Parlemen sebagai perwakilan masyarakat tidak juga dapat menampakkan rasa keberpihakannya
kepada masyarakat sebagai yang diwakilinya. Kebijakan-kebijakan yang kontroversial tidak
henti dibuat dan menjadikan masyarakat tidak memahami siapakah sebenarnya yang mereka
wakili. Kebijakan kali ini yang tidak berpihak pada masyarakat itu adalah dana aspirasi.
Dana aspirasi merupakan dana yang diberikan oleh DPR secara langsung kepada masyarakat
dengan kegiatan mengumpulkan aspirasi dari masyarakat lalu lewat DPR diteruskan kepada
pemerintah pusat lalu direalisasikan dengan program-program yang pembangunan masyarakat.
Dana Aspirasi ini memiliki maksud untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,
pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dan pembangunan ke daerah.
Selama ini dirasakan bahwa dana pembangunan daerah masih kurang memuaskan dan jauh
dari harapan. Sehingga bagi DPR sangat penting untuk merealisasikan dana aspirasi ini.
Bersamaan dengan hal itu, kebijakan dana aspirasi ini memunculkan polemik di lain sisi.
Penolakan dari banyak kalangan terus tumbuh khususnya dari masyarakat. Alasannya
sederhana, yaitu dana aspirasi tidak lain hanya sekedar motif DPR untuk kepentingan politik
jangka panjang yaitu memperpanjang simpati masyarakat untuk dipilih kembali (investasi
politik).
Anggota DPR memiliki “gaji” yang cukup besar sebagai pejabat negara. Tunjangan-tunjangan
juga tak hentinya mengalir setiap bulan, juga dana-dana reses yang sangat besar yang
semestinya juga dapat menjadi ruang mengumpulkan aspirasi masyarakat untuk diteruskan ke
pemerintah. Namun mengapa pada saat yang sama parlemen menginginkan tambahan dana
aspirasi yang jumlahnya juga tak kalah sangat besar.
Dana aspirasi ini menurut DPR memiliki landasan hukum yang kuat yakni UU No 42 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dimana pasal 80 huruf (J) menyatakan bahwa hak
anggota dewan mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Mengacu kepada UU itu, maka DPR harus melaksanakan apa yang menjadi amanat UU, tapi
bersamaan dengan itu yang harus dipahami oleh DPR bahwa amanat UU memang harus
dilaksanakan akan tetapi di atas UU selalu ada “etika” dan “rasa keadilan”. Kali ini masyarakat
menganggap bahwa dana aspirasi ini hanya membuang-buang uang negara.
Dari 10 Fraksi yang ada, ada 7 fraksi yang menyetujui dana aspirasi ini direalisasikan, dan
selebihnya sangat tidak menyetujui. Pada saat pengusulan program, program yang harusnya
dibahas serius, justru menjadi lelucon dan guyonan para anggota dewan yang “terhormat” itu.
Di sisi lain, Ketua DPR RI, saat rakyat memperhatikan kicauannya di media sosial sangat
menolak penggelontoran dana aspirasi sebesar Rp11, 2 T itu, tapi pada saat yang sama
fraksinya yang “getol” dan “ngotot” agar dana ini segera direalisasikan.
Sudah rahasia umum, bahwa Parlemen adalah ruang politik yang penuh dengan “dagelan”.
Drama-drama, “akrobat politik”, selalu dipertontonkan para wakil rakyat. Semua bicara tentang
aspirasi masyarakat akan tetapi sebetulnya hanya mementingkan kepentingan partai dan
kelompok maupun golongan tertentu saja. Selalu saja ada kekeliruan berpikir oleh para “wakil
rakyat”. Sistem parlemen yang terus berkembang bukan untuk bagaimana dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan kerakyatan dan kebangsaan, tapi lebih kearah bagaimana memenuhi
kepenting partai. Aspirasi justru tidak terkoordinir dengan baik.
Jika kepentingan partai menjadi tujuan utama maka tidak akan tercapai cita-cita kesejahteraan
bangsa, pertumbuhan ekonomi, yang menjadi landasan dibuatnya kebijakan dana aspirasi ini.
Dampak yang paling kentara kedepan dan paling berbahaya adalah jika dana ini direalisasi
adalah DPR berpotensi menjadi “calo anggaran”.
Sejak dulu, DPR sebagai perwakilan rakyat dihujat tiada henti oleh rakyat itu sendiri. Permainan
anggaran demi kepentingan tertentu sudah menjadi rahasi umum dan sering terdengar di
telinga kalangan manapun. “Calo anggaran” selalu disematkan dalam tubuh DPR jauh saat dana
aspirasi ini ada, karena memang di lembaga inilah semua kebijakan diambil keputusan dan tidak
jarang hanya mengakomodir kepentingan golongan. Terlebih jika dana aspirasi ini
direalisasikan.
Jumlah anggarannya pun tidak sedikit, yakni per anggota DPR akan mendapatkan dana aspirasi
daerah sebesar Rp.20,3 Milyar. Jumlah yang sangat fantastis. Dengan besarnya jumlah
anggaran tersebut maka potensi untuk menjadi “calo anggaran” di tubuh DPR baunya semakin
“menyengat”.
Pengambilan keputusan oleh DPR untuk merealisasikan dana aspirasi tersebut sangat
bertentangan dengan beberapa UU, walaupun DPR mengacu pada UU MD3, akan tetapi hal ini
sangat bertentangan denganUU NO 17/2003 tentang Keuangan Negara yang berbasis kinerja,
bukan berdasarkan alokasi anggaran.
Dana aspirasi ini dkhawatirkan tidak tepat program dan hanya sebagai “investasi politik” bagi
para anggota DPR untuk setiap agenda politik yang aka dihadapi kedepan. Jika basisnya adalah
berbasis kinerja, maka sebelum anggaran ini direalisasikan harus dilihat dulu seberapa
signifikan DPR hingga saat ini mengoptimalkan dana-dana reses dan dana-dana lainnya dalam
rangka menyerap aspirasi masyarakat dan merespon apa yang menjadi kepentingan rakyat. JIka
tidak signifikan maka dana aspirasi sangat berpotensi untuk “diselewengkan”.
Mempertegas Fungsi DPR
Sejak dulu hinga sekarang, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.
Fungsi legislasi maksudnya adalah membuat rancangan Undang-undang, merevisi Ungan-
Undang yang sudah tidak tepat bagi kondisi masyarakat yang dinamis. Tentu dalam pembuatan
UU tersebut harus berpihak pada masyarakat karena segala pembuatan UU harus Pro-Rakyat.
Disamping itu, DPR juga memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Khususnya fungsi penganggaran, tugas DPR itu merancang dan membahas apa yang menjadi
masukan, saran dalam setiap asumsi dasar makro maupun mikro ekonomi negara. Kebutuhan
anggaran bagi pembangunan negara yang dibahas bersama-sama eksekutif. Bukan selaku
pengguna anggaran!
Adanya dana aspirasi ini maka fungsi DPR bisa bertambah sebagai pengguna anggaran. Hal ini
sangat tumpang-tindih dengan eksekutif karena selama negara ini bernafas, penggunaan
anggaran lebih tepat digunakan oleh eksekutif ataupun pemerintah dalam rangka membangun
kepentingan bangsa dan negara.
Penggunaan anggaran juga akan berlebihan dan membebani khas negara, apalagi disinyalir
bahwa dana aspirasi ini akan diambil dari APBN, maka beban negara sangat besar hanya
memenuhi program pembangunan yang tumpang-tindih, tidak tepat sasaran dan cenderung
hanya memaksakan kepentingan pribadi DPR saja.
Jika para anggota DPR menerima dana aspirasi itu, maka bisa dipastikan bahwa fungsi DPR
berikutnya yaitu fungsi pengawasan akan terabaikan. DPR hanya akan fokus pada dana aspirasi
untuk membangun daerah, kapan dicairkan, dan kapan diaksanakan program-programnya.
Menukil Media Indonesia (24/06/15), bahwa akan banyak berkeliaran “pemburu” dana aspirasi
berseragam parlemen.
Ini adalah jurus lama yang dipertontonkan DPR, modusnya pembangunan daerah,
pertumbuhan ekonomi akan tetapi sebetulnya hanya untuk kepentingan pribadi dan
golongannya. Semua bisa berkaca pada putusan MK tahun 2013 yang menyatakan DPR tidak
lagi punya hak untuk membahas anggaran terperinci sampai satuan tiga. Tapi kondisi ini sangat
bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Dengan adanya kebijakan ini maka efisiensi anggaran juga tentu tidak dapat tercapai. Dalihnya
mengefisiensi anggaran dengan banyak kebijakan seperti pengurangan subsidi BBM dan Tenaga
Listrik, namun bersamaan hal itu anggaran justru diporsir dalam jumlah yang sangat besar
kepada kepentingan anggota-anggota DPR lewat dana aspirasi.
Potensi Korupsi sangat bisa terjadi dalam penerapan dana aspirasi ini, bayangkan saja sebelum
dana aspirasi ini bergulir, begitu banyak anggota DPR yang terkena kasus korupsi seperti
penerapan dana Bantuan Sosial. Berkaca dengan hal itu maka dana ini harus diwaspadai. Maka
harus ada lembaga yang “betul-betul” kredibel untuk mengawasi jika memang dana ini
direalisasikan.
Keberadaan KPK dan BPK sangat penting bagi masyarakat. Hanya kedua lembaga ini yang dapat
mengawasi dan mengambil tindakan jika terjadi penyelewengan. Tubuh KPK yang katanya
sekarang sedang “remuk” harus segera dipulihkan kembali dengan formula yang lebih baik dari
sebelumnya. Jika kedua lembaga ini lemah, lesu, maka dana aspirasi ini akan bergulir mengikuti
aturan main “sang empunya”.
Konsistensi Anggota DPR sangat dibutuhkan disetiap kebijakan yang diambil, termasuk pada
dana aspiasi ini jika memang betul akan direalisasikan. Kejernihan pikir dan “kepekaan rasa”
pada yang diwakilinya agar tetap cerah dan mencerahkan, tidak malah suram-menyuramkan.
Kualitas program jauh dari harapan, dan sama sekali tidak mengena pada apa yang menjadi
tujuan dana aspirasi ini.
Muh Fitrah Yunus
Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM – Staf Ahli DPD RI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H