"Berani-beraninya kau!"
"Akh!!!"
Rasa sakit yang teramat kuat terasa di pipiku setelah dia menamparku. Memang benar aku tak bahagia ketika menjadi pacarnya. Dulu sebelum kami berpacaran, dia sangat lembut padaku sehingga aku menerima cintanya. Tapi setelah 3 bulan bersama, dia berubah. Dia mengekangku, membatasi lingkup persahabatanku, menghalangi karirku dan main kasar denganku. Kupikir dia akan berubah jadi aku bertahan bersamanya selama 9 bulan sampai akhirnya aku yang memutuskan hubungan kami. Kuganti nomor teleponku, aku pindah apartemen dan berusaha lari darinya. Aku tak tau bagaimana dia bisa menemukanku lagi.
"Aku benci melihat senyum itu di wajahmu. Selama ini aku tak bisa melupakanmu. Aku memohon supaya kau tidak memutuskan hubungan kita, tapi dengan teganya kau tinggalkan aku."
"Cinta macam apa yang kau berikan untukku? Kau pikir aku mau jadi bulan-bulananmu ketika kau lagi kesal? Kau sungguh berubah, aku tidak mengenalmu!" teriakku sambil menatap wajahnya penuh kebencian.
Dia melangkah mendekatiku dan itu tidak membuatku gentar.
"Kau masih berani melawanku tanpa sadar keadaanmu sekarang?"
Aku berontak dengan sekuat tenaga, tapi tanganku tetap terikat dengan keras di kursi, begitu pula dengan kakiku. Sakit sekali rasanya ikatan ini di sekeliling kulitku.
"Lepaskan aku atau akan kulaporkan kau ke polisi!"
"Aku tak berniat melepasmu jadi kau tak perlu repot melaporkanku ke polisi."
Dia semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku bisa mencium bau alcohol dari nafasnya. Aku membuang muka.