"Lihat aku! Lihat betapa kau membuatku menderita!"
Dia mencengkeram wajahku, sakit sekali tapi aku tak bisa berteriak. Mataku menatap pisau di tangannya dengan ketakutan.
"Sekarang kau takut? Aku suka melihat sorot mata ketakutanmu. Kau terlihat semakin cantik ketika ketakutan."
"Kau gila! AKH!"
Satu sayatan di pipiku membuatku meneteskan air mata. Kulihat darah di pisaunya: darahku. Baik, aku tak akan menunjukkan aku lemah. Biarpun aku akan mati disini, aku tak akan mengaku kalah!
"Chungdae akan datang menolongku."
"Siapa Chungdae? Oh benar. Aku melihat beberapa anak kecil berkeliaran di dekat apartemenmu. Jadi sekarang kau lebih suka dengan anak kecil?" tawanya sinis, "anak yang tadi mengikuti kita mungkin sudah dihabisi oleh teman-temanku. Kau pikir dia bisa melawan mereka semua?"
Aku menatap wajahnya lagi, marah dan khawatir pada saat yang bersamaan. Aku yakin Chungdae mengejar kami, tapi sekarang aku tak bisa melihatnya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?
"Oh, kau takut? Itu sorot mata ketakutanmu, benar? Aku berharap dia masih hidup untuk melihat ini."
"APA YANG KAU LAKUKAN?"
Aku berteriak kencang ketika dengan pisau yang sama dia merobek blouseku dengan arah horizontal di bagian dadaku. Ujung pisaunya melukai lenganku.