Â
Yang mesti juga diingat adalah, rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli membedakan yang mana "berkat" dari "kutuk" yang menimpa kita. Kemampuan membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan utama.Â
5.5. Kesimpulan dan Cacatan Kritis
Â
Konflik dan perang menurut Habermas adalah buah dari patologi komunikasi yang disebabkan oleh naluri untuk berkuasa dari satu pihak yang tidak dapat dikontrol, ataupun ketidakmampuan satu pihak yang mentransendir perspektifnya, dan kemudian menggunakan perspektif partisipan lainnya, ataupun perspektif yang lebih luas dari sekedar kepentingannya sendiri. Dalam kedua situasi yang sebutkan terakhir ini, situasi pembicaraan ideal yang dirumuskan Habermas tidak akan terpenuhi, terutama karena inklusifitas, kebebasan dari paksaan, kesetaraan, kejujuran, kebenaran, komprehensibilitas, dan ketepatan pembicaraan juga tidak terwujud.
Â
Konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi sulit dihentikan, karena terjadi apa yang disebut Habermas sebagai spiral kekerasan yang muncul, akibat patologi komunikasi. Spiral kekerasan tersebut adalah tindak kekerasan yang dibalas juga dengan tindak kekerasan, sehingga kekerasan (seakan) tidak pernah dapat diputus.
Â
Karena masalahnya adalah patologi atau distorsi komunikasi, maka solusinya juga terdapat didalam komunikasi itu sendiri, yakni penciptaan komunikasi yang inklusif, bebas dominasi, dan egaliter antara berbagai pihak yang berbeda kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi, politik, maupun budaya. Penciptaan komunikasi ideal semacam itu hanya dapat ditempuh, jika masing-masing pihak memiliki dua macam kesadaran, yakni kesadaran untuk melampaui perspektif kepentingan nasional maupun kepentingan ikatan primodialnya dan kemudian menggunakan perspektif yang lebih luas, maupun kesadaran untuk mengambil alih perspektif pihak lainnya untuk menciptakan empati dan simpati di antara partisipan komunikasi.
Â
Dua macam kesadaran tersebut tidaklah datang dari langit, melainkan dipromosikan melalui hukum, dan penciptaan otoritas supranasional yang bekerja sama secara global untuk menyebarkan kesadaran tersebut melalui kebijakan maupun program-program mereka. Dengan demikian, kesadaran kosmopolitanisme adalah buah sekaligus pembentuk dari terciptanya otoritas supranasional yang legitim, dan tersambung secara diskursif dengan seluruh warga negara global. Karena itu ada beberapa catatan Kritis yang perlu dialamatkan kepada Habermas tentang rasio komunikatif dalam kaitan dengan distorsi komunikasi dan terjadinya konflik dalam masyarakat:
Â