Mohon tunggu...
Muh Fitrah Yunus
Muh Fitrah Yunus Mohon Tunggu... Staf Ahli DPD RI -

Muhammad Fitrah Yunus (Fitrah El-Fairuz) adalah anak pertama dari pasangan Ir. H. Muh Yunus Palaguna dan Hj. St. Haeriah S.PdI. Lahir di Butta Toddang, Gowa, pada 8 Mei 1988. Hobinya adalah membaca, menulis dan olahraga. Fitrah nyantri di Madr. Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta hingga 6 tahun dan telah menyelesaikan studi S1-nya di Hubungan Internasional Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan, Fitrah telah menulis beberapa buku, Jurnal, novel, juga penelitian yang telah dan tengah akan dibukukan. Diantaranya: Indonesia di Tengah Kutukan, Freeport dan Pengentasan Kemiskinan di Papua, Dominasi Amerika Serikat di Indonesia, Hak atas Kekayaan Intelektual, Politik Ekonomi Anti Rakyat, Supremasi Organisasi Multilateral, Memberdayakan Ummat, Manusia Anamnesis, dan Binasa; Drugs Killing Us Softly. Seringkali Ia juga mengisi seminar2 lokal, nasional maupun internasional. Fitrah pernah menjadi pembicara di pertemuan internasional Asia Eropa Meeting (ASEM) di Hanoi tahun 2010. Hingga sekarang aktivitasnya adalah sebagai Staf Ahli DPD RI, Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM, peneliti di Indonesia for Global Justice, sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Makassar (UMM), dosen undangan di Universitas Fajar (UNIFA). Ia juga mengelola Rumah Imajinasi (RUMI CreAtive WriThink) yaitu rumah baca dan belajar menulis. Tahun 2013 mendapatkan penghargaan sebagai tokoh muda inspiratif Fajar, tepat pada ulang tahun Graha Pena, Fajar. Sekarang melanjutkan studinya di Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan UNHAS. Orangnya sangat ramah dan terbuka untuk berdiskusi dan traveling. Selamat berkenalan. ^^

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dana Aspirasi Lukai Hati Rakyat

7 Juli 2015   16:57 Diperbarui: 7 Juli 2015   16:57 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parlemen sebagai perwakilan masyarakat tidak juga dapat menampakkan rasa keberpihakannya

kepada masyarakat sebagai yang diwakilinya. Kebijakan-kebijakan yang kontroversial tidak

henti dibuat dan menjadikan masyarakat tidak memahami siapakah sebenarnya yang mereka

wakili. Kebijakan kali ini yang tidak berpihak pada masyarakat itu adalah dana aspirasi.

 

Dana aspirasi merupakan dana yang diberikan oleh DPR secara langsung kepada masyarakat

dengan kegiatan mengumpulkan aspirasi dari masyarakat lalu lewat DPR diteruskan kepada

pemerintah pusat lalu direalisasikan dengan program-program yang pembangunan masyarakat.

Dana Aspirasi ini memiliki maksud untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,

pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dan pembangunan ke daerah.

 

Selama ini dirasakan bahwa dana pembangunan daerah masih kurang memuaskan dan jauh

dari harapan. Sehingga bagi DPR sangat penting untuk merealisasikan dana aspirasi ini.

 

Bersamaan dengan hal itu, kebijakan dana aspirasi ini memunculkan polemik di lain sisi.

Penolakan dari banyak kalangan terus tumbuh khususnya dari masyarakat. Alasannya

sederhana, yaitu dana aspirasi tidak lain hanya sekedar motif DPR untuk kepentingan politik

jangka panjang yaitu memperpanjang simpati masyarakat untuk dipilih kembali (investasi

politik).

 

Anggota DPR memiliki “gaji” yang cukup besar sebagai pejabat negara. Tunjangan-tunjangan

juga tak hentinya mengalir setiap bulan, juga dana-dana reses yang sangat besar yang

semestinya juga dapat menjadi ruang mengumpulkan aspirasi masyarakat untuk diteruskan ke

pemerintah. Namun mengapa pada saat yang sama parlemen menginginkan tambahan dana

aspirasi yang jumlahnya juga tak kalah sangat besar.

 

Dana aspirasi ini menurut DPR memiliki landasan hukum yang kuat yakni UU No 42 tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dimana pasal 80 huruf (J) menyatakan bahwa hak

anggota dewan mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.

Mengacu kepada UU itu, maka DPR harus melaksanakan apa yang menjadi amanat UU, tapi

bersamaan dengan itu yang harus dipahami oleh DPR bahwa amanat UU memang harus

dilaksanakan akan tetapi di atas UU selalu ada “etika” dan “rasa keadilan”. Kali ini masyarakat

menganggap bahwa dana aspirasi ini hanya membuang-buang uang negara.

 

Dari 10 Fraksi yang ada, ada 7 fraksi yang menyetujui dana aspirasi ini direalisasikan, dan

selebihnya sangat tidak menyetujui. Pada saat pengusulan program, program yang harusnya

dibahas serius, justru menjadi lelucon dan guyonan para anggota dewan yang “terhormat” itu.

 

Di sisi lain, Ketua DPR RI, saat rakyat memperhatikan kicauannya di media sosial sangat

menolak penggelontoran dana aspirasi sebesar Rp11, 2 T itu, tapi pada saat yang sama

fraksinya yang “getol” dan “ngotot” agar dana ini segera direalisasikan.

 

Sudah rahasia umum, bahwa Parlemen adalah ruang politik yang penuh dengan “dagelan”.

Drama-drama, “akrobat politik”, selalu dipertontonkan para wakil rakyat. Semua bicara tentang

aspirasi masyarakat akan tetapi sebetulnya hanya mementingkan kepentingan partai dan

kelompok maupun golongan tertentu saja. Selalu saja ada kekeliruan berpikir oleh para “wakil

rakyat”. Sistem parlemen yang terus berkembang bukan untuk bagaimana dapat menyelesaikan

persoalan-persoalan kerakyatan dan kebangsaan, tapi lebih kearah bagaimana memenuhi

kepenting partai. Aspirasi justru tidak terkoordinir dengan baik.

 

Jika kepentingan partai menjadi tujuan utama maka tidak akan tercapai cita-cita kesejahteraan

bangsa, pertumbuhan ekonomi, yang menjadi landasan dibuatnya kebijakan dana aspirasi ini.

Dampak yang paling kentara kedepan dan paling berbahaya adalah jika dana ini direalisasi

adalah DPR berpotensi menjadi “calo anggaran”.

 

Sejak dulu, DPR sebagai perwakilan rakyat dihujat tiada henti oleh rakyat itu sendiri. Permainan

anggaran demi kepentingan tertentu sudah menjadi rahasi umum dan sering terdengar di

telinga kalangan manapun. “Calo anggaran” selalu disematkan dalam tubuh DPR jauh saat dana

aspirasi ini ada, karena memang di lembaga inilah semua kebijakan diambil keputusan dan tidak

jarang hanya mengakomodir kepentingan golongan. Terlebih jika dana aspirasi ini

direalisasikan.

 

Jumlah anggarannya pun tidak sedikit, yakni per anggota DPR akan mendapatkan dana aspirasi

daerah sebesar Rp.20,3 Milyar. Jumlah yang sangat fantastis. Dengan besarnya jumlah

anggaran tersebut maka potensi untuk menjadi “calo anggaran” di tubuh DPR baunya semakin

“menyengat”.

 

Pengambilan keputusan oleh DPR untuk merealisasikan dana aspirasi tersebut sangat

bertentangan dengan beberapa UU, walaupun DPR mengacu pada UU MD3, akan tetapi hal ini

sangat bertentangan denganUU NO 17/2003 tentang Keuangan Negara yang berbasis kinerja,

bukan berdasarkan alokasi anggaran.

 

Dana aspirasi ini dkhawatirkan tidak tepat program dan hanya sebagai “investasi politik” bagi

para anggota DPR untuk setiap agenda politik yang aka dihadapi kedepan. Jika basisnya adalah

berbasis kinerja, maka sebelum anggaran ini direalisasikan harus dilihat dulu seberapa

signifikan DPR hingga saat ini mengoptimalkan dana-dana reses dan dana-dana lainnya dalam

rangka menyerap aspirasi masyarakat dan merespon apa yang menjadi kepentingan rakyat. JIka

tidak signifikan maka dana aspirasi sangat berpotensi untuk “diselewengkan”.

 

Mempertegas Fungsi DPR

Sejak dulu hinga sekarang, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.

Fungsi legislasi maksudnya adalah membuat rancangan Undang-undang, merevisi Ungan-

Undang yang sudah tidak tepat bagi kondisi masyarakat yang dinamis. Tentu dalam pembuatan

UU tersebut harus berpihak pada masyarakat karena segala pembuatan UU harus Pro-Rakyat.

Disamping itu, DPR juga memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

 

Khususnya fungsi penganggaran, tugas DPR itu merancang dan membahas apa yang menjadi

masukan, saran dalam setiap asumsi dasar makro maupun mikro ekonomi negara. Kebutuhan

anggaran bagi pembangunan negara yang dibahas bersama-sama eksekutif. Bukan selaku

pengguna anggaran!

 

Adanya dana aspirasi ini maka fungsi DPR bisa bertambah sebagai pengguna anggaran. Hal ini

sangat tumpang-tindih dengan eksekutif karena selama negara ini bernafas, penggunaan

anggaran lebih tepat digunakan oleh eksekutif ataupun pemerintah dalam rangka membangun

kepentingan bangsa dan negara.

 

Penggunaan anggaran juga akan berlebihan dan membebani khas negara, apalagi disinyalir

bahwa dana aspirasi ini akan diambil dari APBN, maka beban negara sangat besar hanya

memenuhi program pembangunan yang tumpang-tindih, tidak tepat sasaran dan cenderung

hanya memaksakan kepentingan pribadi DPR saja.

 

Jika para anggota DPR menerima dana aspirasi itu, maka bisa dipastikan bahwa fungsi DPR

berikutnya yaitu fungsi pengawasan akan terabaikan. DPR hanya akan fokus pada dana aspirasi

untuk membangun daerah, kapan dicairkan, dan kapan diaksanakan program-programnya.

Menukil Media Indonesia (24/06/15), bahwa akan banyak berkeliaran “pemburu” dana aspirasi

berseragam parlemen.

 

Ini adalah jurus lama yang dipertontonkan DPR, modusnya pembangunan daerah,

pertumbuhan ekonomi akan tetapi sebetulnya hanya untuk kepentingan pribadi dan

golongannya. Semua bisa berkaca pada putusan MK tahun 2013 yang menyatakan DPR tidak

lagi punya hak untuk membahas anggaran terperinci sampai satuan tiga. Tapi kondisi ini sangat

bertentangan dengan putusan MK tersebut.

 

Dengan adanya kebijakan ini maka efisiensi anggaran juga tentu tidak dapat tercapai. Dalihnya

mengefisiensi anggaran dengan banyak kebijakan seperti pengurangan subsidi BBM dan Tenaga

Listrik, namun bersamaan hal itu anggaran justru diporsir dalam jumlah yang sangat besar

kepada kepentingan anggota-anggota DPR lewat dana aspirasi.

 

Potensi Korupsi sangat bisa terjadi dalam penerapan dana aspirasi ini, bayangkan saja sebelum

dana aspirasi ini bergulir, begitu banyak anggota DPR yang terkena kasus korupsi seperti

penerapan dana Bantuan Sosial. Berkaca dengan hal itu maka dana ini harus diwaspadai. Maka

harus ada lembaga yang “betul-betul” kredibel untuk mengawasi jika memang dana ini

direalisasikan.

 

Keberadaan KPK dan BPK sangat penting bagi masyarakat. Hanya kedua lembaga ini yang dapat

mengawasi dan mengambil tindakan jika terjadi penyelewengan. Tubuh KPK yang katanya

sekarang sedang “remuk” harus segera dipulihkan kembali dengan formula yang lebih baik dari

sebelumnya. Jika kedua lembaga ini lemah, lesu, maka dana aspirasi ini akan bergulir mengikuti

aturan main “sang empunya”.

 

Konsistensi Anggota DPR sangat dibutuhkan disetiap kebijakan yang diambil, termasuk pada

dana aspiasi ini jika memang betul akan direalisasikan. Kejernihan pikir dan “kepekaan rasa”

pada yang diwakilinya agar tetap cerah dan mencerahkan, tidak malah suram-menyuramkan.

Kualitas program jauh dari harapan, dan sama sekali tidak mengena pada apa yang menjadi

tujuan dana aspirasi ini.

 

Muh Fitrah Yunus

Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM – Staf Ahli DPD RI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun