Pertama, pemikiran Habermas bersifat elitis, naif, dan terlalu normatif, terutama karena ia merumuskan segala sesuatu secara indah dan tampak koheren, dan sambil melupakan kenyataan yang tak seindah yang dipikirkannya.
Kedua, Habermas memandang rendah tradisi dan sejarah komunitas, dan menempatkannya sebagai primordial. Bagi Habermas, setiap tradisi haruslah siap untuk melepas perspektifnya, sehingga ada bahaya bahwa tradisi yang khusus dan spesifik tersebut akan musnah, karena ditelah oleh narasi besar universalisasi norma yang ditawarkan Habermas.[25] Habermas lupa, bahwa bagi beberapa pihak, tradisi sangatlah penting dan harus dijaga serta dilestarikan, dan bukan untuk ditukar demi suatu prinsip universalisasi abstrak. Bahkan, universalitas adalah suatu tradisi berpikir tertentu, dan dengan mengklaimnya berlaku untuk semua tradisi, universalitas tersebut telah menjadi selubung bagi penindasan atas perbedaan.
Ketiga, prinsip diskursus Habermas, yang merupakan inti dari filsafat moral Habermas, mereduksikan "moralitas menjadi teknik" semata, sehingga melupakan nilai subtansial kebaikan itu sendiri, dan pembiasaan untuk bersikap moral. Prinsip diskursus Habermas dapat digunakan untuk melegitimasi pembunuhan, jika pembunuhan tersebut telah dianggap sebagai suatu "kesepakatan" bersama.Â
Empat, filsafat politik Habermas mau menerapkan model tindakan komunikatif di level internasional, dan oleh karena itu, pengandaian dasarnya adalah bahwa hukum dan keadilan dapatlah dijembatani melalui diskursus bebas dominasi, inklusif, dan egaliter antara partisipan yang rasional. Pengandaian tersebut tampak sangat jauh berbeda dengan realitas, dimana hukum dan semua bentuk peraturan legal lebih ditentukan oleh kekuatan, baik itu kekuatan senjata maupun kekuatan argumen.
Beberapa bentuk pemerintahan lebih memilih untuk bersikap tidak rasional, dan kekuatan senjata terkadang lebih berbicara dalam kasus-kasus pemerintahan irasional semacam itu, daripada kekuatan argumentasi dan dialog. Tanpa adanya kekuatan dan otoritas, konsensus tidak akan pernah dicapai, dan alih-alih konsensus, yang tercapai justru adalah ketidaksetujuan bersama. Â Â
Lima, pengandaian-pengandaian Habermas memang tampak tidak terlalu banyak sesuai dengan kenyataan. Salah satu yang paling mencolok adalah tesisnya, bahwa cara membenarkan hasilnya.[26]
Dalam sikap politiknya, ia cenderung untuk mendukung terciptanya institusi supranasional, seperti EU dan PBB, untuk mempromosikan nilai-nilai inklusifitas pada level global. Akan tetapi, ia tampak mengabaikan begitu saja perubahan institusi-institusi supranasional tersebut menjadi birokrasi raksasa, yang semakin independen dari warga negara terkait.
Dengan membenarkan keberadaan institusi tersebut tanpa mengajukan kritik-kritik tajam atasnya, Habermas sebenarnya dapat dianggap sebagai salah satu filsuf yang menjustifikasi kekuasaan dan penindasan atas nama kestabilan. Pada level ideal, ia merumuskan suatu bangunan teori yang koheren, tetapi pada level aktual, ia tidak meninggalkan apa-apa kepada kita, kecuali ambiguitas
Maka, kita tentunya berhak menanyakan kembali kesahihan dari tesis Habermas, bahwa perdamaian dapat dicapai melalui "percakapan", sambil juga kritis, bahwa jangan-jangan, percakapan tersebut hanyalah merupakan pembenaran bagi suatu bentuk penindasan tertentu yang menguntungkan pihak yang lebih kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H