Siapakah gerangan yang lebih beruntung dariku?
Lahir dari keluarga dengan ekonomi lebih dari cukup. Dibesarkan dengan pembelaan dan penuh kasih sayang. Dilayani tak hanya oleh orang tua, kakek nenek, tapi juga asisten rumah tangga.
Bahkan setelah keluarga besar ini satu per satu tumbang, jatuh miskin, aku masih punya keberuntungan itu.
"Kamu sudah makan?" Deni menarik kursi di depanku, ia menyusulku duduk.
"Masih nungguin kamu. Masa aku makan duluan," jawabku manja.
Ia tersenyum. Tampan sekali.
Siapa sangka, ia adalah anak mantan pembantu kami. Asisten rumah tangga, kata orang sekarang, agar terdengar lebih ramah kasta.
"Lain kali gak perlu nunggu, ya! Kamu harus penuhi kebutuhan anak kita, jangan sampai kelaparan."
Kuusap perutku yang belum nampak membesar. Bahagia mendapatkan calon anak dari laki-laki yang rupawan dan bisa diandalkan.
"Tanpa dia," Deni mendekat, lalu berlutut di depanku. Tangannya ikut mengusap perutku sembari menggenggam tanganku yang sudah lebih dulu di sana, "aku tak mungkin bisa meminangmu."
"Lebay bin gombal!" aku terkekeh.