Erik sudah free, pemuda itu tersenyum menggoda, "udah..., mendingan kamu pacarin aja biar nggak jadi ekormu terus!" bisiknya membuat Sonia melotot, spontan iapun memukul lengan Erik. Tawa Erik terhenti ketika Rocky ikut mendekat,
"Hai Rik!" sapanya sok akrab, dan Erik pura-pura pasang wajah tegas saat memperhatikan pria itu.
"Kenapa kamu terus mengikuti adikku, kamu punya niat tersembunyi?"
Rocky terdiam sesaat, adik, kenapa Erik mengatakan adik. Sonia bilang Erik temannya? ia menggaruk hidung mancungnya dengan telunjuk, "maaf, tapi...aku tak punya niat jahat, sungguh! Aku hanya ingin mengenalnya!" sahutnya terang-terangan, sekarang Erik yang sedikit terkejut. Pemuda elegan di depannya itu ternyata gentleman juga, tidak menyembunyikan niatnya untuk mengenal Sonia.
Erik terus menatapnya yang sedang melirik Sonia, membuat pipi gadis itu memerah.
* * *
"Ayo makanlah, Erik sudah mengijinkanmu untuk pergi bersamaku kan?"
Mereka sedang duduk di salah satu meja di sebuah restoran, berbagai hidangan tersaji di meja. Tapi otak Sonia sedang tak berkonsentrasi pada apa yang memenuhi meja mereka, melainkan tertuju pada apa yang mungkin sedang berjalan di otak pria di hadapannya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"Wild Sakura #Prologue
"Rocky,"
"Ng?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu, karena kamu mengutarakan niatmu dengan jujur untuk ingin mengenalku!" Sonia membasahi bibirnya dengan lidah, "jadi....aku ingin kamu tahu sesuatu, sebelum semua semakin jauh!" jelasnya.
Rocky membalas tatapannya dengan sorot lembut, karena ia melihat kecemasan dalam mata indah di depannya itu. Ia sudah mempersiapkan diri dengan apa yang akan di utarakan oleh Sonia, melihat apa yang tersirat di dalam danau mata gadis itu, ia bisa merasakan bahwa mungkin yang akan di utarakan adalah sebuah hal yang cukup pahit. Tapi jujur, hal itu juga membuatnya berdebar.
Sonia menghela nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Kembali menatap pria itu lurus ke matanya.
"Aku seorang pembunuh!"
Â
---Bersambung.....---
Â
Wild Sakura ( Season 1 )
Tayang seminggu sekali.
Â
Wild Sakura #Part 12 ; Sebuah Pengakuan
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H