Mohon tunggu...
azmi syahputra
azmi syahputra Mohon Tunggu... Dosen - universitas trisakti jakarta

ayah, suami, gurunya mahasiswa, dan manusia biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Profesi Advokat dan Hak Imunitas |Advokat

20 Januari 2018   01:12 Diperbarui: 17 September 2021   14:18 4435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dr Azmi Syahputra

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Prolog

Profesi hukum adalah bagian dari proses peradilan yang melibatkan berbagai profesi yaitu hakim, jaksa, advokat dan polisi. Dalam sistem peradilan, masing-masing profesi tersebut menjalankan fungsinya sehingga sistem berjalan. Mengacu kepada UUD 1945 maka masing masing profesi tersebut menjalankan kekuasaannya secara merdeka yaitu tidak boleh ada campur tangan dari luar. Sebagai satu sistem yaitu sistem peradilan, barang tentu kemerdekaan tersebut adalah kemerdekaan dalam ikatan sistem yang memiliki satu tujuan bersama. Dengan demikian masing masing profesi adalah merdeka dan sekaligus bekerja bersama sama untuk satu tujuan.[1]

Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, profesi advokat/ pengacara/ memasuki babak baru dalam ranah penegakan hukum di Indonesia. Sebuah profesi 'officium nobile' ini tidak lagi menjadi bagian pelengkap dalam penegakan hukum di Indonesia, melainkan menjadi catur wangsa penegakan hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat., bahkan Undang undang menyebutkan advokat berstatus sebagai penegak hukum.

Perubahan-perubahan mendasar dilakukan, mulai dari sistem perekrutan, keorganisasian, penegakan kode etik hingga pengangkatan. Semua itu jelas ditujukan untuk berkeinginan membangun sebuah profesionalitas profesi advokat yang lebih terstruktur, terhormat  dan berwibawa.

Advokat kini juga memiliki peran strategis dalam penegakan hukum, khususnya dalam lingkup peradilan kepada masyarakat pencari keadilan. Harapan besar ditumpukan kepada advokat-advokat untuk membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum di tengah-tengah peradilan Indonesia yang masih belum menghadirkan sebuah peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah.

Dilain sisi masih ada fenomena tiada berakhir dan diketahui terhadap potret jalannya peradilan di Indonesia, baik di tingkat pertama hingga terakhir, masih saja didapati praktek-jual beli perkara yang menjadi bagian pelaku mafia peradilan (organized crime)yang di sini diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, yang secara langsung menciptakan peradilan yang tidak adil, lambat, rumit dan mahal yang dilatarbelakangi oleh uang (jual beli putusan) dan kekuasaan (tekanan penguasa)

Adapun bentuk bentuk praktek atau pola-pola korupsi yang terjadi dalam sistem peradilan pidana adalah: dalam tahap penyelidikan dapat berupa permintaan uang jasa oleh polisi kepada korban maupun pelapor, penggelapan perkara, negosiasi perkara berkait dengan pasal yang disangkakan berkait dengan berita acara dan barang bukti (semakin ringan hukuman maka semakin mahal tawaran yang diberikan penyidik), pemerasan oleh polisi, termasuk jual beli ruang tahanan, di kejaksaaan dapat terjadi pemerasan oleh jaksa dan caranya memperpanjang proses penyidik dan  modus yang lainnya  melalui  surat klarifikasi  bukan surat panggilan karena jaksa tidak menyebutkan dalam panggilan tersebut seseorang berkapasitas sebagai saski atau terdakwa, negoisiasi kasus, pelepasan tersangka melalui penghentian penyidikan dengan dalih tidak cukupnya bukti, penggelapan perkara, pengurangan tuntutan dalam pola ini biasanya jaksa melibatkan tersangka atau keluarga dan advokat yang mendampinginya selama pemeriksaan dan pada fase di persidangan dapat berupa permintaan uang jasa, penentuan majelis hakim, sidang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, negosiasi putusan (biasanya akan ada orang yang ditugaskan secara khusus atau pengacara akan menghubungi hakim atau orang tertentu yang memegang perkara selanjutnya negosiasi.[2]

Praktik peradilan yang tidak memuaskan masyarakat telah lama dirasakan bertentangan dengan prinsip peradilan setidaknya ada beberapa faktor melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan selama ini, antara lain "para pengacara yang tidak selalu secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan  perkara  kepadanya dan melaksanakan tugas pengacara untuk menegakkan hukum dan keadilan",[3] dan para pencari keadilan sendiri tidak melihat proses pengadilan itu sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Beberapa faktor tersebut kemudian menurunkan kinerja pengadilan, kepercayaan publik terhadap pengadilan dan profesi hukum secara keseluruhan.[4]

Secara umum praktik ini dikenal dengan praktik adanya mafia peradilan. Mafia peradilan (judicial  corruption) adalah untuk menggambarkan fenomena buruknya peradilan dan mental aparatur penegak hukum, yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, terorganisir yang dilakukan oleh penegak hukum tertentu untuk mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM yakni hak atas keadilan. Sehingga alih-alih memproduksi keadilan, lembaga peradilan justru lebih sering menjadi ladang subur praktek-praktek ketidakadilan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi.

Keberadaan Mafia Peradilan.

Mafia peradila merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan  atau berkaitan dengan lembaga peradiilan mulai dari polisi, jaksa, panitera, hakim, advokat sampai petugas lembaga permasyarakatan, ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi lini penegak hukum ini dapat saja dimasuki oleh para mafia hukum.

Jual beli perkara atau jual beli putusan ini sudah menjadi sebuah rahasia umum di lingkungan para penegak hukum, praktik jual beliini diistilahlan dengan "kongkalikong" atau ikut berkomplotan memperdagangkan hukum. Pemberitaan dan maraknya kasus-kasus para penegak hukum yang menjadi sorotan publik yang sedang dan telah berproses dalam masalah pidana, sejak istilah kasus cicak versus buaya, kasus adanya apartemen Artalita Suryani, Kasus Narkoba Meirika Franola alias Ola maupun kasus kasus yang dilakukan oleh advokat yang digolongkan dalam kelompok pengacara hitam (terjebak dalam kasus korupsi) versi  catatan ICW lebih lanjut lihathttp://www.beritasatu.com/video-berita/473256-catatan-icw-21-advokat-tersandung-kasus-korupsi.html di akses 19 Januari 2018

Jual beli perkara ini dilakukan oleh makelar kasus yang sekaligus orang birokrasi yang memandang bahwa birokrasi adalah tidak lebih seperti pasar yang dapat menghasilkan keuntungan, birokrasi di sektor penegakan hukum ini  berwujud dalam bentuk lembaga kepengacaraan, kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Misalnya, ada polisi yang merangkap makelar kasus, ada advokat merangkap makelar kasus begitu pula  jaksa, maupun hakim yang merangkap makelar kasus.[5]

Keterlibatan para penegak hukum dalam praktik mafia hukum dilingkup tugasnya, tentu meresahkan masyarakat. Skeptisisme masyarakat terhadap morallitas para profesional hukum, merupakan masalah yang sagat serius, kepercayaan masyarakat yang semakin tipis kepada penegak hukum.

Praktek Mafia peradilan sering sekali pintu masuknya kebanyakan melalui advokat. Banyak kasus-kasus yang muncul di publik merupakan kasus yang mencoreng wajah dunia keadvokatan di Indonesia dan rasa keadilan masyarakat, namun peristiwa  yang muncul dipermukaan adalah sebagian dari peristiwa kurang baiknya perilaku advokat bagai puncak gunung es, di mana sebenarnya wajah dunia kepengacaraan memang sudah tercoreng dan berkesan buruk sejak lama oleh prilaku para pengacara yang berwujud mafia peradilan ini.[6] Bahkan, diakui Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) periode 2010-2014 Otto Hasibuan, saat membuka Munas di Balikpapan, Kalimantan Timur, citra advokat sebagai pembela masyarakat, pejuang keadilan dan kebenaran, secara perlahan memudar.[7]

Pengelompokkan type advokat

Advokat saat ini dapat dikelompokkan berkaitan dengan dunia kepengacaraan dalam hal uang dan kekuasaan, secara tidak sadar telah mengkategorikan para pengacara dalam beberapa kelompok sesuai dengan perilaku mereka di dalam menangani suatu kasus atau perkara.

Pertama, golongan pengacara idealis yang tidak pernah mau menggunakan uang dan kekuasaan di dalam penanganan suatu kasus atau perkara artinya mereka tidak mau melakukan pendekatan dalam upaya memenangkan satu perkara atau untuk menguntungkan kliennya dengan perbuatan suap menyuap.Pengacara pengacara semacam ini adalah kelompok idealis yang kebanyakan adalah pengacara pengacara yang mumpuni dan punya hati nurani serta terikat pada etika yang bersumber pada semangat pengabdian penghormatan terhadap martabat manusia .

Golongan Pengacara idealis dapat dibagi dua, yaitu golongan yang ketika melihat terjadinya penggunaan uang dan kekuasaan melakukan perlawanan "sebisanya" dan kelompok lain yaitu golongan yang menutup mata atau tidak melakukan apa apa terhadap keadaan tersebut. Kelompok idealis ini sering kalah atau dikalahkan di dalam suatu perkara. Akibatnya, kelompok ini sering kali harus tersisih di dalam pertarungan litigasi di pengadilan karena banyak klien yang lari atau tidak mau memakai jasa hukum mereka kembali. Hal ini dikarenakan ada pepatah yang mengatakan "tidak ada klien yang mau kalah", selama ini dalam praktiknya, pengacara idealis dan pandai merupakan orang orang pesimistis terhadap sistem peradilan.

Kelompok Pengacara kedua yaitu kelompok pengacara pelangi yang tidak mau melakukan pendekatan uang dan kekuasaan tapi membiarkan kliennya melakukan sendiri, termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok para pengacara yang melakukan secara pasif artinya akan melakukan pendekatan uang dan kekuasaan hanya bila diminta klien.

Kelompok Ketiga adalah pengacara pengacara yang mencari duit dari pekerjaan menggunakan uang dan kekuasaan, diisitilahkan dengan "pengacara nekat", jadi makelar kasus, pengacara pengacara seperti ini sering berhasil memenangkan perkara hanya bermodalkan kenekatan belaka, bagi mereka uang dan kekuasaan lebih penting dari pada pledoi ataupun dalil dalil hukum diatas kertas serta kehormatan profesi.

Beberapa pengacara yang mengklaim sukses saat ini sebahagian adalah pengacara pengacara "berani nekat" yang bermodalkan kenekatan semata, kenekatan untuk tampil di pengadilan maupun didepan publik dan kenekatan untuk melakukan trik-trik curang di pengadilan.

Pendekatan uang dan kekuasaan terhadap pengadilan yang sering dilakukan oleh pengacara nekat ini sangatlah berbahaya dalam upaya penegakan hukum dan menciptakan tujuan hukum. Uang dan kekuasaan dapat membuat segala-galanya berubah dari hitam menjadi putih dan yang gelap bisa jadi terang. Pengacara Pengacara tipe ini dalam praktiknya sering sangat aktif dalam membujuk kliennya untuk melakukan suap ataupun menggunakan uang dan kekuasaan guna memenangkan perkara. Biasanya pula kelompok ini di dalam menghadapi klien selalu mencari cari atau menciptakan perkara, kelompok ini pula sering "membisniskan" klien dengan menjadikan klien sebagai komunitas eksploitasi cendrung berperilaku memeras.

Advokat dengan karakteristik yang mengesampingkan ilmu hukum, moral, etika dan tujuan inilah yang berpotensi mewujudkan praktek mafia peradilan, praktik mafia peradilan tersebut setidaknya mempengaruhi empat hal:

            Pertama, prosedur-prosedur beracara yang rumit dan berbelit-belit membuat proses pencarian keadilan di forum-forum hukum menjadi tidak sederhana dan sulit dipahami, mengakibatkan rendahnya kemandirian dan keberanian masyarakat pencari keadilan untuk bersentuhan dengan institusi-institusi hukum.

            Kedua, proses hukum menjadi penuh intrik, rekayasa dan tipu daya, baik secara substansi maupun prosedur penegakannya, mengakibatkan proses penegakan hukum berjalan begitu panjang/lama dan penuh intrik yang tidak perlu. Sehingga baik korban maupun tersangka sama-sama akan dikuras tenaga, pikiran dan waktu untuk sekedar menanti keputusan lembaga peradilan yang belum tentu juga nantinya mencerminkan rasa keadilan bagi mereka.

            Ketiga, praktek jual beli dan konspirasi keadilan yang telah membudaya tersebut, bahkan relatif dianggap wajar, melahirkan biaya-biaya tidak resmi di luar biaya formal dalam jumlah yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh para masyarakat miskin dan masyarakat pencari keadilan pada umumnya.

            Keempat, kondisi demikian melahirkan ketidakmampuan dan pesimisme bahkan apatisme masyarakat untuk beracara di institusi-institusi hukum. Konsekuensinya adalah hak atas keadilan (yang merupakan bagian dari hak asasi manusia) masyarakat harus terdegradasi oleh praktek-praktek mafia peradilan.

Perilaku mafia peradilan ini merupakan suatu gejala yang merusak tatanan penegakan hukum.Kondisi ini dilegitimasi dengan ketentuan KUHAP yang banyak memberikan diskresi kepada aparat penegak hukum, yang pada praktiknya banyak digunakan sebagai alat negosiasi untuk mendapatkan imbalan material. Diperparah pula dengan lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dan ketidakmampuan negara membiayai penegakan hukum secara memadai, berbagai faktor tersebut sangat memperburuk citra penegakan hukum di mata masyarakat. Akhirnya hukum menampilkan diri bukan sebagai tempat mendapatkan keadilan tetapi mempertaruhkan uang untuk membeli keadilan.

Suatu proses peradilan dapat menjadi tidak efisien, tidak efektif bahkan mungkin menjadi sesat karena tingkah laku para advokat yang tidak disiplin, tidak professional, berusaha menyembunyikan atau memanipulasi fakta atau mencari cari peluang secara melawan hukum untuk memudahkan atau memenangkan perkara. Sebagai akibat lebih lanjut, perilaku tersebut akan sangat berpengaruh pada upaya menegakkan hukum yang adil dan berkepastian hukum.

Sebagaimana kasus kasus advokat yang telah terungkap, disidangkan sebagai pelaku penyuap atau dengan sengaja melaksanakan fungsinya secara melawan hukum dan bertentangan dengan etika menunjukkan betapa masih buruknya perilaku atau wajah peradilan yang disumbangsihkan melalui profesi advokat, apapun kebijakan dan upaya internal organisasi badan peradilan akan sia-sia kalau masih ada advokat yang justru berstatus sebagai penegak hukum, tetapi melakukan hal hal yang bertentangan dengan statusnya.

Banyak aparat penegak hukum yang terlibat dalam pelanggaran etika namun sesungguhnya pelanggaran etika yang dimaksud sudah merupakan perbuatan korupsi dan premanisme dalam wujud mafia peradilan, penyuapan, pemerasan, penghilangan barang bukti yang melibatkan para pengekan hukum yang treorganisir dapat saja melalui hakim, jaksa advokat dan polisi.[8]

 

Hak imunitas

Untuk melindungi kemuliaan dan pentingnya profesi advokat maka undang-undang memberikan hak imunitas, agar advokat dapat bebas dalam melakukan pembelaan dan tugas tugas profesinya, sebagai pemberian hak tentunya ada pembatasannya, pembatasan yang diberikan undang-undang dan pembatasan nilai moral, esensi iktikad baik , jujur, kepentingan hukum yang lebih besar serta bertanggung jawab, karena advokat harus setia seperti isi dalam sumpah profesi advokat yaitu  setia pada negara, UUD 1945, Pancasila dan nilai nilai kejujuran sebagaimana tertuang dalam kode etika profesi

hak imunitas advokat  ini diatur pada Pasal 16 Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat  yang menyebutkan "bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien dalam sidang pengadilan yang oleh Mahkamah Konstitusi telah melakukan perluasan ruang lingkup imunitas yang tidak hanya didalam peradilan namun diluar persidangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013) Artinya, persoalan hak  imunitas sejak munculnya  UU Advokat sudah menjadi kajian yang menarik sebagai sebuah bentuk perlindungan (keistimewaan) profesi advokat  sampai MK memberikan perluasan ruang lingkup imunitas advokat untuk  advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana selama dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik guna pembelaan klien baik di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan.

Obstruction of justice

Ada titik singgung pantul yang berbeda berkait hak imunitas advokat dengan persoalan obstruction of justice yang sering dipersepsikan sebagai area yang beririsan dengan peran advokat berikut hak imunitasnya. Obstruction of justicedapat didefinisikan sebagai perbuatan pidana yang ditujukan ataupun yang berdampak pada pemanipulasian, memutarbalikkan, dan mengacaukan kebenaran materiil dan fungsi peradilan. Seperti dijabarkan diatas hak asasi sekalipun ada yang dapat dibatasi, demikian  pula hak dalam menjalankan profesi, hak  imunitas advokat dibatasi oleh wujud kinerja profesi harus dengan  iktikad baik, jika mengacu pada Penjelasan Pasal 16 UU Advokat, yang diartikan dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien.

Disinilah letaknya etika profesi yang menempatkan nilai nilai, hati nurani dan kejujuran sebagai kompas dalam menjalankan profesi, maka jika berpikir jernih dan objektif akan sangat dengan mudah mempetakan hak imunitas yang dilindungi undang undang dengan hak imunitas yang hanya dijadikan sekedar tameng sesaat guna  berprilaku yang bertentangan  dengan nilai keluhuran profesi.

Secara objektif ujilah dengan pertanyaan sederhana  apakah yang dilakukan advokat tersebut dinilai memiliki rasa kepatutan dalam masyarakat dan secara subjektif apakah tindakan yang dilakukan advokat tersebut dijalankan dengan proses kejujuran , mengingat fungsi dan kedudukan advokat  dalam UU yang menyebutkan advokat adalah penegak hukum yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan  jadi Impunitas adalah  benar hak yang melekat paada profesi advokat namun bukan tanpa batas , hak ini berfungsi untuk mendukung status advokat sebagai penegak hukum dan melindungi kinerja profesi advokat dalam rangka penegakan hukum agar ia bebas melakukan pembelaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

.

Pentingnya Kode Etik Advokat dalam menjalankan profesinya.

 

  •  
    • Advokat sebagai profesi yang tujuan utamanya adalah menegakkan keadilan di mana klien yang datang ke advokat itu meminta dilindungi dan diperjuangkan hak dasar kemanusiaannya, hak hukumnya, hak miliknya, martabatnya atau nyawanya kalau klien itu diancam dengan pidana mati, pada dasarnya menempatkan profesi advokat sebagai profesi yang mulia, sehingga profesi advokat  tidak pernah sepi dengan godaan dan ancaman. Hal ini mengisyaratkan bahwa profesi advokat menuntut adanya sifat jujur dan tidak mengkhianti amanat yang diberikan klien padanya baik itu bersifat aktif maupun pasif.
    • Profesi advokat dengan berbagai godaan dan tantangan menuntut adanya sikap mental yang tangguh di mana ketekunan, dedikasi, kesabaran dan keikhlasan tidak bisa tidak, harus menjadi taruhan, sehingga dalam mengfungsikan diri sebagai penegak keadilan dan memfasilitasi pencari keadilan dirasakan sebagai bagian mewujudkan perbuatan kebaikan dan kebenaran dan menjadi nilai ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjadi advokat yang baik tidak hanya cukup bermodalkan keinginan yang "ambisius" belaka, tetapi harus didukung oleh seperangkat persyaratan akhlak dan keterampilan yang mumpuni. Seperangkat akhlak inilah yang  dijadikan nilai moral dan dituangkan dalam kode etik profesi.
  •  
  • Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal organisasi belaka, tetapi juga merupakan masalah masyarakat. Sebab dari setiap profesi menuntut dari setiap anggotanya bukan saja keahlian tertinggi, tetapi juga pemanfaatan keahlian itu demi kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu pelayanan oleh seorang tenaga profesional juga merupakan pelayanan umum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.[9] Kode etik yang menjadi norma tentang moralitas bagi advokat untuk menjalankan tugas profesinya. Kode etik menjadi penting bagi profesi advokat agar para advokat dapat bekerja secara profesional, independen serta tidak melanggar kepentingan umum.
  •  
  • Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkrit dalam satu kode etika profesi yang secara harfiah berarti etika yang dikodifikasi. Bertens menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat.[10] Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah menunjang martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan melarang perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.[11] Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat keadaan perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.[12]
  •  
    • Kode etik mengandung sekumpulan asas yang bersumber dan berkaitan dengan akhlak atau moral yang mana asas tersebut diwujudkan dalam peraturan atau norma sebagai landasan tingkah laku advokat. Norma yang yang terbetuk pada dasarnya adalah kristalisasi dari sistem etika yang dapat menjadi parameter terhadap berbagai problematika profesi, seperti kewajiban, larangan, konflik kepentingan dan tanggung jawab profesi
    • Etika profesi hukum memberikan sinyal sinyal terhadap hal hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh advokat dalam melaksanakan tugas profesinya. Etika profesi merupakan "internal control" terhadap tingkah laku advokat dalam menjalankan praktik hukum baik didalam maupun di luar pengadilan.

 

Profesionalisme tanpa etika menjadikan "beberapa sayap" (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikan "lumpuh sayap" (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.[13] Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbangsegi-segi negatif dari suatu profesi sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi, sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.

 

  • Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tetapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Agar Kode etik dapat berfungsi sebagaimana mestinya, syarat mutlaknya adalah kode etik itu dibuat oleh kaum profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau didrop begitu saja dari atas, yaitu instansi pemerintah karena tidak dijiwai oleh cita-cita dan nilai nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.[14]
  •  
    • Betapa tidak keadaan praktik hukum dan fenomenanya dalam kenyataannya masih amat jauh dari apa yang digambarkan dalam kitab-kitab atau buku-buku yang dibaca di bangku kuliah fakultas hukum. Hingga kini walaupun semakin banyak kasus yang Operassi Tangkap Tangan dari kerja kerja aparatur penegak hukum, masih saja ada pihak pihak tertntu yang berani curang dan masih terasa pula  bahwa proses hukum sering tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas.
  •  
  • . Sebagai profesi yang merdeka dan independen, advokat sebenarnya lebih leluasa untuk menentukan sikap, cara dan nilai nilai yang menjadi landasan kiprahnya dibanding dengan aparatur penegak hukum lain yang berada di bawah insitusi negara. Hukum memerlukan asupan moral, moral berperan penting ketika aparat penegak hukum dihadapan pada pilihan mana yang benar dan salah dalam tataran etika, etis tidak etis, adil tidak adil dan manfaat mudharat.[15]
  •  
    • Tiap profesi termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menjaga dan meningkatkan kualitas moral:, selanjunya  menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan  menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan persoalan etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembangan profesi sehari-hari. Sistem etika tersebut juga bisa menjadi parameter bagi berbagai problematika klien-profesional, konflik kepentingan yang ada, dan isu-isu yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial profesi.

 

Penutup

Advokat pasca UU Nomor 18 Tahun 2003 memiliki peran strategis dalam penegakan hukum, khususnya dalam lingkup peradilan kepada masyarakat pencari keadilan. Harapan besar ditumpukan kepada advokat-advokat untuk membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat dan mendorong terwujudnya negara Indonesia sebagai negara hukum

Profesi advokat yang strategis, mulia, terhormat diberikan batasan yaitu etika yang seharusnya menjadi panduan dan kompas dalam menjalankan profesi, karena Profesionalisme tanpa etika menjadikan "tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikan "lumpuh "dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak

Ketangguhan dalam profesi advokat salah satunya diberikan hak imunitas guna memberikan benteng sekaligus nutrisi kekuatan bagi profesi advokat dalam menjalankan tugasnya  lebih optimal, berani,  memiliki kebebasan dalam rel yang benar,iktikad baik,  jujur dan bertanggung jawab serta tidak bertentangan dengan Undang- undang

 

Masih terdapat beberapa advokat yang terkena kasus korupsi  yang mengartikan keadaan  ini harus menjadi  tantangan besar sekaligus momentum  bagi advokat untuk ikut mendorong atau berkontribusi dalam pemenuhan hak atas keadilan serta mengembalikan fungsi nilai nilai keluhuran profesi advokat  di forum-forum peradilan di Indonesia; atau setidaknya tidak ikut-ikutan terlibat dalam praktek mafia peradilan itu sendiri dan menjadi black lawyers. T

Tantangan tersebut tentu tidak cukup dijawab dengan sebuah retorika saja, melainkan wajib diwujudkan dalam ragam komitmen realisasi dan aktivitas perilaku, di peradilan maupun di luar peradilan sebagaimana maksud moral yang dipesankan oleh Pasal 24 ayat (1)  UUD 1945 menjadi sangat relevan bagi profesi hukum untuk melaksanakan pesan moral tersebut agar profesi hukum mampu  menegakkan hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap martabat manusia

 pustaka acuan

Azmi Syahputra, Fungsi dan Kedudukan  Advokat Sebagai Penegak Hukum dan Perlindung Hak Asasi Tersangka Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Unpad, 2015

Azmi syahputra, Fungsi dan Kedudukan Advokat Sebagai Penegak Hukum dan Penemu Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal  Fakultas Hukum Trisakti Prioris nomor 4 tahun 2015 (http://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/prioris/article/view/387)

 

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/18/01/19/p2s7rv440-hak-imunitas-advokat

http://hukum.rmol.co/read/2018/01/14/322322/Advokat-Harus-Jaga-Kehormatan-Dalam-Menjalankan-Tugas-

http://kabarnusantara.net/nasional/2018/01/14/azmi-syahputra-hak-imunitas-advokat-tidak-menjadi-tameng-pembenar/

[1] Satjipto Raharjo, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, hlm 82.

   

[2]Eko Sasmito, Praktek Pemantauan Penyimpangan Praktek Peradilan, YPDSI &UNDP,Jakarta,2004,hlm.67-78.

   

[3] Mochtar Kusumaatmaja dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia,Refika Aditama,Bandung,2009,hlm.103.

   

[4] Ali Budiarjo Nugroho, Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta,1999.hlm.115.

   

[5] Ismatoro Dwi Yuwomo, Menelusuri Sepak terjang Aktor Kejahatan Jual Beli Kasus, Medpress, Yogyakarta,2010,hlm.27.

   

[6] Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum ,Kompas Media Utama ,2008, Jakarta, hlm.132-133.

   

                [7]www.hukumonline.di akses 12 Juni 2013

[8] Laica Marzuki, Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman,Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, 1999, hlm.65.

   

[9]  Ali Budiarjo, Reformasi Hukum di Indonesia,CyberConsultan, Jakarta,2000,hlm.156

  

                [10]K. Bertends, Etika, cet. V, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  2000, hlm. 280-281

                [11]Badan Pembinaan Hukum Nasional RI. Analisis dan Evaluasi tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional RI, Jakarta, 1997, hlm. 11

                [12]Sidharta, Loc.cit, hlm. 19

                [13]Soeleman Soemardi, Etika dan Profesi: Pengantar Ke Permasalahan,"dalam masyarakat: Jurnal Sosiologi 1, editor Y, Priyo Utomo, cet. 1, Gramedia Pustaka Utama dan Fisip UI, Jakarta, 1992, hlm. 1.

  

[14] Muhammad Nuh, Op cit hlm. 123

   

[15] Busyro Muqoddas dalam, Sathipto Rahardjo dan hukum progresif:urgensi dan kritik, hlm.223.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun