Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

The Broken Wings of Angel ~ The Wedding #Part 28

4 Desember 2015   15:43 Diperbarui: 17 Desember 2015   17:36 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="The Broken Wings of Angel"][/caption]

Sebelumnya, The Wedding #Part 27

Rizal menyetir mikrolet warna biru itu sambil terus memikirkan semua perkataan pak Toro tentang kepergian Liana, kalimat pria berkumis tebal itu terus saja menari-nari di benaknya.

"Lalu kenapa kau bukakan pintunya?"

"Nyonya memandangku dengan tatapan yang....aduh....menyayat hati, ya tentu saja aku bukakan!"

"Benar, dia tidak mengatakan apapun?"

"Memang ada untungnya aku bohong Jal?"Pak Toro mendengus kesal, "aku tidak tega melihatnya pergi dengan airmata membanjir seperti itu, apalagi nyonya tidak membawa apapun saat pergi!"

"Dia tidak membawa apapun, bahkan sepotong bajupun?" potong Rizal, Pak Toro mengangguk.

Liana dan Nicky bertengkar karena Nino jatuh, Ivana menyalahkan Liana atas celakanya anaknya karena di tempat kejadian memang hanya ada Liana dan Nino. Lalu apakah Nicky percaya hal itu, bukankah harusnya pria itu sudah cukup mengenal Liana. Bagaimana mungkin Liana bisa menyakiti seorang balita jika melukai ulat yang tumbuh di tanaman bunganya saja dia tidak tega?

"Ivana!" desis Rizal geram,  sepertinya perempuan itu harus di beri pelajaran agar bisa beretika!

* * *

Liana menyeduh kopi di meja dapur, biasanya kopi itu untuk Nicky. Satu setengah sendok teh kopi bubuk, setengah sendok teh gula, dan dua sendok teh creamer, itu racikan kopi kesukaan Nicky, hem....cukup kental, dan ia tahu resep itu dari Rey, aneh memang! Tapi Nicky selalu tak menyisakannya walau hanya setetes saja. Liana berhenti mengaduk kopi itu, sendok masih di tangannya, ia diam termangu.

Aroma kopi yang menyebar ke seisi rumah mengundang Anthony untuk menghampirinya, "apakah itu untukku?" tanyanya membuat Liana terperanjat. Wanita itu menoleh ke arah suara di pintu dapur, Anthony sudah siap dengan pakaian kerjanya, menyunggingkan senyum yang sama.

Liana tak menjawab, ia mengeluarkan sendok kecil itu dari kubangan kopi dan menaruhnya di tatakan cangkir yang menyangga cangkir itu sendiri.  

Ia sedikit menundukan wajah, "maaf!" desisnya lirih.

"Apa?"

"Maaf jika aku bersikap kasar semalam!" suasana hening untuk beberapa detik, "harusnya aku berterima kasih padamu karena telah menolongku, aku hanya.....masih sedikit shok!"

"It's ok, tak usah di pikirkan!"

Anthony melangkah dsn memungut kopi di meja, menyesapnya sedikit, ia diam untuk meresapi rasanya. Liana melirik, ketika ia hendak menyesapnya lagi Liana bersuara, "sebenarnya itu bukan untukmu!" dan itu menghentikan Anthony. Pria itumelirik dengan menerka-nerka sesuatu. Ia tahu Liana pasti membuat kopi itu untuk Nicky, bukan untuknya.

"Tentu, ini terlalu kental untukku, tapi aku suka!"

"Seharusnya kau tak meminumnya!"

Anthony menatapnya dengan sunggingan senyum, "ini rumahku, dan ini dapurku, kau membuatnya dari bahan milikku, dan di sini hanya ada kita berdua, lalu siapa yang akan meminum?" sahutnya lalu menyesapnya lagi. Liana meliriknya kesal, itu untuk Nicky bukan untukmu! Ingin ia meneriakan itu, tapi hanya hatinya yang mampu mengumpat.

Anthony meletakan cangkir itu kembali ke meja, "aku mau pergi ke kentor, bagaimana denganmu?" tanyanya, "keluar dari sini!" sahutnya.

Anthony mengangguk-angguk kecil, "dan mau kemana?" tambahnya lagi, "terserah kakiku!" sahut Liana singkat. Anthony menajamkan pandangannya, "artinya kau tak punya tujuan bukan?" tanyanya lagi. Liana tak menjawab.

"Begini saja, aku punya seorang teman yang punya usaha di bidang katering. Jika kau tak keberatan, aku bisa membawamu kesana!" tawarnya, Liana membuka mulutnya untuk menolak tapi Anthony lebih dulu memotongnya, "dia seorang wanita dan dia juga cukup baik!"

"Terima kasih, tapi aku tak mau merepotkanmu!"

"Jangan menolak, aku tak bisa membiarkanmu sendirian di luar sana!"

Liana beralih menatapnya, "jika kau mengorek tentang siapa aku, tentunya kau tahu kalau dunia luar itu tidak asing bagiku!" serunya tegas.

"Itu dulu Liana, beda sekarang!"  

"Tak ada bedanya bagiku. Jangan kembali memancing emosiku, ku mohon!"

"Ok, kita keluar sekarang. Aku tak mau terjebak macet, meski selalu begitu!"

Liana mengikutinya keluar. Dan saat menuruni lift, Liana lebih dulu keluar di lobi bukan di parkiran. Anthony mengikutinya, "hei tunggu!" kali ini tak menyentuhnya sama sekali. "kau mau kemana?"

"Pergi!"

"Kenapa kau tak mau ku antar ke tempat temanku saja, di sana lebih aman!"

"Aku bisa mengurus diriku sendiri, jangan ikuti aku!" Liana tetap saja melangkah tanpa memperdulikan tawaran pria itu, Anthonypun akhirnya menghentikan langkah menatap wanita itu pergi.

Ok, Liana memang keras kepala, masih sama, tak berubah. Anthony tersenyum penuh arti menatap punggung Liana yang makin menjauh.

* * *

Nicky duduk membolak-balik lembaran di tangannya, berkali-kali ia lakukan itu hingga akhirnya ia membanting saja file itu ke meja. Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya, menyekanya ke atas hingga ia biarkan jemarinya menyisir rambutnya, meremasnya sejenak sebelum menghempaskan tangannya.

Rasanya ia tak mampu berfikir dengan jernih, ingin ia bersikap profesional seperti biasanya. Jika sedang berada di kantor ia ingin melupakan masalah pribadinya, tapi kali ini masalah itu justru makin mengganggu otaknya.

Ia masih tak percaya Liana memilih untuk pergi, satu sisi bisikan hatinya terus menyalahkan dirinya sendiri, sisi lainnya justru menyalahkan Liana. Ya, wanita itu pergi sendiri, ia tak pernah mengusirnya, dan sekarang....haruskah ia mencarinya?

Ada banyak hal yang harus ia urus, dan ia tak mau semuanya terbengkalai. Jika memang ia sulit mencari Liana, ia yakin....Tuhan yang akan mempertemukan mereka kembali, entah kapan!

Dering handphone di meja membuatnya terperanjat, ia melirik benda itu dan menyanbarnya. Nama Brian muncul, segera saja ia angkat,

"Ya Brian!"

"Kau sibuk?"

"Tidak terlalu!"

"Aku hanya ingin kau tahu ini, setelah aku mendapatkan ijin untuk melakukan penyelidikan leih inten....., aku menemukan sesuatu di tiap TKP!" jelas Brian, Nicky diam mendengarkan, "di sisi tempat tubuh Rafi di temukan, ada sebuah tanda, ada satu huruf abjad yang di ukir di aspal. Secara kasat mata mungkin sulit untuk di kenali, tapi jika kita perhatikan baik-baik, huruf itu memang sengaja di ukir di sana!"

"Huruf Apa?"

"V!"

Suasana hening, Nicky mengernyitkan dahi.

"Dan di dinding kulkas bagian dalam di rumah wanita itu, juga terdapat huruf yang sama, terlihat jelas itu di ukir menggunakan benda tajam seperti pisau!" Nicky masih diam, "sepertinya.....memang benar...soal Valent!" tambah Brian. Nicky tak terlalu terkejut dengan berita itu.

Ia tahu suatu saat saudaranya pasti akan kembali, tapi bukan dengan cara seperti saat ini yang ia inginkan. Ia menggaruk dahinya dengan satu telunjuk, hanya untuk beberapa detik. Lalu ia menutupa jemarinya di depan mulutnya sendiri, mengusapnya dengan beberapa gerakan. Itulah yang ia lakukan jika sedang berfikir.

"Nicky, kau masih di sana?"

"Aku belum sempat beranjak Bri!"

"Jika memang benar itu dia, ini.....ini akan sangat sulit di tangani. Sekarang dia pasti jauh lebih pintar dari perkiraan kita,"

"Tapi kenapa aku ragu jika yang melakukan eksekusi bukan dia,"

"Nicky, kau tahu dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Kau tentunya ingat hal terakhir yang dia lakukan?"

"Entahlah Bri, saat ini....aku sedang sedikit kacau!"

"Kau dimana?"

"Kantor!"

"Bagaimana jika kita bertemu saja!"

"Ehm....," Nicky melinik arloji di pergelangan tangannya sejenak, "boleh, tapi ku easa nanti sore saja karena setelah ini aku ada pertemuan!"

"Ok, di tempat biasa ya!"

Nicky mengangguk meski ia sadar Brian tak bisa melihatnya, lalu menurunkan hpnya. Jika memang benar itu Valent, lalu apakah kejadian beberapa tahun terakhir ada hubungannya dengan kakaknya itu? Atau bahkan mungkin semuanya, semuanya sejak dulu?

Nicky menggelengkan kepala, kenapa aku menyangkutkan semua hal dengan Valent? Bukankah di dalam bisnis hal seperti ini juga sering terjadi? Jika benar itu Valent, kenapa mesti sekarang, kenapa tak dari dulu. Ataukah....ia memang sengaja menunggu kakek meninggal lebih dulu?

Nicky menyandarkan kepalanya ke belakang, mendongak ke atas.

Sementara Rizal kembali menyusuri jalanan dengan harapan bisa menemukan Liana, dalam keadaan seperti itu ia takut wanita itu tidak akan bertahan di jalanan. Karena keadaannya sekarang jelas berbeda dari dulu. Tapi sudah banyak jalan yang ia lalui seraya celingukan, terkadang bertanya pada orang tapi hasilnya masih nihil.

* * *

Liana berjalan pelan di sebuah jalanan yang sepi, sebenarnya kakinya sudah lelah untuk melangkah tapi ia tak tahu harus kemana. Matahari semakin terik saja, membuat keringat bermunculan di seluruh tubuhnya, kepalanya juga sedikit pusing. Tapi ia masih bertahan untuk melangkahkan kakinya.

Ia sengaja ingin mencapai tempat yang mungkin sulit untuk di temukan, tapi dimana? Ia sendiri bingung, tapi ia juga tak ingin menyerah. Dulu saja ia bisa bertahan, kenapa sekarang tidak? Ia harus bisa mencari tempat untuk tinggal lalu bertahan hidup!

Ia berhenti untuk melepas lelah, duduk di pinggiran trotoar untuk bisa mengistirahatkan kakinya. Jika ia paksakan kakinya untik terus berjalan bisa-bisa ia kehilangan kaki itu. Ia pun menelonjorkan kedua kakinya, memukul-mukul lututnya pelan. Pegal juga rasanya, bahkan telapak kakinya juga serasa mau putus saja. Ia duduk agak lama di sana, sesekali mengelap keringat di dahinya dengan lengannya sendiri.

Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, cukup sepi, tak ada pejalan kaki lain. Iapun bangkit kembali, mulai melangkah ketika sebuah SUV berhenti di depannya, membuatnya sedikit melonjak karena kaget, pintu mobil itu terbuka dan muncul dua orang pria. Mata Liana melotot tajam, ia hendak memutar tubuhnya tapi dua pria itu sudah lebih cepat menggapai tubuhnya. Liana meronta-ronta ketika dua orang itu menyeretnya masuk ke dalam SUV, juga berteriak minta tolong, tapi mulutnya langsung di bekap oleh salah satu orang itu menggunakan tangannya. Mereka menyeretnya ke dalam dan langsung menutup pintu lalu melaju dengan kecepatan tinggi.

Liana masih terus meronta di dalam sana sebelum matanya bertemu dengan seseorang, ia terdiam seketika saat mendapati orang itu menatapnya tajam dengan sunggingan senyum yang memuakan. Nafas Liana yang terengah-engah berangsur stabil, tangan yang berada di mulutnya pun menyingkir tapi kedua lengannya masih di cengkeram dengan erat, bahkan hingga menimbulkan rasa sakit.

Liana mbalas tatapan orang itu dengan sama tajamnya, tapi saat ini otaknya sedang berjuang keras untuk mencari tahu siapakah dia? Rasanya tatapan matanya tidak asing, ia seperti pernah melihatnya.

"Melihatmu mulai tenang sepertinya kau sedang coba mengingat siapa aku, benar bukan?" kata pria itu, Liana tak menyahut hanya terus saja menatapnya.

"Kita memang belum pernah bertemu secara langsung, tapi aku sering melihatmu. Dan aku tahu siapa kau?"

Liana masih diam, tapi hatinya mulai berbicara, Apakah ini benar, sorot mata itu....., sama seperti miliknya?

"Jangan hanya menatapku!" katanya lalu melirik dua lelaki yang memegang lengan Liana, seolah mengerti dua pria itu segera melepaskan tangannya dari tubuh Liana. Liana segera menyusut ke tengah, pada dirinya sendiri.

"Jangan takut, aku hanya ingin sedikit ngobrol denganmu. Bagaimana kehidupan rumah tanggamu, apakah Nicky seorang suami yang baik?" tanyanya membuat Liana makin melotot. Orang itu kembali tersenyum, sebenarnya senyumannya itu membuatnya semakin tampan. Tapi bagi Liana itu membuat isi perutnya hendak meluncur keluar, tapi apa yang mau di muntahkan jika ia tak punya sesuatu dalam rongga ususnya hingga membuatnya merasa perih?

"Sepertinya garis keturunan itu.....tetap memiliki jalur yang sama, meski caranya berbeda. Apakah pria tua itu pernah menceritakan tentang kehidupan anaknya yang berantakan?"

Liana masih diam.

"Ok, kau tak mau bicara denganku. Tak masalah, aku tak akan memaksa, karena aku hanya ingin menyapamu saja. Agar nanti saat kita bertemu lagi kau sudah mengenaliku dengan baik!"

"Jadi....kau....benar....kau itu....?"

"Ya, ku rasa kita memang harus berkenalan. Tapi berhubungan sepertinya kau sudah tahu siapa aku, maka ...sudahlah!" ia bergerak maju, kedua pria itu pindah ke kursinya sementara dirinya pindah ke sisi Liana. Liana mulai resah, sepertinya pria ini memiliki niat buruk!

Pria itu mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya, dan memberikannya kepada salah satu anak buahnya. Pria yang berjambang tipis itu menerima acungan pisau dari bosnya, ia pun segera mengerjakan tugasnya, membuka lipatan pisau hingga bagian mengkilat benda itu terlihat. Temannya memungut sebuah torch dan menyalakannya, api berwarna birupun tercipta di ujung benda itu, lalu bagian ujung pisau itupun di bakar di atas apinya. Liana melirik, ia mulai begidik, melihat pisau yang di bakar dalam api. Rasa takut mulai merayapinya, tubuhnya sedikit gemetar, apa yang akan pria itu lakukan padanya, mengulitinya?

"Kau sungguh tak mau bicara denganku, apa...kau mau ku buat tak bisa bicara selamanya?" ancamnya, Liana segera menolehnya, Pria itu memandang matanya dengan seksama. "huh...kau tak setakut yang ku pikirkan rupanya, jangan khawatir...aku tidak akan lakukan itu. Hanya.....aku ingin menitip pesan untuk suamimu, ku harap dia bisa menerima pesannya dengan baik!"

"Apa yang akan kau lakukan?"

Akhirnya Liana berbicara, memberanikan diri bertanya pada pria yang sudah di kenal sebagai psikopat sejak kecil. Pria itu tersenyum, "suaramu merdu juga, aku senang akhirnya kau tidak pelit untuk membiarkan aku menikmatinya!"

"Apapun yang akan kau lakukan, aku tidak akan takut!"

"Bisa ku lihat itu, itu sebabnya....aku menbiarkanmu hidup. Karena kau adalah orang yang tak takut dengan kematian, jadi....aku tidak akan mengenalkanmu pada kematian. Tapi mungkin....lebih kepada rasa sakit!" sahutnya, Liana mencoba memutar matanya untuk mengurangi rasa takutnya.

"Dan aku....akan sedikit memberi waktu pada Nicky untuk menikmati.....setiap rasa sakit yang ada sebelum dia mati. Karena kematian itu terlalu mudah, dan tidak lebih menyakitkan dari sebuah luka. Maka, ku biarkan dia lebih dulu mengenal luka, dan itu....di mulai dari dirimu!"

Liana menggerutu mendengar kalimat pria itu, itu artinya pria itu akan menggunakan dirinya untuk menyakiti Nicky, apakah benar begitu?

Pria itu mengulurkan tangannya meminta mainannya selesai, sebuah pisau kini sudah berada di tangannya. Ia menatap Liana tajam lalu beralih ke pisau di tangannya yang bagian ujungnya menyala merah, Liana juga melihat benda membara itu. Ia tercekat, ia ingin menjauh tapi kembali dua orang itu memegangi tubuhnya, lebih erat malahan. Ia mencoba meronta tapi tak bisa.

"Lepaskan aku!, lepaskan....,"

"Hsssttt...., jangan takut, bukankah kau bilang kau tidak takut. Ini tidak akan sakit, hanya sebentar saja!" seru orang itu memungut wajah Liana, tangannya yang besar itu menangkup dagu dan wajah Liana dengan kecang, membuat Liana tak mampu bergerak.

Pisau itu terangkat ke sisi wajahnya, terlihat sedikit di putar-putar oleh pemiliknya seolah sedang memamerkan. Perlahan pisau itu mulai mendekat, Liana memejamkan mata, apalagi ketika ia rasakan kulitnya seperti terbakar dan di sayat, ia makin mengatupkan matanya untuk menahan rasa sakit, perih, panas yang bercampur menjadi satu di salah satu pipinya. Sebenarnya ia ingin teriak, tapi ia yakin teriakannya justru akan membuat pria yang sedang menyayat wajahnya itu merasa menang. Jadi ia hanya mengeluarkan suara geraman di dalam tenggorokannya dan setelah itu, ia tak ingat lagi apa yang di lakukan oleh pria itu padanya.

 

---Bersambung.....---

• T.B.W.O.A ~ The Wedding ( second novel )

 

The Wedding #Part 29

The Wedding #Prologue

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun