Mohon tunggu...
H.Sabir
H.Sabir Mohon Tunggu... Freelancer - Lakum Dinukum Waliyadin

Dunia ini hanya untuk disinggahi dan dinikmati sesekali kita memang akan kedatangan sial, tapi tak akan berlangsung lama tidak ada pesta yang tak usai demikian juga tidak ada badai yang tak reda.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jakarta Membunuh semua Cinta Lamaku

4 Mei 2016   22:16 Diperbarui: 4 Mei 2016   22:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta Tak Selamanya tentang tempo kita bersama

Kampung kecil itu tidak banyak berubah, pepohonan rimbun masih menjulang di pinggiran-pinggiran jalannya, rumput-rumput hijau tertata rapi berjejer dan kicauan burung-burung pipit yang sedang bercengkrama juga masih terdengar. Sudah tiga tahun aku tidak pulang menengok kampung ini. Semenjak aku berpisah dengan Beatrix aku seperti trauma untuk kembali kesini. Begitu banyak kenangan yang kami ciptakan bersama di alam perawan hutan-hutan kecil kampung ini, di koridor-koridor sekolahnya Beatrix dan di kamar-kamar asrama yang kosong tak berpenghuni.

Tiga Tahun yang lalu ***

” Turun dimana dik ? ini sudah di Dumoga.” tanya tukang ojek yang mengantarku, menghamburkan semua kayalanku beberapa saat.

” Oh iya aku hampir lupa, disini aja bang, aku mau ke gubuk itu,” ucapku sambil menunjuk ke sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah perkebunan jagung. Gubuk itu milik Omanya Beatrix, aku memilih turun disitu karena aku dengar dia sudah tidak lagi tinggal di Asrama sekolah, sejak tiga bulan terakhir.

” Kamu murid baru SMK sini ya ?, aku baru melihatmu ?” kata tukang ojek, mungkin dia baru pertama kali melihatku berada di tempat ini. Disini memang ada sebuah sekolah Pertanian, sekolah itu sengaja dibangun di tengah hutan dan jauh dari pemukiman penduduk, untuk memudahkan para siswanya menjalankan praktek lapangan dengan bercocok taman.

” Bukan, aku Cuma mau mengunjungi pacarku, dia sekolah disini, sudah lama aku tidak kemari, mumpung lagi ada cuti.” jawabku pada pengojek, tanpa menunggu komentar lebih banyak lagi aku segera mengucapkan terima kasih dan pergi. Gemerisik padang-padang rumput yang tersapu oleh jeansku terdengar seperti nyanyian di telingaku. Dikejauhan aku lihat Opa Beatrix sedang menanam bibit kelapa di sela-sela tanaman jagung. Aku segera menyapanya dan menanyakan keberadaan Beatrix.

” Selamat Sore Opa..?

” Selamat Sore, eh ternyata nak Teddy, kapan datangnya” ujar Opa Beatrix, dan segera menghentikan pekerjaannya dan mengajakku masuk ke Gubuk kecil mereka.

” Beatrix, kemana Opa ?, kok nggak kelihatan ?” tanyaku lagi tak sabaran. Ingin sesegera mungkin aku menemukan wajah gadisku itu, kerinduan ini sepertinya akan segera meledak dalam balutan hatiku.

” Dia lagi les di sekolahnya, usai jam pelajaran, dia Cuma makan sebentar kemudian pergi lagi, katanya ada les matematika di sekolah”.

” Kira-kira jam berapa dia pulang Opa ? tanyaku lagi tapi mungkin dia tidak mendengar dan terus menyibukkan dirinya dengan bibit-bibit kelapa disampingnya, sesekali ia menyeka keringat yang menetes diwajahnya, meskipun sudah tua tapi Opa Beatrix masih cukup kuat bekerja di ladang milik mereka. Aku putuskan untuk menjemputnya di sekolah, meski tubuhku sudah sangat lelah karena perjalanan yang aku tempuh berjam-jam dari Manado. Segera kuraih ranselku dan pamitan kepada Opa untuk menjemput Beatrix ke sekolah.

” Opa...?, aku kesekolah dulu, biar kujemput saja jangan-jangan dia kelaamaan disana.”

” ya sudah gak apa-apa jemput saja, dia pasti kaget melihat kamu datang, sudah beberapa bulan ini dia sering melamun dan menyendiri mungkin dia merindukanmu.” kata Opa Beatrix sambil mengantarku sampai ke pintu dan kembali bekerja.

Tak lama kemudian aku sudah berjalan menyusuri jalan sepi, hanya dari kejauhan aku melihat para petani yang bekerja di sawah, sebuah kedamaian yang teramat sangat, kadang-kadang aku merindukan suasana seperti ini dan ingin berdiam lagi di kampung, tapi aku sudah terlanjur juga mencintai pekerjaanku di kota. Mungkin hanya Beatrix lah yang membuat aku ingin selalu pulang selain keluarga dan teman-teman dekatku di kampung. 

Seribu macam ketidakpastian berkecamuk dikepalaku, mungkinkah Beatrix masih menerima kepulanganku setelah sekian lama aku tidak lagi membalas surat-suratnya yang dengan susah payah ia kirimkan dengan menyisihkan sebagian uang jajannya untuk membayar ongkos kirim. Satu sifat yang paling aku benci pada diriku adalah pelupa. Aku bukannya menyepelekan surat-surat itu dan tidak membalasnya, hanya saja aku sering lupa. Aku baru teringat kembali setelah surat yang lainnya lagi datang.

 Sedih juga hatiku jika aku membaca kalimat-kalimat Beatrix dalam suratnya, ia sudah dilanda kebimbangan akan hubungan kami, segala tanya dia utarakan apakah aku masih mencintainya dan masih ingin dia menungguku. Akupun pernah membaca diari miliknya yang tertinggal di kamar sepupuku. Rupanya setiap bangun pagi dan setiap hampir terlelap ia sering menulis surat-surat yang ia tujukan kepadaku tapi hanya untuk diarinya, kadang ia memaki-maki diriku seminggu setelah ia mengirimkan suratnya kepadaku dan terlanjur kesal menunggu balasannya. Tapi di lembaran yang lain ia segera minta maaf dan menuliskan lagi puisi-puisi cintanya kepadaku. ”CINTA ITU SEPERTI PERANG...MUDAH DIMULAI TAPI SUSAH UNTUK DIAKHIRI.”

***

Kira-kira 200 meter di depanku tampak bangunan sekolah SMK Mokintob, sebuah bangunan yang terletak di tengah kesunyian dan jauh dari riuh kendaraan. Tepat di belakang bangunan-bangunan itu hutan-hutan yang masih perawan, sedangkan di depan terhampar bentaran sawah yang padinya sudah mulai menguning...

Kasian sekali kondisi sekolah ini, padahal dulunya sekolah itu termasuk salah satu sekolah yang faforit di Sulawesi Utara, banyak siswanya berasal dari luar Dumoga seperti Manado, Palu bahkan dari Papua , seiring dengan banyaknya kasus yang terjadi di sekolah ini, juga cerita-cerita mistik yang mewarnai seisi bangunan sekolah membuat para siswa juga orang tua murid mengurungkan niat sekolah disitu, menjadikan semakin hari siswanya semakin berkurang. Banyak siswi yang hamil di luar nikah, bunuh diri dan gangguan mahluk halus, akhirnya memudarkan sekolah itu dan kini hanya ada kurang dari seratus siswa, konon dulunya siswa disini pernah mencapa 1000 orang.

” Hei..kapan nyampenya ?, udah kangen ya ? ” sapa Fian teman sekelas Beatrix padaku, kami berteman semenjak aku pertama kali kesekolah ini, Beatrix yang mengenalkannya padaku. Katanya biar aku aman, rupanya si Fian punya pengaruh juga terhadap anak-anak di sekitar sekolah ini, mungkin karena kampungnya terletak tidak begitu jauh dari sekolah.

” Beatrix nya ada ? ”

” loh..? memangnya kalian tidak berpapasan tadi di jalan ? ”

” Berpapasan.. ?, jadi maksudmu dia sudah pulang ?

” Bukan, anak-anak pada mau ke Dondomon, disana ada ibadah Pemuda, mereka naik motor kesana ”.

Wah jangan-jangan motor-motor tadi mereka. Ternyata penglihatanku tak salah lagi. Tapi motor-motor itu melaju dengan kencang. Sempat aku melihat sesosok gadis yang duduk di boncengan. Sialnya aku tadi sempat turun ke sungai kecil untuk cuci muka pas mereka lewat. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah karena hari sudah hampir malam.

Sudah menjadi kebiasaanku kalau aku pulang tidak langsung ke rumah, tapi singgah dulu di Sekolahnya Beatrix. Aku selalu merahasiakan pertemuan kami pada ibu, karena hubungan kami tidak terlalu di restui ibu karena perbedaan agama diantara kami. Hanya saja ibu tidak pernah secara tegas melarangku, mungkin ia takut aku tersinggung. Bukankah asal ibu juga sama dengan agamanya Beatrix.

Keesokan harinya aku pamitan pada ibu, aku berbohong untuk pergi ke rumah teman di kampung sebelah. Hari ini aku harus menemui gadisku itu, aku tidak mau sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi dengan hubungan kami, aku terlanjur menyayanginya, dan tidak peduli lagi dengan segala perbedaan diantara kami.

Aku tiba disana kira-kira jam 1 siang, dari jauh terdengar suara Beatrix dan temannya bersenda gurau. Sudah lama aku tidak mendengar suara gadis itu, tiba-tiba hatiku menjadi melankolis, tawanya seperti puitis sekali, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, aku jadi takut seperti akan terjadi sesuatu yang buruk hari ini pada kami.

” Selamat Siang...? ”

” Siang...?, eh nak Tedy., Beatrix...Beatrix.....!, lihat siapa yang datang nih..” panggil Oma, sambil mempersilahkan aku masuk.

Setengah berlari, Beatrix keluar dari dapur, rupanya dia dan Ola sahabat karibnya sedang rujakan di dapur. Tak lama kemudian dia sudah hampir tepat di depanku, tapi warna mukanya agak dingin, tidak seperti kemarin-kemarin ketika aku datang menemuinya.

Rupanya kekecewaannya padaku sudah semakin jauh, bahkan memuncak dan klimaks. Hanya sesekali ia menjawab pertanyaanku, tanpa memandang mesra lagi kepadaku, seperti yang selalu ia lakukan padaku. Beruntung Olla sesekali menyambung pembicaraan kami agar tidak hambar dan kaku.

” Akhirnya kamu pulang juga, aku kira kamu sudah melupakanku” . suaranya agak serak dan datar dengan mata yang terhunus tajam ke arahku. Hampir-hampir aku tidak berani menatap mata itu. Sepertinya mata itu sudah terasa asing bagiku dan tidak hangat lagi.

” Maafkan aku Bety, aku tidak pernah sedikutpun melupakanmu, aku hanya sibuk saja dan tidak sempat membalas surat-suratmu itu”. Jawabku memelas penuh sambil mencoba meraih jemari lentiknya, tapi segera ia tepiskan.

” Aku bosan dengan alasanmu itu Ted, aku rasa ini harus diakhiri. Tuhanpun mungkin akan tidak tahan dengan keadaan seperti ini.”

” sejauh itukah kesakitan hatimu bety ?, sampai-sampai tuhanpun kau ragukan kesabarannya ?”

” kamu memang dengan mudah bisa minta maaf, karena kamu disana tidak kesepian, berada di tengah keramaian kota. Walaupun aku tidak meragukan kesetiaanmu padaku tapi setidaknya itu bukan jaminan kamu disana tidak melupakanku. Buktinya kamu tidak pernah membalas suratku”

Sungguh sebuah pukulan yang bertubi-tubi bagiku, begitu hebatkah kesunyian yang aku tinggalkan di sekolah ini, sehingga tuhanpun ia bandingkan dengannya dan meragukan. Beatrix sedikit ada benarnya juga, aku tidak pernah kesepian meskipun aku merindukannya, mungkin karena aku tinggal di pusat kota dengan keramaian setiap harinya. Sedangkan dia, hanya sendirian di sini, yang setiap malamnya hanya mendengar suara jangkrik dan nyanyian burung malam di tengah hutan. Memandangi bintang dari balik jendela kamarnya. Aku sadar dengan suasana seperti itu kerinduan kita pada orang yang kita cintai akan sangat terasa menyiksa dan terasa mendalam.

Kamipun terdiam bersama sepersekian detik, tak ada lagi tatapan yang saling membentur mesra dan hangat diantara kami sore itu, sementara hari mulai gelap, rintik-rintik hujanpun mulai membasahi tubuh kami berdua. Tapi panas di hati Bety tidak juga berhasil diredakan meskipun oleh rintik-rintik hujan. Aku mulai goyah dan bersiap diri untuk suatu perubahan yang menyakitkan beberapa detik lagi...

” Apakah kita harus membuat keputusan yang pahit hari ini ? ” tanyaku sambil memberanikan diri menatapnya penuh harap dan cemas.

” Lebih baik kita putus saja Ted, aku benar-benar sudah berusaha mencoba mengerti, dan mempertahankan luka rindu ini. Tapi semakin aku mengobati luka di sisi lain dia terus menganga”

” Apakah aku sudah tidak punya kesempatan lagi untuk mengobati luka itu Bety ?

” Jangan kau sentuh lagi...nanti lukanya semakin parah Ted, lagipula kita memang berbeda dan tidak bisa bersatu.”

” Aku bersedia melakukan apa saja Bet..., asal kau mau memaafkan aku. Apakah kamu sudah lupa semua janji kita ?, apa kau kini ingin mengingkari janji-janji itu ? lalu nama siapa yang akan aku wakilkan pada bintang kecil kita di malam hari ? ”

” Tak usah lagi memandangi bintang-bintang itu, akupun sudah hampir sebulan tidak menatap mereka bertiga lagi, karna ku tahu pandanganmu kini bukan ke mereka lagi, tapi digantikan oleh omba-ombak pantai Manado.”

akhirnya semua mimpi-mimpi burukku terjawab sudah, aku tidak bisa lagi mempertahankan cinta kami. Tak lama kemudian sepupuku datang menjemputku, rupanya ia mengetahui kedatanganku di Asrama. Akupun berboncengan dengannya, dan pamitan pada Beatrix, untuk terakhir kali aku memandanginya sepuas hatiku, ingin aku menciumnya terakhir kali, tapi tatapan tajam milik Beatrix seperti jawaban untukku bahwa dia kini bukan milikku lagi..

Deru motorpun berlalu, hujan semakin lebat membasahi tubuhku, aku tidak tahu lagi apakah air hujan atau air mata yang membasahi wajahku. Aku tidak peduli...semuanya terasa begitu kosong, aku seperti kehilangan separuh jiwaku...mimpi burukku ternyata benar-benar terjadi.

***

Malam ini adalah malam ketiga aku berada di rumah mama, tapi tak ada yang bisa membetahkan aku lama-lama disini lagi, seperti tiga tahun yang lalu saat Beatrix masih bersamaku. Aku memilih duduk di teras rumah sambil memandangi langit malam yang pekat, sudah lama aku tidak memandanginya begitu lama dan penuh rasa. Entah mengapa aku memberanikan diri menatap rasi scorpio malam ini, padahal itu adalah bintang yang kami pilih untuk dipandangi jika kami saling merindukan satu sama lain...akhirnya samar-samar aku lihat bintang-bintang itu berdekatan saling berangkulan aku menatapnya penuh takjub...apakah mata Beatrix tertuju kesana juga malam ini ? sepertinya iya, mereka bahagia kelihatannya. memandangku kebawah sambil sesekali menengok ke utara mungkin Beatrix memandangi mereka dari sana..

From : My Angel

Beatrix Juvanti Tilaar

Selamat Natal



DIARY SEBELUM PERGIKU

Kring…!!, Kriiiing …!! Tiga kali telepon di Wartel tempatku bekerja berdering, tapi belum juga diangkat-angkat oleh Kiki si penjaga wartel. Dia sibuk menghitung penghasilannya hari ini, takut jangan-jangan dia nombok lagi, atau malah kelebihan.

” Ki.., telponnya diangkat dong !. Aku sedang sibuk nih, ntar lagi klienku akan datang” suruhku pada Kiki, sambil terus mengetik di papan tutsku karena sedang dikejar deadline., tanpa menunggu teleponnya berdering untuk kelima kalinya Kiki berdiri dan mengangkat gagang teleponnya.

” Halo ..!! mau bicara dengan siapa ?” Ucap Kiki sedikit kesal. Tapi nada bicaranya dibuatnya seramah mungkin.

” Oh.. sebentar ya ..aku panggilkan dulu.” Kiki meletakkan gagang teleponnya dan segera menarik kupingku dengan keras.

” Aouw..! pemai deng ngana*) ” umpatku pada Kiki sembari memegangi kupingku yang memerah karena ulahnya.

” Teleponnya buat kamu tuh !” . Kiki segera menyelesaikan hitungannya yang dari tadi belum kelar-kelar.

” Halo ini dengan Rangga, ini siapa ya ?” sapaku pada orang di seberang.

” Apa kabar ngana*) Pak Rangga, sudah lama kita tidak ketemu, ini saya Lesmana” Jawab orang di seberang yang ternyata adalah Lesmana sahabat yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri, dengan sedikit menyisipkan logat Manado yang tidak kental karena dia adalah orang Jawa. Tapi sering berbulan-bulan di Manado mengurus proyek mereka disini.

” Hei..! ternyata kamu ada dimana sekarang ? sudah lupa Manado ya ?” cecarku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

” Aku sekarang ada di Jakarta, Is, kamu besok ke Jakarta ya ? tiketnya sudah di pesan, nanti kamu tinggal ambil di kantor Manado.” Jawaban sekaligus ajakan Lesmana membuat aku tidak percaya dan sepersekian detik terdiam.

” Apa..? berapa lama aku disana dan dalam rangka ? apa mau main atau kerja ?” tanyaku, ” Pokoknya kamu ikut aku aja, disini kamu kerja bareng kami, ingat gak ada kesempatan kedua loh.?” tegas Lesmana lagi.

Kamipun ngobrol tapi tidak lama, mengingat biaya interlokal yang mahal. Hanya beberapa kali ia sempat mengingatkan padaku bahwa kesempatan tidak akan datang kedua kalinya. Berjam-jam aku terdiam sampai-sampai kerjaanku gak kelar-kelar untung aja klienku tidak jadi datang hari ini. Membuatku sedikit sedikit lega, dan punya waktu untuk memikirkan ajakan sahabatku untuk meninggalkan Manado dan kerja di tempatnya.

Kali ini Rangga pulang tidak seperti biasanya yang sampai larut malam, teman-teman di tempatnya kerja juga heran, mengamati perubahan sikapnya hari ini yang sedikit murung...

Sebelum pulang Rangga mampir dulu di belakang Marina Plaza, tempat yang sering ia kunjungi jika sedang dirundung permasalahan, pemandangan Teluk Manado, deburan ombak, serta alunan lagu-lagu melow yang diputar di menara cafe yang terletak tidak jauh dari tempat ia duduk. berada di belakang Marina Plaza sedikit memberikan ketenangan baginya untuk mengambil keputusan yang tepat.

Duduk di bebatuan yang tertata rapi di pinggiran pantai, sambil menikmati Sunset. Rangga menerawang dan membayangkan semua yang harus ia tinggalkan disini, tempat yang sudah hampir tiga tahun ditinggalinya, menemukan kenangan-kenangan indah, maupun pahit.

Ira, Indry, Kiki, Sandy semua sahabat-sahabatnya membayang tepat di kejauhan pantai Bunaken. Mereka seperti memintanya untuk tidak meninggalkan mereka, apalagi Ira gadis yang selama ini memberi aku cinta yang tulus, padahal aku hanya berniat untuk membalaskan sakit hatiku padanya atas penghianatan kakaknya padaku beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa iba dan sangat merasa bersalah kepadanya. Aku takut kepergianku akan diikuti karma darinya.

Dua hari kemudian aku pergi mencari Indry di tempat kerjanya, wanita yang tak pernah aku temukan cintaku padanya, meskipun dia selalu mengikatku dengan pertemanan yang akrab, padahal bukan itu yang aku harapkan darinya... aku berpamitan padanya dan mengutarakan niatku untuk ke Jakarta. Aku lihat goresan kesedihan terpancar dari wajah cekungnya, tapi aku mencoba untuk tidak terbawa emosi. Aku harus tegar dan bulat meninggalkan mereka.

” Rangga, kalau kamu pergi siapa lagi yang akan menemaniku disini, ?” suara datarnya Indri hampir menggoyahkan niatku dan seperti sayatan sebuah pisau. Sementara senandung lirih Peluklah Diriku milik Ari Lasso terdengar sedikit samar tepat ketika sebuah mobil angkot parkir di hadapan kami, melengkapi suasana perpisahan yang tercipta malam itu.

” Kamu masih banyak teman disini, lagi pula kita tidak bisa terus berdiam di satu tempat, kita mesti melangkah In,” ujarku sedikit meminjam kata filosofi untuk menenangkan hati kami masing-masing. Aku meraih jemari-jemari kecilnya dan memberikan sekecup ciuman didahinya. Entah itu ciuman untuk seorang pacar, sahabat atau hubungan yang melebihi keduanya. Dengan sedikit lambaian tangan dan tatapan menyentuh aku meninggalkan Indry, dan membiarkan segumpal air bening menggantung di sudut matanya yang tetap kelihatan indah, meski titik-titik bening itu semakin bertambah. segera kupalingkan wajahku agar tidak trenyuh, dan melangkah pulang.

Di tempat kostku, teman-temanku berkumpul di sudut gang yang sering aku lewati jika pulang kerja,..

” Abang pulang...” celetuk Agen, ketika aku hampir mendekati mereka, kebetulan Ira ada bersama mereka, tak lama kemudian mereka berdua sudah saling berkejaran.

” Aduh sakit tahu ” Agen meringis dan memegangi kepalanya yang ditimpuk Ira dengan sandalnya. ” Makanya jangan suka ngeledekin orang dong ?” teman-teman menertawakan Agen yang meringis kesakitan. Aku ke rumah sebentar untuk ganti pakaian, kemudian mendatangi teman-teman yang sedang ngumpul dan bergabung bersama mereka.

Ira mendekati aku dengan wajah yang sedikit murung, entah apa yang sedang terlintas dalam pikiran gadisku itu. Mungkin suatu firasat telah mengelabui hatinya tentang kepergianku.

” Ra..! aku mau berangkat, mungkin tiga hari lagi kamu akan melewati masa-masa, dimana kamu harus membiasakan dirimu tanpa kehadiranku” ucapku memecah kesunyian malam itu, dinginnya udara malam membuat Ira merapatkan tubuhnya disampingku.

” Kamu mau kemana ? pulang ke Kota ya ?, baru dua hari yang lalu kamu pulang, kok sekarang mau pulang lagi.” tanya Ira penuh selidik, mulutku semakin terasa terkunci untuk menyampaikan kalimat-kalimat perpisahan padanya, malam itu.

” Aku diajak teman lamaku untuk kerja di Jakarta”

” Jadi, kamu akan meninggalkanku begitu saja ?, meninggalkan semua kenangan dam impian yang baru saja kita bangun,?” ucap Ira serak dengan tatapan mata yang memohon kepadaku.

” Bukannya aku tidak peduli padamu, tapi ini juga untuk masa depanku, dan ini sudah aku cita-citakan sejak kecil, mestinya kamu turut mensuport aku, bukannya melemahkan ketegaranku untuk pergi”. Tegasku meyakinkan Ira, aku sandarkan wajahnya lebih rapat lagi dalam pelukanku, dan membelai rambutnya yang dibiarkan terurai.

” Aku bukannya tidak mengijinkan kamu pergi, tapi aku takut kehilanganmu, kamu jangan marah jika aku bersikap begini. Mungkin inilah cinta sesungguhnya yang pernah aku berikan pada lelaki, aku tidak pernah setakut ini.” ucap Ira sedikit berbisik, suaranya seperti menggema dalam telingaku. Kucoba mendamaikan hatinya memberikan ciuman dikeningnya, kami saling berangkulan begitu rapat, sementara angin malam terus membungkus kami dengan udaranya dinginnya.

Malam semakin larut, namun Ira masih tetap memelukku, sepertinya dia tidak mau merelakan malam ini berlalu begitu saja, kami tidak tidur, dia tidak mengijinkan aku pulang,..

” Aku tidak tahu apakah malam ini akan terulang lagi, ataukah ini adalah yang terakhir aku memelukmu, ada kekawatiran dalam jiwaku, mungkin suatu nanti kamu kembali tapi keadaan kita sudah berubah” kata Ira lagi dengan tatapan yang ia lemparkan ke langit gelap. Aku mencoba memaknai kata-kata jujurnya, sedikit demi sedikit lenganku basah oleh tetesan-tetesan air matanya, sepertinya ia menangisi perpisahan kami.

” Kamu jangan berkata seperti itu, yakinkan diri dan berdoalah untuk cinta kita, agar aku kembali masih membawa cinta kita.” hiburku kembali padanya dan mencoba menghapus titik-titik embun diwajahnya yang pucat.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh, suara pengajian terdengar dari kejauhan tidak lama lagi sholat subuh. Aku membangunkan Ira yang masih terlelap dipangkuanku. Mencium kedua keningnya sebelum matanya terbuka dan mendapatkan aku tengah menatapnya penuh haru.

” Ira, kamu tidak usah mengantarku ke Bandara, aku tidak kuat menatap tatapan sedihmu disana, juga air mata perpisahanmu. Relakan aku pergi karena mungkin inilah jalan hidupku yang mesti kujalani” kataku menghiburnya, sementara suara kokok ayam sudah semakin ramai. Aku meninggalkan dia dan membisikkan sebuah kata perpisahan, memeluknya untuk yang kesekian kalinya, mencoba meyakinkannya bahwa aku akan kembali lagi untuknya. Kemudian pulang ke tempat kosku.

Kutengok wakerku yang tergeletak di pojok kamar menunjukkan pukul 8 pagi,. ” wah gawat, aku belum juga merapikan semua barang-barang yang akan aku bawa” batinku sendiri. Aku sibuk mengemasi barang-barangku. Tiba-tiba ponselku berdering, tergesa-gesa aku meraihnya aku mengira itu Indry, tapi ternyata Lesmana, menanyakan jam keberangkatanku. Mengapa Indry belum juga menelponku, ataukah dia belum bangun. Beribu pertanyaan menumpuk dikepalaku tentang keberadaan sahabatku itu. Tepat jam 9 Rahmat sudah menjemputku di kost. ia menawarkan untuk mengantarku ke Bandara. Akhirnya semua barang-barangku sudah beres semua. Kukenakkan sepatu dan menyalami semua orang rumah, ada segumpal kesedihan terbesit di hatiku, kupandangi sekelilingku, poster-poster dikamarku, juga teman-temanku yang sedang menungguku di pintu depan, mereka ingin menyampaikan selamat jalan untukku, aku terharu melihat begitu mereka sangat kehilanganku, akupun sangat kehilangan kalian semua” bisikku dalam hati. Rahmatpun menghidupkan motornya, akupun naik, dan menatap sabahatku satu persatu, ditengah kerumunan mereka seorang gadis sedang menatapku dengan menahan sebuah gelombang air mata di dadanya, aku pun sesak hati menatapnya dan membiarkan dia mengecup keningku untuk terakhir kali. Kulambaikan tanganku, deru motorpun melaju meninggalkan debu-debu halus dibelakangku. Mereka mengucapkan selamat jalan kepadaku dan memanggil-manggil namaku, tapi aku tidak lagi memalingkan wajahku pada mereka, aku takut bintik-bintik basah dimataku akan terlihat oleh mereka. Aku menyuruh Rahmat untuk lebih kencang lagi, aku tak mau lebih lama lagi berada di kompleks itu. Dan ingin segera meninggalkan pemandangan yang mengharukan dari orang-orang yang aku sayangi di tempat ini.

Setibanya di Bandara aku langsung chek-in, disana sudah ada Silvan sahabatku semenjak kecil, dia sudah bersuami dan tengah hamil muda. Ia sengaja datang ke Bandara, karena tempat tinggalnya tidak jauh dari bandara, suaminya juga turut mengantarku.

Perasaanku semakin gugup ketika pesawat yang akan membawaku ke Jakarta tiba di Bandara. Aku ke toilet sebentar mencuci muka, lagi-lagi terdengar olehku alunan lagu Ari Lasso, membuatku tiba-tiba teringat pada Indry bersamaan dengan itu beberapa detik kemudian ada SMS masuk ke nomorku.

” Rangga..Indry ingin sekali mengantarmu, tapi In tidak tega melihatmu, mudah-mudahan kamu sukses, Indry sudah menganggapmu seperti kakakku sendiri, tapi kemana lagi aku harus mengadu. Tidak pernah aku memiliki sahabat sepertimu, jangan pernah kamu melupakan aku, Salam sayang untukmu selalu, selamat Jalan” kalimat-kalimat itu aku baca berulang-ulang kali, tanpa terasa terdengar perintah dari petugas bandara agar para penumpang segera menuju pesawat karena waktu berangkat sudah tiba. Aku memencet nomor Indry dan menghubunginya sebelum aku naik pesawat. Nada sela HP yang terpasang di ponselnya semakin menambah rasa kehilanganku akan dirinya, suara merdu Christian Bautista yang sangat romantis terdengar beberapa saat sebelum Ia mengangkat Hpnya.

” Haloo...Rangga, kamu sudah di bandara ya ?,

sory aku tidak tega mengantarmu sampai disana.”

suaranya agak terbata-bata dan terisak.

Mulutkupun seperti terkunci aku diam dan membiarkan dia bicara disamping isaknya yang perlahan.

” Kamu akan pergi ya..?

...aku tidak mau..kamu meninggalkan aku disini siapa lagi yang akan menemaniku, ?” tangisnya semakin jelas,

” Ind, kamu jangan sedih..ini bukan akhir dari segalanya

ini adalah awal bagiku, mungkin jarak yang jauh bisa membuatmu untuk menyadari betapa aku sangat mengharapkanmu, menyayangimu, ...perlu kamu tahu aku tidak menghubungi kekasihku detik-detik keberangkatanku, yang seharusnya dialah yang harus aku hubungi saat ini.” suaraku sedikit terputus-putus, kukuatkan hatiku untuk mengucapkan kata-kata selanjutnya tapi aku tak kuat lagi,

” Ind sudah dulu ya ...? doakan aku, jaga dirimu baik-baik ..da..?”

” Rangga..? jangan tutup dulu teleponnya, aku mohon,.. aku mohon,...?” Suara Indry semakin menghilang, hanya samar aku dengar namaku disebutnya berulang-ulang, sepertinya ia tidak merelakanku. Langsung ku tutup dan matikan HP agar hatiku tenang. Membiarkan seseorang di seberang yang mungkin sedang berusaha untuk menghubungiku kembali. para penumpang sudah berjalan menuju pesawat. Akupun mengikuti mereka berjalan di barisan paling belakang.

Tak lama kemudian aba-aba dari pesawat mengingatkan para penumpang untuk merekatkan sabuk pengaman terdengar. Akupun segera melilitkan sabuk pengamanku. Menutup mataku dan berdoa sejenak, selesai berdoa aku biarkan mataku terpejam beberapa saat dan menghadirkan wajah-wajah orang yang aku tinggalkan. Indry...Ira...wajah mereka berdua bergantian hadir dalam benakku. Kubuka kembali mataku dan menjatuhkan pandanganku ke bawah memandangi Manado yang semakin mengecil dan kemudian tertutup awan putih. Sebuah kalimat terbisik dalam hatiku ” Selamat Tinggal Manado, aku akan merindukanmu bersama orang-orang yang menyayangi, dan mencintaiku” dan akupun terlelap dalam tidur ditemani mimpi-mimpi indah tentang masa depan yang menantiku disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun