Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 4; Jeruji Besi dan Tong Sampah

2 November 2015   09:45 Diperbarui: 6 November 2015   17:22 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 3 ; Jangan Tinggalkan Aku, Bu!

Sonia menatap langit-langit usang di atasnya, kedua lengannya ia jadikan bantal di bawah kepalanya. Di ruangan usang itu kini tempatnya beristirahat bersama beberapa anak yang saat ini sedang terlelap, jeruji besi menjadi pembatas ruang geraknya. Ya, sekarang ia harus mengarungi beberapa tahun masa remajanya di dalam ruangan itu karena telah menghilangkan nyawa ayah tirinya. Setetes embun menggelinding dari matanya, melewati kupingnya, jatuh di lengannya dan menggelinding ke lantai.

Maafkan Sonia bu, Sonia sudah mengecewakan ibu. Sonia nggak bisa menepati janji Sonia, tapi Sonia juga nggak mau lari. Sonia harus mempertanggungjawabkan perbiatan Sonia karena Sonia nggak mau menyesal karena dosa kelak. Maafkan Sonia, Sonia sayang ibu!

Tak ada satu anakpun yang ingin menghabiskan masa remajanya di tempat seperti itu, tapi apa yang telah di lakukannya terhadap ayah tirinya, meski itupun tanpa sengaja, mengharuskannya berada di sana. Tapi meski begitu, ia tak menyesal menghilangkan nyawa pria itu. Setidaknya sekarang ia bisa lepas darinya. Jika ia tak lakukan mungkin apa yang akan terjadi padanya jauh lebih buruk.

Pada awalnya berada di sana tidaklah mudah, apalagi untuk kasus pembunuhan. Tapi ia sudah meyakinkan dirinya sendiri untuk tak lagi menjadi lemah, lagipula kekerasan seperti itu sudah ia rasakan seumur hidupnya saat seatap dengan pria yang ia panggil bapak, yang mengantarkannya berakhir di situ. Ia dengan mudah bisa menyesuaikan diri, dan selama masa itu ia selalu mencoba bersikap baik, tak pernah telat bangun, selalu menjalankan tugas dengan baik. Juga suka membantu jika ada anak baru yang mendapatkan perlakuan di luar batas. Jika masih wajar sih dia biarkan. Dan etika baik yang ia miliki membuat masa tahanannya bisa berkurang, meski hanya beberapa bulan saja. Sekitar empat bulan lebih awal dari habis masa, ia di nyatakan bebas.

* * *

Setelah sembilan tahun.......,

Gerbang di belakangnya terkatup rapat kembali, ia menghela nafas panjang untuk menikmati udara luar pertama yang ia hirup. Dan tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah makam ibunya, ia segera ke sana. Terlihat makam itu sudah berbeda dari sembilan tahun yang lalu, sekarang tempat itu terdapat banyak pohon kemboja yang meninggi dan rimbun. Ia mulai menyusuri tempat itu untuk menemukan makam sang ibu, dulu saat pemakaman ia di ijinkan untuk hadir dan ia mencoba menghafal di mana makam ibunya berada. Semoga saja masih ada, semoga saja belum di timpa dengan makam orang lain.

 Ia berjalan menuju sebuah pohon kemboja yang berada di sudut makam, menyibak rerumputam yang rimbum dan lebat, juga menjnggi. Hingga menemukan sebuah nisan yang usang, ia menyeka nisan itu yang di lumuri tanah dan debu. Sebuah nama masih bisa ia baca, ia pun tersenyum mengetahui makam ibunya masih ada. Ia mulai mencabuti rumput-rumput itu, tetapi rerumputan itu tak bisa ia bersihkan dengan tangan sehingga ia harus celingukan. Ada seorang pria yang baru saja membersihkan makam sepertinya, ia memegang arit. Maka iapun berlari kecil menghampiri pria itu,

"Assalamu alaikum!"

"Waalaikum salam," sahut orang itu menghentikan langkahnya, "maaf pak, boleh saya pinjam sabitnya. Rumput di makam ibu saya sangat rimbun pak!"

"Neng mau ziarah ya?"

"Iya pak, sudah lama sekali saya tidak kesini!"

"Apa mau saya bantu?"

"Nggak usah pak, terima kasih. Saya pinjam saja sebentar!"

Iapun menggunakan arit orang itu untuk membersihkan makam ibunya, tanahnya sudah rata, batu nisannya pun sudah mulai melapuk. Setelah bersih ia mengirimi doa dan Al-fatihah untuk sang ibu, setelah itu ia mengusap tanah rata itu dengan tangannya, mengusap batu nisannya.

"Maaf bu, kalau Sonia baru bisa datang menjenguk ibu sekarang. Sonia kangen sama ibu, maafkan Sonia ya bu. Sonia udah membuat ibu kecewa!" matanya mengambang, tapi saat sebutir airmata menggelinding ia segera menyekanya. Ia tak mau ibunya menjerit karena lelehan tangisan itu. Ia mencoba tersenyum,

"Tapi Sonia akan penuhi permintaan terakhir ibu, Sonia akan cari ayah. Entah dia masih menginginkanku atau tidak, tapi dia berhak tahu kalau aku ada, seperti kata ibu. Maka itu cukup bagiku, aku janji bu, aku tidak akan menyerah dengan apapun sebelum bertemu ayah. Restui langkah Sonia ya bu, karena hanya dengan restu ibu, Sonia bisa menemukan ayah. Sonia sayang sama ibu!" ia mengecup bati nisan usang itu lalu menyandarkan kepalanya di sana seolah sedang memeluk ibunya. Cukup lama ia seperti itu hingga memutuskan untuk pergi.

Ia segera berjalan ke jalan raya, menanyakan kepada beberapa orang arah menuju ibukota. Setelah sampai di jalan protokol, ia mencoba menghentikan beberapa kendaraan yang bisa ia tumpangi karena ia tak punya uang. Karena semua aktifitas ia lakukan dengan berjalan kaki, maka itu membuat hari sangat cepat berlalu. Hingga mendekati petang ia belum juga dapat tumpangan, beruntung tempatnya menyetop kendaraan dekat masjid. Jadi ia tak perlu repot jika hendak menunaikan ibadah, hingga akhirnya ada sebuah lori yang berhenti padanya,

"Pak, bapak mau ke Jakarta ya?"

"Iya neng, ada apa?"

"Saya boleh numpang nggak pak, tapi saya nggak punya uang?"

Orang itu mengamati Sonia, "kabur dari rumah ya neng?" tanyanya, Sonia hanya tersenyum. Lalu pria itu melirik anak istrinya sedang terlelap karena hari memang sudah gelap, lalu kembali ke Sonia, "bisa sih neng, tapi di belakang!"

"Nggak apa-apa pak, yang penting saya nyampe Jakarta!" girang Sonia yang segera berjalan ke belakang dan memanjat, tapi begitu sampai ia sedikit terkejut karena yang ada di bak belakang adalah beberapa ekor kambing yang tengah bersimpuh di atas kasur rumput, terlihat nyaman sekali mereka. Sonia duduk di ujung belakang, merapat ke pojok, beberapa kambing sempat menatapnya. Lori itu mulai berjalan menembus keremangan malam, karena lelah seharian berjakan kaki dan mencari tumpangan maka iapun terlelap dengan lena di sana, seolah sedang tidur di atas kasur empuk, memeluk tas ranselnya yang kempes karena hanya berisi sat setel pakaian ganti.

* * *

"Neng, bangun neng!"

Ia terjaga ketika ada yang mengguncang tubuhnya dan bersuara, ia mengucek matanya lalu celingukan, "udah sampai Jakarta neng!" kata orang itu lagi.

"Ha, udah sampai ya pak. Maaf pak, saya ketiduran!"

"Neng mau kemana emangnya?"

"Ya ke Jakarta pak!"

"Maksudnya Jakartanya mana neng?"

"Aduh, nggak tahu pak. Yang penting ya ke Jakarta!"

Orang itu nampak menggeleng-gelengkan kepala, lalu Sonia turun dari lori, "nggak apa-apa kan neng saya turunin di sini!" sekali lagi orang itu bertanya, "nggak apa-apa pak, terima kasih banyak ya bapak mau kasih tumpangan ke saya. Tapi pak, ini....di mana ya?"

"Ini di Daerah mampang neng, mari neng, saya harus lanjut!"

"Iya pak, teroma kasih ya pak!"

Orang itu kembali mengemudikam mobilnya, Sonia menggaruk tengkuknya seraya celingukan, entah ia akan melangkah kemana? Ini kali pertama ia menginjakan kaki di Ibukota. Hari masih gelap, tapi ia tetap menyeret langkahnya menjelajahi jalan. Ia berharap bisa bertemu masjid untuk berteduh sementara menunggu matahari menyapa, tapi sudah cukup jauh kakinya melangkah ia tak jua menemui sebuah masjid.

Akhirnya ia menembus sebuah gang, menelusuri jalanan sempit itu. Dan ternyata benar, akhirnya ia bisa melihat sebuah masjid. Ia segera mensucikan diri lalu melaksanakan solat malam, setelah itu sembari menunggu subuh ia mengaji. Selepas subuh ia kembali menelusuri jalanan. Kali ini ia sampai di sebuah tempat yang penuh dengan pedagang, ada pegadang buah, makanan, minum-minuman segar. Melihat itu semua membuat bibirnya bertambah kering, tenggorokannya makin gatal, rasanya ingin sekali memasukan tangannya ke dalam sana lalu menggaruknya. Di tambah lagi aroma makanan yang menyebar, membuat perutnya memberontak, cacing-cacing di dalam berteriak keras sekali sampai ia harus memegang dan menekannya.

Dan ia tak punya uang untuk bisa mengisi perutnya, lalu iapun berinisiatif. Ia menanyakan kepada salah satu pedagang warung apakah mereka membutuhkan tenaga kerja, "saya mau kok kerja apa saja, yang penting bisa kerja!"

"Tapi maaf mbak, saya sedang tidak butuh tenaga kerja. Udah cukup!"

"Ya udah, makasih ya bu!"

Lalu hampir semua jejeran pedagang itu ia masuki dan ia tanyai, tapi jawaban ia dapat selalu sama. Sedang tak butuh tenaga kerja! Akhirnya iapun memilih untuk menyingkir dari sana, memang susah mencari pekerjaan kalau tidak punya dasar pendidikan tinggi. Apalagi kalau merrka tahu dirinya mantan napi, siapa yang mau memberinya pekerjaan?

Aku nggak boleh nyerah, aku harus percaya, bahwa Allah pasti akan memberiku jalan!

Langkahnya menyeretnya menelusuri pasar tradisional, nah....mungkin kalau di tempat itu ia bisa mendapatkan satu pekerjaan. Ia celingukan di jalanan berdebu itu, yang ramai oleh teriakan para pedagang, obrolan-obrolan ibu-ibu pedagang juga yang belanja.

Tak jauh darinya seseorang sedang berlari kencang ke arahnya, menyibak beberapa orang yang sedang berjalan hingga, "brukk!"

"Auw!" rintih Sonia seketika saat tubuhnya tertubruk hingga ambruk ke jalanan yang berdebu, pantatnya terasa sakit oleh bebatuan yang saling menonjol memamerkan diri, orang yang menabraknya itu berhenti sejenak lalu berlari lagi, "hei!" seru Sonia, ia segera bangkit dan mengejar orang itu. Meraih lengannya hingga orang itu berhenti, "kamu menabrakku!" serunya.

"Apa!" sahut pria itu menolehnya,

"Kamu menabrakku dan nggak minta maaf!"

Tapi pria itu malah tidak memperhatikan dirinya, matanya melebar ketika melihat tiga pria bertampang sangar melihatnya, "gawat!" desisnya yang langsung menyeret Sonia ikut bersamanya, "eh!" desis Sonia.

"Hei, jangan lari!" seru salah seorang dari ketiganya,

Sonia hanya menurut saat pria itu membawanya lari, sudah kepalang basah, mau bagaimana lagi. Keduanya berhasil lolos dari pasar dan menelusuri sebuah gang hingga berhenti, namalak pria itu celingukan. Lalu kembali menyeret Sonia bersamanya, kali ini mereka nyemplung ke dalam tong sampah. Pria itu memasukan tubuh Sonia lebih dulu lalu dirinya menyusul,

"Eh tunggu dulu!"

Tapi pria itu malah menarikya merunduk lalu menutup kembali penutupnya, beruntung tong sampahnya sedang kosong dan nampaknya sih hanya di gunakan untuk membuang barang-barang kering saja. Karena tidak terlalu bau.

"Kenapa kam...," mulut Sonia terbungkam seketika karena pria itu membekam mulutnya dengan telapak tangan, merapatkan tubuh mereka hingga bertempelan rapat.

Terdengar di luar sana suara ketiga orang tadi, "kemana bajingan tengik itu?" seru salah satunya, "mungkin ke sana bos!" sahut yang lain. Lalu langkah kaki mereka terdengar menjauh hingga melenyap. Baru pria itu melepaskan Sonia dan membuka penutup tong sampahnya lalu keluar. Sonia mengikuti keluar dari tempat itu.

Nampak pria itu sedang memandang ke sekeliling, mungkin memastikan keadaan sudah aman, Sonia menatapnya tajam. Pria itu menoleh padanya, pemuda yang usianya sekitar selisih beberapa tahun saja di atasnya, "ada apa?" tanyanya.

"Ada apa, kamu menabrakku hingga jatuh tanpa meminta maaf, lalu menarikku dan memasukanku ke dalam tong sampah, dan masih bertanya?"

"Sorry, abis kamu main tarik tangan aku aja orang aku lagi sibuk!"

"Kenapa kamu di kejar-kejar?"

"Oh itu..., biasa preman. Tadi aku lihat mereka lagi jailin seseorang gitu, biasalah...malakin. Eh aku mau di keroyok,karena nggak mau babak belur ya aku lari!"

"Dengan mengajakku sekalian?"

"Kan aku sudah bilang itu refleks!"

Sonia mendengus kesal, tapi hal itu tak berlangsung lama karena suasana berubah ketika perutnya kembali bergemuruh hebat. Membuat mukanya merah seketika dan sedikit berpaling karena malu, ia bisa merasakan pria di sampingnya itu tersenyum simpul.

Tanpa basa-basi pria itu meraih lengannya dan kembali hendak menyeretnya, tetapi Sonia menahannya, "eh, mau kemana lagi?"

"Makanlah, kamu lapar kan!"

"Tapi aku nggak punya uang!"

"Aku yang traktir, anggap saja sebagai permintaan maafku!" katanya menyeret gadis itu. Sonia mengikuti lalu pria itu melepaskan tangannya saat berjalan bersama.

"Namaku Erik, kamu?"

"Sonia!"

* * *

Wild Sakura #Part 5 ; Tuhan Gak Pernah Membiarkan Kita Sendirian

Wild Sakura #Prologue

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun