Mohon tunggu...
Ashwin Pulungan
Ashwin Pulungan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Semoga negara Indonesia tetap dalam format NKRI menjadi negara makmur, adil dan rakyatnya sejahtera selaras dengan misi dan visi UUD 1945. Pendidikan dasar sampai tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara menjadi tanggungan negara. Tidak ada dikhotomi antara anak miskin dan anak orang kaya semua warga negara Indonesia berkesempatan yang sama untuk berbakti kepada Bangsa dan Negara. Janganlah dijadikan alasan atas ketidakmampuan memberantas korupsi sektor pendidikan dikorbankan menjadi tak terjangkau oleh mayoritas rakyat, kedepan perlu se-banyak2nya tenaga ahli setingkat sarjana dan para sarjana ini bisa dan mampu mendapat peluang sebesarnya untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan bisa eksport. Email : ashwinplgnbd@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengadilan Dinegaraku Yang Tidak Adil (1)

27 Juni 2012   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 2771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340778971137816438

Mungkin anda pernah tersandung suatu perkara sehingga anda terkait dengan acara pengadilan disuatu daerah. Apakah anda berperkara di Pengadilan Umum atau di Pengadilan Agama, umumnya pelayanan dan pengalaman yang anda terima setelah menjalani proses Pengadilan dalam periode yang panjang dan menyebalkan adalah ketidak adilan atas putusan akhir dari Hakim. Hal ini bisa terjadi karena banyaknya Hakim memperjual-belikan hukum dan jabatannya serta dimanfaatkan oleh Mafia Peradilan bersama para Pengacara hitam.

Tulisan saya ini didasari atas pengalaman seorang teman yang mengalami perkara Perdata di Pengadilan Agama Kota Bandung. Hakim yang berinisial drs.AS. sh, M.Ag. adalah sangat berpihak kepada penggugat (sangat tidak adil dengan sikap cara berkomunikasi dan tindakan Hakim yang kasar) dan pengadilan tingkat pertama ini berindikasi kuat berjalannya permainan kotor Mafia Peradilan. Sang Hakim berinisial AS ini pada awalnya Majelis I sebagai Hakim Anggota, lalu menjadi Hakim Mediator, pada Majelis II menjadi Hakim Ketua.

Pengacara Hitam Juga Penyebab adanya Mafia Peradilan (infokorupsi.com)

Hal ketidak-adilan yang terjadi disamping Hakim kotor, diperparah pula pada setiap Pengadilan Agama Islam diseluruh Indonesia disebabkan menggunakan dasar atas nama Hukum Islam ; yang hukumnya berisi Pasal-Pasal yang tidak Islami didasarkan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dasar pemberlakuannya hanya berupa (Inpres) Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI dalam pengaruh serta pemikiran Prof. Mr. Dr. Hazairin. KHI berkualifikasi rendah nilai Islam yang didasari hanya Inpres inilah yang dipakai diseluruh Pengadilan Agama di Indonesia.

Pengalaman mengikuti acara Perdata tersebut didasari dengan perbandingan dari tulisan "Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia" Oleh :  H. Habiburrahman.

Implikasi Hukum Putusan Sebagian Hakim di Peradilan Agama Mengenai Pengalihan Sebagian Hak Waris kepada Ahli Waris Pengganti,Anak Angkat, dan Ahli Waris Beda Agama Terhadap Proses Penegakan Hukum Islam di Masyarakat

Di lndonesia, aliran pemikiran hukum Islam diperankan oleh sedikitnya tiga aliran utama yang khas pemikiran hukum Islam, yaitu: tekstual, liberal, dan moderat. Perbedaannya bukan lagi didasarkan pada aliran mazhab yang masing-masing telah mempunyai batasan yang jelas. Seperti mengulang-ulang sejarah saja, bagi mereka yang paham dengan historisitas pertumbuhan hukum Islam pasti sudah mengetahui betul karakteristik ketiga aliran pemikiran ini.

Aliran pemikiran hukum tak pernah lepas dari tiga arus utama ini, tinggal lagi dominasinya yang kadang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan umat Islam di suatu tempat dan waktu. Bisa saja aliran yang cenderung liberal yang mendominasi, aliran yang lainnya kurang diapresiasi atau kadang aliran yang tekstual yang mendominasi sedangkan aliran yang lainnya tak mendapatkan tempat. Namun seringkali aliran moderat mendominasi sedangkan dua aliran pemikiran yang lain hanya sebagai pengembangan sayapnya.

Mengacu kepada ketiga aliran pemikiran hukum Islam tersebut di atas, pandangan masyarakat muslim di Indonesia cenderung berbeda sikap dalarn merespon sejumlah putusan hakim di Pengadilan Agama yang telah menetapkan putusan pengalihan sebagian hak waris kepada ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah. Hal ini peneliti jelaskan melalui telaah terhadap kasus putusan-putusan hakim mengenai ahli waris pengganti di Pengadilan Agama Tingkat Pertama, Tingkat Banding, Tingkat Kasasi, dan Peninjauan Kembali.

1.  Analisis Putusan Hakim Mengenai Ahli Waris Pengganti

Untuk mengkaji lebih rinci pendapat ulama mengenai fakta hukum putusan hakim Pengadilan Agama tentang pemberian hak waris Ahli Waris Pengganti  dengan wasiat wajibah, peneliti menggunakan ukuran tiga jenis putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Polewali {Pengadilan Tingkat  Pertama), Pengadilan Tinggi Agama Makasar (Pengadilan Tingkat Banding), dan Putusan Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi). Alasan peneliti memilih ketiga putusan hakim tersebut adalah ketersediaan data untuk mendukung penelitian ini, dianggap telah memadai.

Ketiga putusan tentang ahli waris pengganti tersebut, peneliti cantumkan lebih lengkap dalam Lampiran I, yang terdiri dari :

Putusan Pengadilan Agama Polewali tanggal 2 September 2008 M, bertepatan tanggal. 2 Ramadhan 1429 H, Nomor: 52/Pdt.G/2008/PA.Pol;

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar tanggal 14 Maret 2009 M, bertepatan 27 Rabi'ul Awal1430 H., Nomor: 12/Pdt.G/ 2009/PTA.Mks;

Putusan Mahkamah Agung tgl. 30 Oktober 2009, Nomor .447K/AG/2009.

Berdasarkan telaah putusan  itu, peneliti merumuskan pokok-pokok pikiran sbb.:

Pertama, kewenangan hakim di Pengadilan Agama (Tkt Pertama, Banding, dan Kasasi) memutus perkara waris mengenai Ahil Waris Pengganti, dianggap keliru karena bertentangan dengan nash dan kompetensi absolut peradilan agama;

Kedua, keabsahan putusan hakim memutuskan perkara Ahli Waris Pengganti di PA, kurang mendalami materi pokok gugatan ahli waris. Seharusnya mampu menggali sejak kapan terjadi sengketa dan mengapa para ahli waris terdahulu belum berbagi harta warisan, hingga selesainya perkara pembagian harta  warisan di pengadilan;

Ketiga, dalam memutuskan perkara gugatan hak waris di Pengadilan Agama, hakim tampak lebih banyak menggunakan pertimbangan asas legalitas dalam peraturan dan perundang-undangan, termasuk di dalamnya KHI, daripada mempertimbangan dalil-dalil qath'iyy yang ada di dalam nash-nash syari'at.

2. Analisis Putusan Hakim Mengenai Anak Angkat

Untuk mengkaji pendapat ulama mengenai fakta hukum putusan hakim Pengadilan  Agama tentang pemberian hak waris kepada anak angkat dengan wasiat wajibah, peneliti menggunakan ukuran tiga jenis putusan, Pengadilan Agama Pontianak (Tingkat Pertama), Pengadilan Tinggi Agama Pontianak (Tingkat Banding), dan Putusan Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali). Alasan peneliti memilih ketiga putusan hakim tersebut adalah ketersediaan data ur.tuk mendukung penelitian in: dianggap telah memadai. Putusan yang akan dianalisis antara lain:

a.  Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 03/Pdt-G/2003/ PA. Ptk  tanggal    21. Juli

2003 M/ tanggal 21 Jurnadil Awal 1424 H.;

b.  Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pontianak tanggal 22 Oktober 2003 M /  tanggal 26

Sya'ban 1424 H, Nomor  05 / Pdt.G / 2003 / PTA.Ptk;

c.  Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 September 2005 No. 38 K/AG/2004;

d.  Putusan Peninjauan Kembali MA  tgl. 1 Agustus 2006 No. 03 PK/.AG/2006,

Berdasarkan telaah terhadap ketiga putusan tersebut, peneliti merumuskan bahwa pemberian harta waris kepada anak angkat bukanlah merupakan ketentuan normatif yang diatur dalam nash yang qath'iyy - melainkan lahir dari pemikiran hukum yang keliru, tetapi justru telah masuk menjadi Pasal yang tertuang dalam KHI yang diberi wadah Inpres - untuk menyelesaikan sengketa pembagian harta waris melalui konsep wasiyat wajibah sebagaimana diatur dalam Pasal 211 KHI. Dengan demikian, peneliti berpendapat bahwa ketentuan hukum waris Islam mengenai wasiat wajibah kepada anak angkat dalam KHI, adalah fakta yuridis masuknya pengaruh Hukum Adat dan Hukum Barat  ke dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).

3. Analisis Putusan Hakim Mengenai Ahli Waris Beda Agama

Untuk mengkaji lebih rinci pendapat ulama mengenai fakta hukum dari putusan Hakim Pengadilan Agama tentang pemberian hak waris kepada keluarga dekat pewaris yang berbeda agama dengan pewaris,peneliti menganalisis tiga jenis putusan, yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Tingkat Pertama), Pengadilan Tinggi Agama  Jakarta (Tingkat Banding), dan Putusan Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali).  Alasan peneliti memilih ketiga putusan hakim tersebut adalah ketersediaan data untuk mendukung penelitian ini dianggap telah memadai. Putusan yang akan dianalisis antara lain:

a.    Putusan PA Jakarta Pusat, 4 November 1993 No. 377/ Pdt.G /1993 / PA.JP.;

b.    Putusan PTA Jakarta, 25 Oktober 1994 M, No. 14 / Pdt.G / 1994 / PTA.JK.;

c.    Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Juli 1998 Nomor 368 K/AG/ 1995 -

d.    Putusan Peninjauan Kembali MA, 1 Agustus 2006 No. 03 PK / AG / 2006.

Berdasarkan telaah terhadap ketiga putusan tersebut di atas, peneliti merumuskan bahwa hakim Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi Agama) menganggap putusan hakim Tingkat Pertama (Pengadilan Agama) harus ditinjau kembali dan diperbaiki, disebabkan banyaknya kelemahan dalam materi gugatan dan dasar petimbangan hukum yang digunakan oleh hakim. Demikian pula dengan Hakim Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang telah melakukan pemeriksaan ulang dan menyeluruh,  berpendapat bahwa putusan hakim Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi Agama) harus ditinjau kembali dan diperbaiki, disebabkan banyaknya kelemahan dalam materi gugatan dan dasar petimbangan hukum yang digunakan oleh hakim.

Jika dikaji dari aspek pemikiran hukum Islam, aturan hukum waris dalam KHI dapat dilihat sebagai manifestasi ijtihad ulama di Indonesia. KHI  hendaknya lebih mengedepankan mashlahah al-ummahdan tidak mengharamkan barang yang halal, atau mengorek hal-hal yang dapat mendatangkan kemaslahatan yang bersifat hakiki, nyata, dan untuk umum.  Meminjam istilah yang banyak digunakan dalam pemikiran hukum Islam, menjustifikasi hukum yang keliru menjadi benar, yang haram menjadi halal, yang makruh menjadi mubah, disebut haillah syar'iyyah.

Untuk menghindari haillah, peneliti berpendapat bahwa ber-tahkim kepada al-Quran dan Sunnah adalah suatu keharusan. Sehingga setiap keputusan hukum apapun yang menggunakan pertimbangan kemaslahatan umum, tetap tidak boleh bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini disandarkan teori mashlahah yang dikemukakan oleh lmam al-Syatibi. Dalam teori,  ia menjelaskan tujuan hukum syara" (maqashid al-syariah). Perumusan  tujuan syari'at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahah al-'ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum  syari'ah paling utarna dan  sekaligus shalihah li kulli zaman wa makan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) - untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, yang bermartabat dan ber-maslahat.

Berdasarkan teori ini, peneliti berpendapat bahwa pemberian harta waris kepada ahli waris pengganti dan anak angkat di Pengadilan Agama, lebih baik ditempuh melalui hibah dan bukan melalui  wasiat wajibah, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan hukum syara'. Imam al Syatibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat yang bersifat dharuriyyah, hajjiyyah dan tahsiniyyah - berisikan lima asas hukum syara' yakni :

(a) memelihara agama / hifzh al-din;

(b) memelihara jiwa / hifzh al-nafs;

(c) memelihara keturunan / hifzh nasl ;

(d) memelihara akal / hifzh al-aql;

(e) memelihara harta / hifzh al­ maal.

Pemberian harta waris dengan hibah (bukan dengan wasiat wajibah). tampaknya akan lebih menjamin tercapainya tujuan hukum syara', maka kemaslahatan dapat   menjadi tujuan akhir.  Teori mashlahah al-Syatibi tampaknya masih relevan untuk menjawab segala persoalan hukum waris di masa depan, tanpa terjebak pada pemikiran dan teori hukum yang dianggap bertentangan dengan syari'at Islam.

Penutup

Melalui penelitian ini peneliti menyimpulkan:

Pertama, formulasi hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai ketentuan hukum tentang  ahli waris pengganti, anak angkat dan ahli waris beda agama terbukti 1 "cacat sejak lahir",

Kedua, dasar pertimbangan hukum pemberian harta warisan kepada ahli waris pengganti, anak angkat dan ahli waris beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada umumnya bukan didasarkan kepada landasan syari'at (qath'iyyu al dilalah), tetapi lebih didasarkan kepada aspek hukum dan pertimbangan kemanusiaan yang secara hukum termasuk zhanniyyu al-dilalah;

Ketiga, berdasarkan teori­-teori hukum yang digunakan peneliti, yakni teori kredo kedaulatan Tuhan, teori perubahan hukum, teori a contrario, teori konstitusi, teori mashlahah, dan teori maqashid al­ syari'ah, pasal-pasal yg dianggap kontroversial mengenai hukum waris dalam KHI terbukti merupakan fakta yuridis masuknya pengaruh hukum Adat dan hukum Barat ke dalam KHI. Pasal-Pasal tersebut adalah:

(a) Pasal 173 KHI tentang halangan memperoleh warisan;

(b) Pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti; dan

(c) Pasal 209 KHI : ;;pemberian waris wasiat wajibah kepada anak angkat;

Keempat, putusan hakim mengenai ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris. beda agama terbukti berimplikasi kepada munculnya sikap apatis dan pelanggaran. terhadap hukum waris Islam, baik itu dalam KHI maupun putusan hakim di peradilan agama dan masyarakat.

Pada.akhirnya, peneliti juga memperoleh temuan bahwa alasan  paling mendasar mengapa masyarakat Muslim cenderung kurang  peka dan rnerespon secara kritis  ketentuan ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dengan pertimbangan wasiat wajibah dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI adalah disebabkan pertimbangan kemaslahatan dan adat. Selain karena Inpres untuk keberadaan KHI tersebut merupakan sumbangan pemikiran ulama di Indonesia, juga karena pertimbangan kemaslahatan ummat, yakni untuk tujuan kepastian hukum penyelesaian perkara waris yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh hukum. Adat dan hukum Barat.

Temuan berikutnya adalah kekeliruan  sejumlah hakim di Pengadilan Agama yang  telah mengeluarkan putusan hukum memberikan hak waris kepada ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dengan pertimbangan wasiat wajibah - pada umumnya terlalu mempertimbangkan asas legalitas - yakni dalam Pasal 173 KHI tidak dicantumkan secara verbal kata-kata "non Muslim", sehingga wasiat wajibah dijadikan pertimbangan hukum pemberian hak waris selain pertimbangan kemanusiaan.  Padahal argumen tersebut merupakan suatu hal yang menyimpang jika tidak bertentangan dengan ketentuan syari'at dan ditolak oleh kalangan ulama mujtahid/jumbur. Olen karena itu, ketentuan waris bagi ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dalam KHI hendaknya "direkonstruksi" untuk dikem­balikan kepada ketentuan al-Qur'an dan Sunnah.

Berkenaan pada rumusan kesimpulan di atas, peneliti mengajukan tiga catatan penting sebagai saran atau rekomendasi dari penelitian ini, antara lain :

1 .    Perlu dilakukan ' penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai hukum ahli waris pengganti dalam KHI, terutama Pasal 171, 172, 173, 174, 177, 185, 191, 208 dan 209. Pasal-pasal tersebut hendaknya direkonstruksi kembali dan/atau diamandemen agar sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Pencetus ahli waris pengganti, Hazairin sudah cukup "berani" mengembangkan penafsiran QS. An Nisa'  (4) : 33, melalui pendekatan hukum Adat dalam rangka usahanya menghidup-suburkan teori receptie. Namun demikian,  penafsiran ayat-ayat hukum yang diformulasi ke dalam peraturan tidak dibenarkan bertentangan dengan nash-nash syari'at.

2.   Kalangan akademisi pada Fakultas Syari'ah dan Hukum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) serta hakim di Pengadilan Agama hendaknya lebih pro aktif mengkaji, menggali, dan menemukan rumusan-rumusan hukum Islam  yang baru, serta bukan hanya terpaku atau mengacu kepada hukum materil, atau hanya kepada yurisprudensi yang sudah ada;

3.    Aparatur pemerintahan dan pengambil kebijakan pada tingkat legislatif,  eksekutif, dan yudikatif hendaknya menindaklanjuti temuan  penelitian ini dengan menyusun Rancangan Undang-Uadang Hukum Kewarisan, Islam untuk selanjutnya ditetapkan sebagai instrument  hukum  waris bagi umat  muslim di Indonesia, seperti halnya UU Peradilan Agama, UU Perkawinan,  UU Perwakafan, UU Penyelenggaraan Haji, dan UU Perbankan Syari'ah.

Menyusul  "Pengadilan Dinegaraku Yang Tidak Adil (2)"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun