Kelompok Ketiga adalah pengacara pengacara yang mencari duit dari pekerjaan menggunakan uang dan kekuasaan, diisitilahkan dengan "pengacara nekat", jadi makelar kasus, pengacara pengacara seperti ini sering berhasil memenangkan perkara hanya bermodalkan kenekatan belaka, bagi mereka uang dan kekuasaan lebih penting dari pada pledoi ataupun dalil dalil hukum diatas kertas serta kehormatan profesi.
Beberapa pengacara yang mengklaim sukses saat ini sebahagian adalah pengacara pengacara "berani nekat" yang bermodalkan kenekatan semata, kenekatan untuk tampil di pengadilan maupun didepan publik dan kenekatan untuk melakukan trik-trik curang di pengadilan.
Pendekatan uang dan kekuasaan terhadap pengadilan yang sering dilakukan oleh pengacara nekat ini sangatlah berbahaya dalam upaya penegakan hukum dan menciptakan tujuan hukum. Uang dan kekuasaan dapat membuat segala-galanya berubah dari hitam menjadi putih dan yang gelap bisa jadi terang. Pengacara Pengacara tipe ini dalam praktiknya sering sangat aktif dalam membujuk kliennya untuk melakukan suap ataupun menggunakan uang dan kekuasaan guna memenangkan perkara. Biasanya pula kelompok ini di dalam menghadapi klien selalu mencari cari atau menciptakan perkara, kelompok ini pula sering "membisniskan" klien dengan menjadikan klien sebagai komunitas eksploitasi cendrung berperilaku memeras.
Advokat dengan karakteristik yang mengesampingkan ilmu hukum, moral, etika dan tujuan inilah yang berpotensi mewujudkan praktek mafia peradilan, praktik mafia peradilan tersebut setidaknya mempengaruhi empat hal:
      Pertama, prosedur-prosedur beracara yang rumit dan berbelit-belit membuat proses pencarian keadilan di forum-forum hukum menjadi tidak sederhana dan sulit dipahami, mengakibatkan rendahnya kemandirian dan keberanian masyarakat pencari keadilan untuk bersentuhan dengan institusi-institusi hukum.
      Kedua, proses hukum menjadi penuh intrik, rekayasa dan tipu daya, baik secara substansi maupun prosedur penegakannya, mengakibatkan proses penegakan hukum berjalan begitu panjang/lama dan penuh intrik yang tidak perlu. Sehingga baik korban maupun tersangka sama-sama akan dikuras tenaga, pikiran dan waktu untuk sekedar menanti keputusan lembaga peradilan yang belum tentu juga nantinya mencerminkan rasa keadilan bagi mereka.
      Ketiga, praktek jual beli dan konspirasi keadilan yang telah membudaya tersebut, bahkan relatif dianggap wajar, melahirkan biaya-biaya tidak resmi di luar biaya formal dalam jumlah yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh para masyarakat miskin dan masyarakat pencari keadilan pada umumnya.
      Keempat, kondisi demikian melahirkan ketidakmampuan dan pesimisme bahkan apatisme masyarakat untuk beracara di institusi-institusi hukum. Konsekuensinya adalah hak atas keadilan (yang merupakan bagian dari hak asasi manusia) masyarakat harus terdegradasi oleh praktek-praktek mafia peradilan.
Perilaku mafia peradilan ini merupakan suatu gejala yang merusak tatanan penegakan hukum.Kondisi ini dilegitimasi dengan ketentuan KUHAP yang banyak memberikan diskresi kepada aparat penegak hukum, yang pada praktiknya banyak digunakan sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan imbalan material. Diperparah pula dengan lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dan ketidakmampuan negara membiayai penegakan hukum secara memadai, berbagai faktor tersebut sangat memperburuk citra penegakan hukum di mata masyarakat. Akhirnya hukum menampilkan diri bukan sebagai tempat mendapatkan keadilan tetapi mempertaruhkan uang untuk membeli keadilan.
Suatu proses peradilan dapat menjadi tidak efisien, tidak efektif bahkan mungkin menjadi sesat karena tingkah laku para advokat yang tidak disiplin, tidak professional, berusaha menyembunyikan atau memanipulasi fakta atau mencari cari peluang secara melawan hukum untuk memudahkan atau memenangkan perkara. Sebagai akibat lebih lanjut, perilaku tersebut akan sangat berpengaruh pada upaya menegakkan hukum yang adil dan berkepastian hukum.
Sebagaimana kasus kasus advokat yang telah terungkap, disidangkan sebagai pelaku penyuap atau dengan sengaja melaksanakan fungsinya secara melawan hukum dan bertentangan dengan etika menunjukkan betapa masih buruknya perilaku atau wajah peradilan yang disumbangsihkan melalui profesi advokat, apapun kebijakan dan upaya internal organisasi badan peradilan akan sia-sia kalau masih ada advokat yang justru berstatus sebagai penegak hukum, tetapi melakukan hal hal yang bertentangan dengan statusnya.