Sebelumnya, The Wedding #Part 8
Â
Nicky menatap istrinya yang makin ketakutan, belakangan Liana bermimpi buruk, mimpi yang selalu sama. Seperti dini hari ini, tetapi kali ini mimpi itu serasa begitu nyata. Airmata Liana semakin banjir di pipinya, Nicky meraih tubuh istrinya ke dalam dekapanya, menyandarkan kepalaya di bahunya,
"Kau yakin anak itu adalah dirimu?" desis Nicky, Liana mengangguk dalam isaknya, "aku tidak mungkin salah, itu memang aku!"
Nicky mengusap punggungnya yang masih polos untuk menenangkannya, perlahan tangis Liana mereda setelah airmatanya membasahi dada suaminya. Nicky membawanya berbaring. Kepalanya tersandar di atas dada Nicky yang terbaring menatap langit-langit. Untuk waktu yang cukup lama mereka hanya seperti itu, mungkin benar ingatan Liana mulai pulih. Keping-demi keping memori itu mulai muncul melalui mimpi, besok....entah apakah akan datang lagi yang lebih nyata? Nicky sendiri mulai khawatir jika yang bisa Liana ingat adalah masa-masa yang buruk saja.
"Nicky!" serunya memecah keheningan, "ng?" sahut suaminya. "aku melihat Rizal di sana, aku mulai ingat sesuatu!"
"Rizal?"
"Dia membawaku berlari, hingga kami terjatuh dan....aku tidak ingat apapun lagi, mungkin aku pingsan!" katanya dengan tenang.
"Rizal ada di sana, tapi bukannya.....kalian bertemu di jalanan?"
"Entahlah....., aku merasa....ada yang di sembunyikannya dariku. Mungkin jika aku bisa mengingat semuanya aku akan tahu, tapi saat ini....hanya itu yang aku ingat!"
"Kau tidak perlu khawatir, kita akan mencaritahunya bersama-sama!" sahut Nicky. Mereka kembali diam hingga beberapa menit, tangan Nicky mengusap lengannya dengan lembut. Mereka masih hanya terbungkus selimut, setelah berbicara berjam-jam dengan Jaya, Nicky menyusul istrinya ke atas ranjang mereka setelah sebelumnya melempar robenya sendiri.
"Nicky!"
"Ng?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu!"
"Apa, sepertinya serius?"
Liana memejamkan mata sejenak, membiarkan buliran bening yang menggantung merembes. Karena apa yang akan di katakannya sungguh sangat menyakitkan,
"Waktu itu.....,"
* * *
Nicky duduk termenung di balik mejanya, siku tangan kanannya ia sandarkan di pinggiran kursi, telunjuknya mengelus tertumpu di dagunya sendiri. Memikirkan apa yang di katakan istrinya.
Jadi itu sebabnya, Liana bukan trauma karena apa yang telah Rey lakukan padanya, tetapi lebih pada apa yang di katakannya saat itu. Pernyataan yang membuat Liana takut berdekatan dengan dirinya, meski mereka sudah menjadi suami istri.
Damned!
Kau memang bajingan Rey!
Seharusnya saat itu aku yang menghajarmu sampai mati!
Nicky terus mengutuki Rey dalam hatinya, tapi apakah sekarang itu berguna? Rey sudah mati, tak ada gunanya lagi ia mengumpat atau memaki, tetap saja Rey tertawa di dalam kuburnya saat melihat dirinya dan Liana menderita oleh perbuatannya.
"Kau tahu Liana, Nicky tak pernah mau berbagi wanita dengan siapapun. Dan kau menolakku bukan, karena dia....kita lihat, apakah dia masih mau mencintaimu setelah tahu kau tidur denganku? Satu hal yang pasti, dia benci semua wanita yang pernah bersamaku!"
"Kau berani menolaku mentah-mentah, maka aku akan menghancurkanmu, lebih....dari aku menghancurkan helen. Akan ku buat kau tidak berharga dimata Nicky!"
Nicky menggerutu geras, beraninya Rey mengancam Liana dengan ancaman seperti itu. Dan dia berhasil membuat Liana percaya padanya. Dia memang bukan manusia!
Tokk!
Karena terlalu larut memikirkan hal itu, Nicky tidak sadar Hendra sudah berdiri di depan mejanya. Baru saja mengetok mejanya untuk membangunkannya dari dunia entah apa namanya, ia mendongak dan mendapatkan Hendra menatapnya penuh tanda tanya.
"Kenapa kau...?"
"Jangan protes kenapa aku masuk tanpa ketuk pintu, aku sudah melakukannya tetapi tak ada tanggalan darimu, makanya aku masuk saja, dan ternyata kau sedang asyik melamunkan sesuatu. Ini berkas-berkas yang kau minta, Bos!" katanya menyodorkan benda yang di pegangnya.
Nicky memungutnya dan mulai membukanya, "ada berapa?" tanyanya, tanpa menoleh, "sekitar tujuh orang, itu yang terbaik menurut kami!" sahut Hendra.
"Baiklah, akan ku pelajari. Besok suruh Mela siapkan meeting direksi, kita membutuhkan pendapat para dewan juga!" suruhnya, "siap bos!" tetapi Hendra masih di sana memperhatikannya.
"Apakah kau ada masalah, bos?"
"Tidak, hanya urusan kecil. Kau boleh keluar!"
"Ok!"
Liana sedang mencoba beberapa gaun di sebuah toko, "kenapa dadakan sekali, dan untuk apa Nicky menyuruhku membeli gaun lagi. Tempo hari kan aku sudah beli banyak!" keluhnya saat mencoba gaun silver dengan panjang semata kaki dan belahan hingga ke atas lutut di sebelah kanan. Ia pun keluar dan meminta pendapat dua pria yang bersamanya. Rupanya keduanya mengangguk, Rizal bahkan tidak berkedip menatapnya. Liana terlihat sangat anggun dengan gaun itu. "Nicky tak memberitahuku semalam, kenapa dadakan sekali acaranya?" keluhnya,
"Maaf nyonya, mungkin tuan lupa semalam!"
"Sebenarnya Jay, aju tidak suka panggilan itu. Apakah tidak ada panggilan lain yang cocok untukku?"
"Maaf, tidak ada!"
Terserah lah!"
Mereka juga mencari sepatu, karena kondisi kaki Liana yang tidak memungkinkan untuk mengenakan highheels, maka mereka mencari yang flat saja tetapi masih tetap elegan. Lagipula tinggi badan Liana sudah sepadan dengan Nicky meski tanpa highheels.
Anthony berjalan di pelataran deretan ruko itu, salah satu tangannya ia masukkan ke dalam kantong celananya. Sesekali ia lemparkan pandangannya ke dalam toko, dan sekilas ia seperti melihat seseorang yang di kenalnya. Maka iapun berhenti, mundur untuk memperjelas pandangannya. Wajah Liana tertutupi manekin dan pajangan sepatunya. Anthony terpana melihatnya, wanita itu mengenakan gaun hijau apel selutut yang indah, rambutnya yang di buat ikal di bagian bawahnya terurai indah.
Liana duduk menumpukan kakinya, sesekali ia memijit-mijit pergelangan kakinya, Rizal menatapnya dalam. Dan itu juga membuat kecemburuan pada pria di samping wanita itu yang wajahnya tak ia lupa hingga detik ini.
"Li, kakimu sakit?"
"Tidak, hanya sedikit pegal saja!" sahutnya tanpa menoleh. "sungguh?" sekali lago Rizal meyakinkan.
"Aku tidak apa-apa kok!"
Anthony melangkah ke dalam. "ayo nyonya, kita sudah kelar!" ajak Jay yang datang menghampiri membawa beberapa bag. Liana langsung berdiri dan berjalan keluar. Mereka berpapasan dengan Antony, tetapi Liana tidak ngeh hingga tak tahu kalau pria itu adalah pria yang menabraknya tempo hari, tetapi Rizal tidak lupa padanya, Rizal melirik ke balik punggungnya. Terlihat olehnya pria itu berbalik dan menatap mereka.
Anthony memperhatikan Liana yang berjalan pincang, rupanya wanita itu pincang. Lalu siapa pria muda yang selalu bersamanya? Dia selalu menatap wanita itu dengan tatapan yang cukup intim. Kalau si pria tua sudah jelas bukan suami apalagi ayahnya lawong tidak mirip. Usianya sekitar 50-an, masih gagah dan tegap. Dari gesturnya dia seperti seorang bodyguard atau semacamnya.
* * *
 Liana menyirami taman bunganya, ia memandang hamparan bunga warna-warni di depannya. Tampak sungguh indah, ia jadi ingat di taman inilah pertama kali kemesraannya dengan Nicky tercipta, mereka berdansa di iringi desahan bayu, di temani kupu-kupu dan kumbang, di hiasi dengan hamparan bunga. Detik-detik itu adalah masa yang sangat indah dan tak mungkin bisa di lupakannya. Ia tersenyum sendiri mengingat hal itu, karena terlalu hanyut ia sampai tak mendengar suara langkah kaki mendekatinya. Selang di tangannya pun tak ia perhatikan lagi, hingga saat sepasang tangan melingkari perutnya. Ia terperanjat menjatuhkan selang air, ia hendak menoleh ke belakang dan melompat, mungkin!
Tetapi tubuhnya tertahan tubuh seseorang hingga ia tak bisa bergerak, bau parfumnya yang maskulin dan romantis membuatnya cepat mengenali siapa orang itu, "Nicky!" desisnya.
Nicky memeluknya erat dari belakang, tangan Liana berada di lengan Nicky yang melingkari perutnya.
"Kenapa kau melamun di sini?"
"E...., aku...., aku sedang menyiram bunga!"
"Sampai membuatmu senyum-senyum sendiri?"
"Eah, itu....aku tidak senyum sendiri!" elaknya, "aku tersenyum pada mereka, karena mereka tersenyum padaku!"
"Dan siapa mereka?"
"Bunga-bunga itu!"
"Begitu?" dengus Nicky menempelkan pipinya pada pipi Liana. Jantung Liana menjadi berdentum keras, semoga saja Nicky tidak tahu. Tapi itu tidak mungkin, mengingat bagaimana posisi mereka saat ini, sudah pasti Nicky bisa merasakan debaran jantungnya. Liana mencoba untuk tetap tenang.
Tiba-tiba salah satu tangan Nicky merayapi perutnya yang rata, hampir tak ada lemak secuilpun di sana. Dan itu membuat darah Liana makin mendesir, tetapi belaian Nicky di perutnya bukanlah belaian sensual melainkan sebuah belaian kasih sayang. Dan Liana sangat menikmati hal itu.
"Li, kira-kira....bagaimana rasanya menjadi seorang ayah?" tanyanya tiba-tiba, membuat Liana tercenung. Ia membutuhkan waktu beberapa detik untuk menjawabnya, "mungkin....sama seperti saat seorang wanita menjadi ibu, entahlah....aku juga belum tahu!"
Nicky tak menyahut lagi, ia mempererat pelukannya dan mulai mengecup pipi istrinya. Kecupan itu tak cukup sekali, tetapi bertubi-tubi, sebuah kecupan ringan yang membuat darah Liana menghangat. Liana melepas pelukan Nicky, berbalik dan mendorongnya sedikit menjauh, "jangan terlalu genit, kau mau apa?"
"Mencetak anak!" guraunya, "ha, jangan gila. Tidak mungkin di sini kan?" sahut Liana terkejut.
"Jika kita masuk ke antara para tanaman itu, juga tidak akan ada yang melihat!"
"Siapa bilang, para ulat yang sedang bermetamorfosisi tetap bisa mengintip. Lebih baik sekarang masuk dan mandi, baumu mulai tidak enak!" dorong Liana lembut, Nicky tertawa ringan, "kita bisa mandi bersama kan!" godanya.
"Apa, tidak!" sahut Liana dengan cepat, "ayolah, kau belum pernah menggosok punggungku!" rayunya dengan senyum nakal. "tidak mau!" tolak istrinya seraya berjalan meninggalkan taman bunga, Nicky mengikutinya. Selang air masih menyala, Liana berniat untuk mematikannya tetapi belum sempat ia sampai di kran air, Nicky sudah lebih dulu sampai padanya, mengangkat tubuhnya dan mengayunkannya ke dadanya.
"Nicky, apa yang kau lakukan, turunkan aku?"
"Nanti di dalam!"
Liana meronta, dan itu membuat Nicky harus mengencangkan pelukannya. Ia membawa istrinya ke dalam kamar, menerobos kamar mandi dan menaruhnya di dalam bathtub dengan pakaian yang masih lengkap.
"Kau tidak serius?" seru Liana, "begitu?" sahut Nicky dengan senyum menggoda,ia bangkit untuk mengatur suhu air agar menghangat. Liana melirik pintu kamar mandi yang terbuka lebar, dan pintu kamar merekapun masih terbuka. Nicky mengikuti arah mata istrinya, ia membiarkan air mulai mengguyur tubuh Liana, lalu berjalan ke pintu untuk menutup pintu kamar mandi.
* * * * *
 • T.B.W.O.A ~ The Wedding (second novel)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H