Nadine segera mencegat taksi dan pulang ke rumahnya, Ratna dan Pasha sudah duduk di ruang tamu bersama Dewi. Saat perjalanan pulang Ratna menelpon Dewi agar datang ke rumahnya lalu menceritakan semuanya. Kini Dewi menangis sesenggukan di sana, ia sudah sangat membenci Alisa sejak gadis itu masuk ke panti rehab, padahal dulu ia sangat menyayanginya seperti putrinya sendiri. Dan ternyata gadis itu masih sebaik dulu, bahkan jauh lebih baik.
Nadine memasuki rumah itu dengan langkah lebar, ia sudah tak sabar untuk menghakimi orangtuanya sendiri. Semuanya berdiri ketika Nadine sampai, "bagaimana sayang?" tanya Tanya Ratna yang setahunya Nadine pergi ke lapas untuk membebaskan Alisa. Nadine memutar pandangannya ke segala arah untuk meredam amarahnya, lalu ia mencoba duduk dengan tenang meskipun ia tak bisa tenang. Semuanya pun kembali duduk, mereka sedikit celingukan ke arah pintu depan karena Ridwan tak ikut, atau bahkan mungkin Alisa.
Kediaman berlaku cukup lama sehingga Nadine memecahkannya, "kenapa kalian tak ada yang mengatakan padaku kalau Alisa mendonorkan ginjalnya padaku?" katanya tegas.
"Ehm..., sayang...bukannya kami tidak mau memberitahukanmu. Tapi belum sempat!" sahut Ratna, nada suaranya sedikit bergetar seperti orang ketakutan. Betapa tidak, Nadine pasti sedang marah besar, ia hanya sedang mencoba mengontrolnya saja.
"Bukankah golongan darah mama dan papa sama denganku, seharusnya....ginjal kalian juga bisa sama, iya kan!" tegasnya lagi, ketiga orang itu mulai menerka-nerka kalau pasti ada hal yang tidak beres sehingga Nadine mengungkit hal itu dengan ekspresi yang sulit di baca.
"Tapi kenapa kalian harus memaksa Alisa yang melakukannya, setelah kalian mengirimnya ke penjara, tidak cukupkah sehingga kalian harus merenggut sslah satu ginjalnya juga?" airmata mulai kembali beruraian di pipinya, "Nadine, saat itu kami sedang panik karena belum mendapatkan ginjal yang cocok. Lalu tiba-tiba...., Ridwan datang dan mengatakan kalau Alisa bersedia melakukannya!"
"Dan kalian tidak menolak?"
"Kami pikir....,"
"Kalian pikir apa?" teriak Nadine, "kalian pikir Alisa pantas lakukan itu, begitu....?" serunya, "kalian tahu, apa akibatnya sekarang?" tanya Nadine dengan bibir bergetar, semuanya menjadi tegang menunggu Nadine menjelaskan. "Alisa.....," ia kembali menangis, sekuat tenaga menahan agar tetap bisa berbicara, "Alisa sedang sekarat!"
Semuanya tercengang,
"Apa kalian tahu...., di dalam penjara itu cukup brutal, apalagi untuk kasus pembunuhan. Apa kalian tahu apa yang di alami Alisa....?" Nadine terdiam sejenak untuk menunggu reaksi, tapi seperti dugaannya tak ada yang mampu bereaksi.