Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #34 ; Bukan Padaku Harusnya Kalian Minta Maaf

11 September 2015   22:29 Diperbarui: 11 September 2015   22:42 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.jiyuniaoniao.com

 

Nadine terbangun dari komanya dan menanyakan dimana Alisa berada, bahkan nada suaranya begitu sangat mencemaskan wanita itu, hal itu menciptakan keheranan pada semua orang.

"Wan, Alisa dimana, bagaimana keadaannya?" tanya Nadine sekali lagi, "kenapa kamu diam, jawab aku Wan, dimana Alisa?" pintanya.

Ratna melangkah menghampiri putrinya, "sayang, kenapa kamu tanyakan Alisa? Yang penting sekarang kamu pulihkan dulu kondisi kamu!"

"Ma, aku mohon kasih tahu aku...., dimana Alisa sekarang, bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja?"

"Kenapa kamu begitu ngotot menanyakan orang yang hampir membunuh kamu?" kesal Ratna, "apa ma?" Nadine cukup terkejut dengan jawaban mamanya, "membunuhku, maksud mama apa?" katanya balik bertanya, dan kini semua orang jadi tambah heran, apakah Nadine hilang ingatan?

"Nadine, Bukankah Alisa yang melukaimu saat itu. Dia yang menusuk kamu kan?" sela Ridwan, "ap-apa?" desis Nadine, ia menggeleng pelan, "nggak!"

"Apa artinya nggak?"

"Alisa tidak pernah melukaiku, tidak sedikitpun. Akulah yang sudah melukainya, melukai hatinya!"

Semua orang tercengang dan hanya bisa terbengong.

"Jadi...kalian berfikir, Alisa yang menusukku, begitu?" semua orang yang saling melirik, "dengar...., bukan Alisa yang melukaiku, tapi Cheryl. Bahkan Cheryl juga berusaha membunuh Alisa!" jelasnya dengan wajah yang sudah basah oleh airmatanya.

"Apa!" seru semua orang, tubuh Ridwan seketika jadi limbung. Tapi ia masih berdiri di atas kakinya, "Bukan Alisa...., bukan dia....," tangis Nadine menderai sekarang, "katakan padaku, dimana Alisa sekarang?" rengeknya, "dimana dia?" katanya setengah berteriak.

"Maafkan aku Nadine, tapi....!" desis Ridwan tanpa ekspresi, "Alisa di penjara!" lanjutnya, mulut Nadine membuka lebar karena saking terkejutnya, ia memandang Ridwan tak percaya, lalu beralih pada kedua orangtuanya yang sepertinya mengiyakan hal itu, buliran bening pun semakin deras meluncur melewati pipinya.

"Di-penj-jara!" desisnya terbata, "kalian memenjarakannya?"

"Nadine!" Ridwan mendekat, "kenapa kamu tega?" teriak Nadine,

"Nadine!"

Nadine meluncur dari ranjang, tetapi ia terjerembat ke lantai karena masih sedikit lemas setelah lama koma, "Nadine!" seru semuanya membantunya berdiri, "lepaskan, kepaskan aku..., aku tidak butuh bantuan kalian!" teriaknya, "lepaskan....!" serunya yang berakhir dengan tangisan.

"Kami tidak tahu...!" seru Ratna, tapi Nadine terus saja menangis seperti anak kecil.

* * *

Nadine melempar pandangannya keluar kaca mobil, ia ngotot keluar dari rumah sakit saat itu juga setelah mendengar penjelasan semua orang. Alisa di penjara, bahkan sidang pengadilannya pun sudah di laksakan seminggu setelah peristiwa itu terjadi, dan yang lebih menyakitkan...., Alisa harus di jatuhi hukuman penjara seumur hidup. Katanya semua bukti mengarah padanya, bahkan tidak ada secuilpun sidik jari Cheryl di tempat itu. Tapi kenapa Alisa tidak melawan?

Ridwan meliriknya, "Nadine, aku...!"

"Percepat saja jalannya, aku ingin segera bertemu Alisa!" potongnya, mereka memang sedang menuju lapas. Nadine ingin segera menemui Alisa dan mengatakan kepada mereka bahwa Alisa tak bersalah, ia akan mencabut tuntutan keluarganya terhadap Alisa.

Perlahan Lucas menghampiri tubuh Alisa yang terkolek lemah di atas ranjang sempit, pagi ini ia datang untuk mengantarkan sarapan pagi seperti biasannya, tetapi ia malah mendengar hal yang buruk tentang Alisa.

Ia memandang wajah wanita itu yang sangat lemah, perlahan ia memungut telapak tangannya, menggenggamnya erat. Buliran bening menetes dari matanya tanpa suara, hatinya sangat teriris melihatnya seperti itu. Tangan mungil di dalam tangannya itu bergerak halus dan lemah, Lucas segera menyeka airmatanya ketika melihat kepala Alisa juga bergerak perlahan. Matanya bergerak lalu membuka sayu, di lihatnya mata indah dengan bulu yang lentik itu mengerjap beberapa kali lalu menatapnya.

"Luke!" desisnya lirih, Lucas tersenyum padanya, "hei!" sapanya lembut, Alisa membalas senyuman itu dengan lemah. Tangan Lucas masih memegang lembut tangan Alisa, Alisa merasakan itu, dan ia tak berniat menarik tangannya selain itu tenaganya memang lemah sekali.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Lucas, "aku baik-baik saja kok!"

"Berhenti ucapkan itu, aku mohon!" pinta Lucas, "setiap kali kamu ucapkan itu dadaku sakit sekali, kenapa kamu begitu bodoh, memilih jalan seperti ini?"

"Aku.....,"

"Aku takut setengah mati saat aku tahu kondisimu!"

Alisa tersenyum lembut, "kamu tahu Luke, aku tidak membuangnya!" desisnya, "aku memakan semuanya, semuanya.....!" Lucas tahu apa yang di maksudkan oleh wanita itu, dan sekali lagi buliran bening meluncur darimatanya, ia tak peduli kalau harus terlihat sebagai pria yang cengeng saat ini.

"Maafkan aku ya," desis Alisa, Lucas menggeleng pelan, "seandainya aku bisa...., aku ingin bisa membalas perasaanmu!" aku Alisa, dan itu semakin membuat tangisan Lucas berurai, "mungkin....aku bisa menyisakan sedikit, ruang...., buat kamu!" bibir Alisa tergetar, nafasnya terasa berat. Lucas menggeleng lagi,

"Kamu jangan terlalu banyak bicara dulu, itu sudah tidak penting lagi. Yang penting sekarang....adalah kesehatanmu!" Lucas menyeka airmatanya, wajahnya.

"Maksud bapak apa?" tanya Nadine,

"Tadi pagi saudari Alisa di larikan ke rumah sakit karena jahitannya mengalami infeksi!"

Baik Nadine maupun Ridwan tercengang.

"Infeksi, jahitan...., maksud bapak jahitan apa pak?"

"Bukankah saudari Alisa mendonorkan ginjalnya untuk anda?"

"Apa?" desis Nadine, Alisa mendonorkan ginjalnya untuk dirinya, tapi kenapa tak ada yang memberitahukannya tentang hal itu. Perlahan Nadine memutar kepalanya untuk menemukan mata Ridwan yang juga menoleh padanya, ia memberikan sorot matanya yang menuntut bahwa apa yang baru saj di dengarnya itu tidak benar. Tapi tatapan Ridwan membenarkan semua itu, Nadine kembali menatap pak polisi yang ada di depannya.

"Terima kasih pak saya permisi dulu, saya minta tolong urus pernyataan saya!" katanya lalu keluar dari sana dengan langkah cepat. Ridwan mengejarnya, ia meraih lengan Nadine ketika sudah di halaman lapas, "Nadine tunggu, aku bisa menjelaskannya!"

"Kenapa baru sekarang, kenapa kamu nggak bilang sama aku tentang operasi itu?" tangisnya, "karena aku tak berfikir akan jadi seperti ini!" sahut Ridwan.

"Jadi kalau tidak seperti ini, kalian tidak akan memberitahukanku, begitu?"

"Bukan begitu Nadine!"

"Aku ingin tanya padamu, jawab jujur Wan!" pintanya, "bukankah Alisa sudah berada di dalam penjara saat aku di operasi seharusnya, iya kan?" Ridwan mengangguk. "apakah kamu...yang datang...dan memintanya untuk melakukan itu?" tanyanya lagi. Ridwan terdiam, "jawab Wan?" tanyanya dengan deraian airmata, Ridwan mengangguk pelan. Seketika Nadine mengangkat tangannya untuk melayangkan sebuah tamparan, tetapi ia menghentikannya sendiri. Ridwan sama sekali tak berusaha menghindar,

"Nggak, bukan aku yang berhak!" katanya menurunkan tangannya lagi, "aku hanya nggak menyangka kamu tega lakukan itu, Wan. Kamu menjebloskannya ke dalam penjara tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya, lalu kamu memaksanya untuk memberikan ginjalnya padaku?" teriaknya, ia mencoba mengatur nafas di antara tangis dan amarahnya, "kenapa kamu lakukan itu, kamu bilang kamu mencintainya....., apakah itu yang namanya cinta?"

"Kamu...?" Ridwan sama sekali tak menjawab, Nadine memang berhak untuk marah sebesar itu padanya. Tapi apa yang Nadine lakukan, ia melepas cincin yang melingkar di jari manisnya, Ridwan sempat tercekat melihat hal itu, Nadine memungut telapak tangan pria itu lalu menaruh cincinnya di sana.

"Aku tidak bisa bahagia di atas penderitaan sahabatku, maaf...., aku tidak bisa menikah denganmu!" kata Nadine lalu berlalu, Ridwan hanya diam termangu. Menatap punggung wanita itu yang menghilang ke dalam taksi yang di cegatnya, lalu ia menatap telapak tangannya sendiri yang terdapat sebuah cincin yang hampir dua tahun melingkar di jemari lentik Nadine. Tetes-tetes airmata membajiri pipinya, sekarang ia harus menanggung apa yang telah di lakukannya, ia tak hanya kehilangan Alisa tetapi juga Nadine. Ia menggenggam erat cincin itu dengan pedih. Dan sekarang apa yang harus di lakukannya?

Alisa sedang sekarat di rumah sakit, apakah sekarang pantas jika dirinya menemuinya? Padahal selama ini ia tak peduli dengan keadaan wanita itu, bahkan ia tak sekalipun mengunjunginya selama di lapas.

* * *

Nadine datang ke rumah sakit tempat Alisa di rawat, tetapi ia di cegat oleh seorang polisi yang berada di depan ruangan Alisa.

"Maaf pak, saya ingin melhlihat keadaan Alisa!"

"Kami tidak bisa menginjinkan sembarang orang masuk, nona!"

"Saya adalah korban dari kasus Alisa, saya sudah sembuh. Saya ingin anda tahu pak, bahwa Alisa tidak bersalah, dan sekarang saya mohon ijinkan saya menemuinya!"

"Maaf saudari Nadine, tadi kondisi saudari Alisa sempat drop dan sekarang belum sadarkan diri lagi. Lagipula...jam besuknya sudah hampir habis, lebih baik saudari Nadine menunggu jingga jam besuk berikutnya saja!"

Nadine mengintip Alisa dari kaca yang tak terlalu lebar, airmatanya tak mau berhenti mengalir. Saat ia berbalik Lucas sudah berdiri tak jauh darinya, tetapi Nadine tak mengenalnya. Ia hanya menatapnya sejenak lalu pergi dari sana,

Nadine sudah sadar, tapi kenapa kamu baru sadar sekarang? Setelah semuanya hancur!

Nadine segera mencegat taksi dan pulang ke rumahnya, Ratna dan Pasha sudah duduk di ruang tamu bersama Dewi. Saat perjalanan pulang Ratna menelpon Dewi agar datang ke rumahnya lalu menceritakan semuanya. Kini Dewi menangis sesenggukan di sana, ia sudah sangat membenci Alisa sejak gadis itu masuk ke panti rehab, padahal dulu ia sangat menyayanginya seperti putrinya sendiri. Dan ternyata gadis itu masih sebaik dulu, bahkan jauh lebih baik.

Nadine memasuki rumah itu dengan langkah lebar, ia sudah tak sabar untuk menghakimi orangtuanya sendiri. Semuanya berdiri ketika Nadine sampai, "bagaimana sayang?" tanya Tanya Ratna yang setahunya Nadine pergi ke lapas untuk membebaskan Alisa. Nadine memutar pandangannya ke segala arah untuk meredam amarahnya, lalu ia mencoba duduk dengan tenang meskipun ia tak bisa tenang. Semuanya pun kembali duduk, mereka sedikit celingukan ke arah pintu depan karena Ridwan tak ikut, atau bahkan mungkin Alisa.

Kediaman berlaku cukup lama sehingga Nadine memecahkannya, "kenapa kalian tak ada yang mengatakan padaku kalau Alisa mendonorkan ginjalnya padaku?" katanya tegas.

"Ehm..., sayang...bukannya kami tidak mau memberitahukanmu. Tapi belum sempat!" sahut Ratna, nada suaranya sedikit bergetar seperti orang ketakutan. Betapa tidak, Nadine pasti sedang marah besar, ia hanya sedang mencoba mengontrolnya saja.

"Bukankah golongan darah mama dan papa sama denganku, seharusnya....ginjal kalian juga bisa sama, iya kan!" tegasnya lagi, ketiga orang itu mulai menerka-nerka kalau pasti ada hal yang tidak beres sehingga Nadine mengungkit hal itu dengan ekspresi yang sulit di baca.

"Tapi kenapa kalian harus memaksa Alisa yang melakukannya, setelah kalian mengirimnya ke penjara, tidak cukupkah sehingga kalian harus merenggut sslah satu ginjalnya juga?" airmata mulai kembali beruraian di pipinya, "Nadine, saat itu kami sedang panik karena belum mendapatkan ginjal yang cocok. Lalu tiba-tiba...., Ridwan datang dan mengatakan kalau Alisa bersedia melakukannya!"

"Dan kalian tidak menolak?"

"Kami pikir....,"

"Kalian pikir apa?" teriak Nadine, "kalian pikir Alisa pantas lakukan itu, begitu....?" serunya, "kalian tahu, apa akibatnya sekarang?" tanya Nadine dengan bibir bergetar, semuanya menjadi tegang menunggu Nadine menjelaskan. "Alisa.....," ia kembali menangis, sekuat tenaga menahan agar tetap bisa berbicara, "Alisa sedang sekarat!"

Semuanya tercengang,

"Apa kalian tahu...., di dalam penjara itu cukup brutal, apalagi untuk kasus pembunuhan. Apa kalian tahu apa yang di alami Alisa....?" Nadine terdiam sejenak untuk menunggu reaksi, tapi seperti dugaannya tak ada yang mampu bereaksi.

"Luka jahitannya mengalami infeksi, kata dokter...., bahkan area sekitar jahitannya sudah mulai membusuk....!" suaranya bertambah bergetar, dua wanita paruh baya yang mendengar hal itu langsung mengucurkan airmata sederas mungkin, "maafkan kami Nadine!" seru Ratna yang langsung di potong oleh putrinya,

"Bukan padaku harusnya kalian minta maaf!" lantanganya, "tapi Alisa, kalian harus minta maaf padanya....!" Nadine mulai berdiri kembali, "Dan..., kalau terjadi sesuatu dengan Alisa....., aku tidak akan pernah memaafkan kalian semua, meskipun Alisa memaafkannya!" desisnya lalu berlari keluar kembali. Sementara ketiga orang itu hanya termangu dengan deraian airmata yang tam mampu di bendung, bahkan Pasha ikut mengalirkan airmata. Karena dirinya yang meminta jaksa untuk menekan Alisa di pengadilan, bahkan sempat meminta hukuman mati jika sampai Nadine tidak selamat.

Nadine kembali mencegat taksi. Sesungguhnya ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri karena menjadi begitu lemah, jika saja dirinya tidak koma maka semua ini tidak akan terjadi. Semua adalah kesalahannya, kesalahannya!

* * * * *

Novel ini pertama kali ini publish di www.kompasiana.com

Dan nantikan chapter terakhirnya ya, terima kasih.... 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun