Keberadaan Mafia Peradilan.
Mafia peradila merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan  atau berkaitan dengan lembaga peradiilan mulai dari polisi, jaksa, panitera, hakim, advokat sampai petugas lembaga permasyarakatan, ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi lini penegak hukum ini dapat saja dimasuki oleh para mafia hukum.
Jual beli perkara atau jual beli putusan ini sudah menjadi sebuah rahasia umum di lingkungan para penegak hukum, praktik jual beliini diistilahlan dengan "kongkalikong" atau ikut berkomplotan memperdagangkan hukum. Pemberitaan dan maraknya kasus-kasus para penegak hukum yang menjadi sorotan publik yang sedang dan telah berproses dalam masalah pidana, sejak istilah kasus cicak versus buaya, kasus adanya apartemen Artalita Suryani, Kasus Narkoba Meirika Franola alias Ola maupun kasus kasus yang dilakukan oleh advokat yang digolongkan dalam kelompok pengacara hitam (terjebak dalam kasus korupsi) versi  catatan ICW lebih lanjut lihathttp://www.beritasatu.com/video-berita/473256-catatan-icw-21-advokat-tersandung-kasus-korupsi.html di akses 19 Januari 2018
Jual beli perkara ini dilakukan oleh makelar kasus yang sekaligus orang birokrasi yang memandang bahwa birokrasi adalah tidak lebih seperti pasar yang dapat menghasilkan keuntungan, birokrasi di sektor penegakan hukum ini  berwujud dalam bentuk lembaga kepengacaraan, kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Misalnya, ada polisi yang merangkap makelar kasus, ada advokat merangkap makelar kasus begitu pula  jaksa, maupun hakim yang merangkap makelar kasus.[5]
Keterlibatan para penegak hukum dalam praktik mafia hukum dilingkup tugasnya, tentu meresahkan masyarakat. Skeptisisme masyarakat terhadap morallitas para profesional hukum, merupakan masalah yang sagat serius, kepercayaan masyarakat yang semakin tipis kepada penegak hukum.
Praktek Mafia peradilan sering sekali pintu masuknya kebanyakan melalui advokat. Banyak kasus-kasus yang muncul di publik merupakan kasus yang mencoreng wajah dunia keadvokatan di Indonesia dan rasa keadilan masyarakat, namun peristiwa  yang muncul dipermukaan adalah sebagian dari peristiwa kurang baiknya perilaku advokat bagai puncak gunung es, di mana sebenarnya wajah dunia kepengacaraan memang sudah tercoreng dan berkesan buruk sejak lama oleh prilaku para pengacara yang berwujud mafia peradilan ini.[6] Bahkan, diakui Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) periode 2010-2014 Otto Hasibuan, saat membuka Munas di Balikpapan, Kalimantan Timur, citra advokat sebagai pembela masyarakat, pejuang keadilan dan kebenaran, secara perlahan memudar.[7]
Pengelompokkan type advokat
Advokat saat ini dapat dikelompokkan berkaitan dengan dunia kepengacaraan dalam hal uang dan kekuasaan, secara tidak sadar telah mengkategorikan para pengacara dalam beberapa kelompok sesuai dengan perilaku mereka di dalam menangani suatu kasus atau perkara.
Pertama, golongan pengacara idealis yang tidak pernah mau menggunakan uang dan kekuasaan di dalam penanganan suatu kasus atau perkara artinya mereka tidak mau melakukan pendekatan dalam upaya memenangkan satu perkara atau untuk menguntungkan kliennya dengan perbuatan suap menyuap.Pengacara pengacara semacam ini adalah kelompok idealis yang kebanyakan adalah pengacara pengacara yang mumpuni dan punya hati nurani serta terikat pada etika yang bersumber pada semangat pengabdian penghormatan terhadap martabat manusia .
Golongan Pengacara idealis dapat dibagi dua, yaitu golongan yang ketika melihat terjadinya penggunaan uang dan kekuasaan melakukan perlawanan "sebisanya" dan kelompok lain yaitu golongan yang menutup mata atau tidak melakukan apa apa terhadap keadaan tersebut. Kelompok idealis ini sering kalah atau dikalahkan di dalam suatu perkara. Akibatnya, kelompok ini sering kali harus tersisih di dalam pertarungan litigasi di pengadilan karena banyak klien yang lari atau tidak mau memakai jasa hukum mereka kembali. Hal ini dikarenakan ada pepatah yang mengatakan "tidak ada klien yang mau kalah", selama ini dalam praktiknya, pengacara idealis dan pandai merupakan orang orang pesimistis terhadap sistem peradilan.
Kelompok Pengacara kedua yaitu kelompok pengacara pelangi yang tidak mau melakukan pendekatan uang dan kekuasaan tapi membiarkan kliennya melakukan sendiri, termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok para pengacara yang melakukan secara pasif artinya akan melakukan pendekatan uang dan kekuasaan hanya bila diminta klien.