Siapkan pemutar musik kamu, cari lagunya dan dengarkan sementara kamu membaca bagian cerita dari novel ini.
Song list:
- Taeyeon -- All About You
- ASTRO -- Always You
- THE EAST LIGHT -- Are You Okay
- Crush -- Beautiful
- NCT DREAM -- Candle Light
- IOI -- Downpour
- WANNA ONE -- Home
- WANNA ONE -- I.P.U Confession Version
- Henry -- It's You
- NU'EST -- Love Without Love
MIN DONGSUN'S POV
Aku tak percaya pada apa yang kulihat: Yeowoo sedang berduel dengan pria yang memegang pisau kecil, lima pria muncul dari tempat yang sepertinya gudang, beberapa sosok berjatuhan di tanah, Chinye dan Hyeil hyong berlari ke arahku, Joonki melempari lawannya dengan batu, Youngkyong mengayunkan panci dengan membabi buta, tong berserakan dan Donghyun dikeroyok dua pria sekaligus.
"MISS HWAN! Cepat panggil polisi ke tempat kami, keadaan sangat buruk!" seruku pada miss Hwan di sambungan telepon.
"Dongsun kau akhirnya kembali!" seru Hyeil hyong yang berlarian sambil membawa laptopnya.
"Tangkap!" seruku melempar ponselku yang ditangkap Chinye.
Dengan penuh amarah aku berlari dan menerjang salah satu lawan Donghyun.
"Tak apa-apa?" tanyaku.
Donghyun mencengkeram lengan atasnya dan kutarik tangannya: ada luka sayatan di sana.
"Donghyun, menyingkir!"
"Tidak hyong!"
Kami dengan mudah membuat lawan kami yang berikutnya terjatuh: mereka harus tau siapa Min Brothers. Kami langsung menolong Joonki: lawannya banyak luka di bagian kepala karena dilempari batu olehnya.
"Joonki, tak apa?" tanyaku mengecek keadaannya.
"Aku tadi terjatuh sendiri tapi... DONGHYUN KAU BERDARAH!"
"Sudah, ini luka kecil," jawab Donghyun yang memegangi lengan atasnya yang bersimbahdarah.
"Yeowoo!" seru Joonki hyong yang menunjuk ke arah Yeowoo yang dikeroyok dua pria sekaligus.
Sepertinya mereka tau Yeowoo sulit ditaklukkan dan keadannya tak tampak baik.
"JANGAN SENTUH AKU!" kudengar Youngkyong berteriak.
Seakan aku dan Donghyun bisa bertelepati, Donghyun berlari ke arah Yeowoo dan aku ke arah Youngkyong. Panci Youngkyong sudah terjatuh dan lawannya memeluknya dari belakang.
"Kau galak sekali, cantik. Ayo dong jangan galak begitu."
"KAU MENJIJIKKAN!" seruku sambil menarik pria itu pada kerah belakangnya dan membuatnya jatuh.
"SIAL KAU MENGGANGGU SAJA!"
Aku berduel hebat dengan pria ini tapi aku berhasil menendang tangannya dan pisau di tangannya terlepas. Tapi aku harus menahan sakit di bagian dadaku, kuharap aku masih cukup kuat sampai polisi datang.
"KAU BERANI MENYENTUHKU, MATI SAJA KAU!"
Sambil berteriak kencang, Youngkyong memukul punggung pria lawanku dengan panci.
"Itu keren, Youngkyong!" pujiku.
"DONGSUN!"
Aku mendengar Yeowoo berteriak dan detik berikutnya dia terjatuh sambil memegangi perutnya. Donghyun memukul mundur salah satu pria tapi masih ada pria lainnya yang cukup sehat. Aku berlari ke arah mereka dan melepaskan tendangan keras ke pria yang sehat tadi.
"Yeowoo, apa yang terjadi?"
"Aku tak apa," jawab Yeowoo yang langsung bangkit tapi masih memegangi perutnya, "kurasa tak banyak lagi anggota mereka."
"Aku akan ke dalam," putus Donghyun.
"Bertahan sampai polisi datang! Kami akan segera menyusul!" seruku pada punggung Donghyun.
Ya Tuhan kuharap tak ada hal gawat yang terjadi malam ini. Semuanya karena tindakan gegabahku. Aku harusnya bisa melindungi mereka semua.
***
MIN DONGHYUN'S POV
"Chungdae hyong!"
Aku tak percaya apa yang kulihat: delapan pria sedang menampar dan memukuli bagian tubuh mana saja dari Chungdae hyong yang terikat di kursi.
"Sial, sudah ada yang masuk. Keluar dan habisi mereka!" perintah salah satu pria.
Empat pria berlari melewatiku, tapi aku tak bisa bergerak. Aku masih terkejut melihat keadaan Chungdae hyong. Ada beberapa Luka sayatan di kakinya yang mengeluarkan darah dan wajahnya tampak lebam, tapi dia sadar.
"DONGHYUN!"
Masih ada semangat dalam suaranya. Tanpa ragu aku berlari dan menerjang salah satu pria. Sialnya, mereka berempat bersenjata.
"Hati-hati Donghyun!"
Membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Choeun noona membuatku sangat marah. Aku tak pernah berkelahi sebelumnya tapi malam ini amarahku meledak. Siapapun yang berani melukai sahabatku, akan kulumpuhkan mereka.
"Donghyun, pisaunya!"
Aku bergulung di lantai untuk mengambil pisau dan bergulung sekali lagi ke arah belakang kursi Chungdae hyong. Kupotong cepat tali yang mengikatnya sementara lawanku masih jauh.
"TERIMA BALASANKU!"
Aku pernah melihat Chungdae hyong melepaskan tendangan yang langsung membuat lawannya jatuh: dia melakukan itu di sekolah saat latihan dan membuat guru taekwondo kami terseret mundur. Ternyata luka-lukanya tak menghentikan dia yang masih kuat dan agresif. Sekarang aku mengerti kenapa dia lebih kuat dari Dongsun hyong. Aku dan dia segera berkolaborasi.
"Jadi kalian Cuma berani kalau membawa senjata?" tanyaku ketika tendanganku membuat lawanku menjatuhkan pisaunya.
"Mereka hanya sekumpulan pengecut!" seru Chungdae hyong yang menendang keras wajah lawannya, "kukira T.K.O."
"Hyong, dimana noona?" tanyaku menghindari pisau lawanku.
"Kurasa di bagian dalam gudang."
"Hyong, aku bisa atasi yang satu ini. Lagipula sebentar lagi polisi atau Dongsun hyong dan Yeowoo noona akan datang," laporku setelah mendorong jatuh lawanku, "pergilah selamatkan Choeun noona!"
"Tapi Donghyun, lenganmu..."
"Sudah, pergi saja, Choeun noona membutuhkanmu!"
Kulihat Chungdae hyong berlalu tapi lawanku mengejarnya. Aku berlari dan menariknya.
"Lawan aku!"
Pergilah, Chungdae hyong. Di saat seperti ini Choeun noona lebih membutuhkanmu.
"Sudah lelah?"
Aku menahan teriakanku ketika pisau lain melukai lenganku yang masih sehat. Dia benar, tampaknya tenagaku makin berkurang.
"Jadi kau akan menjadi bulan-bulananku."
Aku menatap pisau yang digenggamnya. Aku ingin bangkit, tapi aku lelah sekali.
"Jadi semua ini perbuatanmu?"
Setelah membuka topeng yang menutupi wajahnya, sekarang aku tau siapa yang menculikku: mantanku Shim Hasu. Tapi wajahnya tampak berbeda semenjak aku melihatnya terakhir kali 3 tahun yang lalu. Sekarang wajahnya tampak lebih muram dan ada luka sayatan yang sudah kering di wajahnya. Apa yang dilakukannya selama ini? Dia tersenyum licik.
"Baek Choeun, kulihat kau menikmati hidupmu sekarang setelah kau berpisah denganku."
"Oh tentu saja. Waktu aku bersamamu adalah saat paling kusesali seumur hidupku."
"Berani-beraninya kau!"
"Akh!!!"
Rasa sakit yang teramat kuat terasa di pipiku setelah dia menamparku. Memang benar aku tak bahagia ketika menjadi pacarnya. Dulu sebelum kami berpacaran, dia sangat lembut padaku sehingga aku menerima cintanya. Tapi setelah 3 bulan bersama, dia berubah. Dia mengekangku, membatasi lingkup persahabatanku, menghalangi karirku dan main kasar denganku. Kupikir dia akan berubah jadi aku bertahan bersamanya selama 9 bulan sampai akhirnya aku yang memutuskan hubungan kami. Kuganti nomor teleponku, aku pindah apartemen dan berusaha lari darinya. Aku tak tau bagaimana dia bisa menemukanku lagi.
"Aku benci melihat senyum itu di wajahmu. Selama ini aku tak bisa melupakanmu. Aku memohon supaya kau tidak memutuskan hubungan kita, tapi dengan teganya kau tinggalkan aku."
"Cinta macam apa yang kau berikan untukku? Kau pikir aku mau jadi bulan-bulananmu ketika kau lagi kesal? Kau sungguh berubah, aku tidak mengenalmu!" teriakku sambil menatap wajahnya penuh kebencian.
Dia melangkah mendekatiku dan itu tidak membuatku gentar.
"Kau masih berani melawanku tanpa sadar keadaanmu sekarang?"
Aku berontak dengan sekuat tenaga, tapi tanganku tetap terikat dengan keras di kursi, begitu pula dengan kakiku. Sakit sekali rasanya ikatan ini di sekeliling kulitku.
"Lepaskan aku atau akan kulaporkan kau ke polisi!"
"Aku tak berniat melepasmu jadi kau tak perlu repot melaporkanku ke polisi."
Dia semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku bisa mencium bau alcohol dari nafasnya. Aku membuang muka.
"Lihat aku! Lihat betapa kau membuatku menderita!"
Dia mencengkeram wajahku, sakit sekali tapi aku tak bisa berteriak. Mataku menatap pisau di tangannya dengan ketakutan.
"Sekarang kau takut? Aku suka melihat sorot mata ketakutanmu. Kau terlihat semakin cantik ketika ketakutan."
"Kau gila! AKH!"
Satu sayatan di pipiku membuatku meneteskan air mata. Kulihat darah di pisaunya: darahku. Baik, aku tak akan menunjukkan aku lemah. Biarpun aku akan mati disini, aku tak akan mengaku kalah!
"Chungdae akan datang menolongku."
"Siapa Chungdae? Oh benar. Aku melihat beberapa anak kecil berkeliaran di dekat apartemenmu. Jadi sekarang kau lebih suka dengan anak kecil?" tawanya sinis, "anak yang tadi mengikuti kita mungkin sudah dihabisi oleh teman-temanku. Kau pikir dia bisa melawan mereka semua?"
Aku menatap wajahnya lagi, marah dan khawatir pada saat yang bersamaan. Aku yakin Chungdae mengejar kami, tapi sekarang aku tak bisa melihatnya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?
"Oh, kau takut? Itu sorot mata ketakutanmu, benar? Aku berharap dia masih hidup untuk melihat ini."
"APA YANG KAU LAKUKAN?"
Aku berteriak kencang ketika dengan pisau yang sama dia merobek blouseku dengan arah horizontal di bagian dadaku. Ujung pisaunya melukai lenganku.
"Akan kuambil apa yang paling berharga untuknya."
"TIDAK! KUMOHON JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!"
Aku berusaha berontak dengan sekuat tenagaku tapi segalanya tetap sia-sia. Aku merasa kotor dan jijik merasakan ciumannya di wajah dan leherku.
"TIDAAAK!"
Aku menangis dan berteriak kencang. Siapa yang bisa menolongku?
"JANGAN SENTUH DIA!"
Aku yakin aku mendengar suara Chungdae ketika aku merasa sentuhan di tubuhku terhenti. Aku membuka mataku dan pandanganku kabur oleh air mata. Chungdae berlutut di hadapanku, wajahnya terluka di banyak tempat.
"Noona, kau tak apa-apa?"
"Chungdae... Chungdae..."
Aku kehilangan kata-kata dan mulai menangis. Dengan salah satu tangannya dia mengelus pipiku sementara kami bertukar pandang.
"Aku akan melepaskanmu noona, kita akan pergi bersama dari sini, oke? Sudah, sekarang semuanya sudah baik-baik saja."
Dia melepas jaketnya dan disampirkannya menutupi tubuhku. Aku masih tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa berpikir betapa bersyukurnya aku karena dia disini.
"Mundur atau akan kubunuh dia."
Aku terkesiap ketika merasakan sesuatu yang dingin dan tajam di leherku. Chungdae tampak ketakutan dan mundur.
"Cepat mundur dan berlutut! Kalau kau berani macam-macam, kubunuh Choeun!"
"Baik... JANGAN LUKAI DIA!"
Leherku terasa perih saat pisau itu mengiris kulitku. Chungdae mengangkat tangannya dan berlutut menghadapku.
"Bagus. Sekarang berbalik, berlututlah ke arah sebaliknya!"
"Tidak... Chungdae, jangan..."
Kudengar Hasu tertawa sinis ketika Chungdae menuruti apa saja yang dikatakannya. Tanganku masih terikat dengan kencang di kursi dan aku memberontak semakin keras.
"Kalau aku tak bisa mendapatkanmu, Choeun... tak seorangpun boleh mendapatkanmu...":
Semuanya terjadi begitu cepat seperti dalam mimpi ketika Hasu melesat menuju punggung Chungdae dan menusuknya tepat di punggungnya.
"TIDAK! CHUNGDAE!"
"AKH!!!"
Aku tak pernah mendengar Chungdae berteriak seperti itu sebelumnya dan air mataku mengalir lagi ketika kulihat dia terjatuh dan darah bersimbah dari lukanya.
"Apakah melihatnya terluka lebih menyakitkan untukmu, Choeun? Kau mencintainya? Kau memberikan hatimu untuknya?"
Dia menghujamkan tusukan lain ke pinggang Chungdae.
"HENTIKAN!!!"
I don't know since when
But when I see you, I feel like it's destiny
Like the stars shining in the night sky
Stay by my side for a long time
Every time I remember your poem
I want to memorize it, so I can remember you
When sad nights come, I'll protect you
Can you hear my heart?
Don't forget
Even on days the flowers bloom and wither
Just remember this
My heart for you
Some day, we might get far apart
If I was you, I would be able to wait
Even after time, I'll be right here
So don't hesitate
When that time comes
(Taeyeon -- All About You )
Chungdae terjatuh dan dia tak bergerak lagi.
"Tidak... tidak Chungdae..."
Aku tak bisa menolongnya... dan ketika Hasu melangkah mendekatiku, kesadaranku meninggalkanku.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H