"Setidaknya selama penyamaran kita tak terbongkar!"
Plakkk!
Aku menamparnya keras, entah itu kesalahannya atau ini memang takdir. Setelah Alan menandatangani surat yang mereka inginkan mereka membuat kami tak sadarkan diri lalu membawa mobil yang berisi kami berdua ke tepi jurang. Tapi untungnya sebelum mobil itu sampai ke dasar, Alan sudah sadarkan diri dan berhasil membawaku keluar dari dalam mobil. Wajahku banyak terkena pecahan kaca. Itu sebabnya harus di operasi plastik, aku beruntung karena dokter tak sampai mengubah wajahku, tapi luka goresan pisau itu tetap akan membekas di pipiku.
Edie dan beberapa orang yang masih setia pada Alan membantu kami sampai ke kota kecil ini sebelum kami akan keluar negeri dengan identitas baru. Entah apakah ini takdir yang Tuhan gariskan padaku? Kesialan malam itu membawaku pada hal yang jauh lebih buruk, meski di sisi lain aku senang karena Alan tak meninggalkanku mati di dasar jurang. Dan dia rela melepaskan semua warisan keluarga Wiratama hanya agar aku tetap hidup. Percaya atau tidak, sekarang kami bersama. Dia lebih memilihku yang baru saja di kenalnya dari pada tetap mempertahankan warisannya.
Mungkin benar jodoh itu bisa dimana saja, darimana saja, dan datang kapan saja. Entahlah, tapi aku juga tak mengerti. Rasanya....kok aku tidak menyesal ya mengenalnya, dan bersamanya. Meski aku harus rela meninggalkan sidang skripsiku yang aku susun selama dua tahun. Semoga paman tidak kecewa padaku, mungkin suatu saat aku bisa kembali dengan hidup baru yang jauh lebih baik.
**********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H