Mohon tunggu...
Avet Batang Parana
Avet Batang Parana Mohon Tunggu... lainnya -

Pengubah Kertas Menjadi Emas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harga Sebuah Mahkota Wanita

18 Juni 2012   14:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diilhami dari perjuangan seorang penari janger dalam menjaga harga sebuah mahkota yang Ia miliki. [Mataram-Lombok, Maret 2009]

Amak[1]ku hanya bekerja sebagai penggali kuburan; mengais sehirup napas kehidupan dari petilasan manusia yang sudah tak berdaya. Hidup kami seakan tak pernah menemukan keadilan dunia; penghasilan Amak tak seberapa; kadang tak cukup untuk membiayai hidup keluarga kami sehari-hari.

Pada saat itu, aku mestinya masih belajar di bangku Sekolah Menengah Atas. Namun keadaan telah merubah jiwaku menjadi renta; lemah; belum lagi biaya sekolah yang semakin tak ramah. Aku putus sekolah di kelas 2 Aliyah[2].

Untuk membantu Amak, aku bekerja sebagai penari janger[3]; sebuah tarian yang pertama kali dipopulerkan oleh rakyat Bali yang dulu pernah menjajah di tanah Lombok. Tari janger akhirnya diadopsi menjadi tarian khas suku Sasak[4]. Mendiang Inak[5]ku memang berasal dari Bali dan beliaulah yang mengajariku tarian itu.

*

Di suatu petang, rumahku kembali didatangi tamu yang tak diundang; dua lelaki  menyanyikan lagu sumbang di serambi depan rumahku, lalu terdengar memaksa membuka pintu. Seketika wajah kami diraut menjadi kaku.

“Apa yang harus kulakukan?” kata Amak; bingung.

“Hutangmu lunas! tapi anak gadismu harus menari di sanggarku selama 3 tahun,” tukas salah seorang dari mereka, seraya membusungkan dada di depan kami.

“Tidak! Kalian pasti akan menjual anakku,” hentak Amak.

“Atau … aku takkan segan lagi menyita rumah ini!”

Bagi kebanyakan orang, hidup itu adalah pilihan, namun tidak untukku; aku tak punya pilihan lain, selain pasrah menyetujui keinginan mereka.

“Baiklah, aku akan ikut bersama kalian ..,” timpalku; mengambil alih pembicaraan.

“Jangan, Nak! Mereka akan …”

“Aku akan baik-baik saja, Amak. Kasihan adik-adikku, jika rumah kita harus diambil.”

“Tapi, Nak!”

Entah benar ataukah salah. Aku hanya bisa tersenyum kepada Amak; sebagai salam perpisahan.

*

Tak ada segeming suara yang kucipta; lidahku seakan terlekat kuat, seiring tatapan mataku yang rapat; menerawang krikil-krikil jalanan melalui kaca mobil carry[6] yang membawaku melesat pergi. Aku tak tahu mereka akan membawaku kemana; mobil itu melaju dengan kencang menelusuri berbagai arah jalan.

Kumandang adzan subuh membias, hinggap; menyapa gendang telingaku. Aku memberanikan diri untuk berbicara kepada lelaki yang mengendalikan setir mobil.

“Berhenti sebentar, Pak! Aku ma … ma … u sholat dulu di depan,” kataku gugup.

Mendadak laju mobil dihentikan.

“Bukan disini, Pak, tapi di masjid depan,” jelasku sambil menunjuk ke sebuah bangunan berkubah; megah nan mewah.

Mereka saling memandang; membuatku sedikit curiga.

“Berlagak alim, kamu! Lebih baik kita bersenang-senang di sini,” kata lelaki yang duduk di sampingku. Kemudian Ia menyudutkan tubuhku di tepi pintu mobil; mulutnya seakan ingin menghirup aroma merah delima di bibirku.

“Tolong …! Tolong …! Tolong …!” teriakku; memohon.

Namun sunyi tak mampu kupecahkan.

“Berteriaklah! Percuma! takkan ada yang mendengarmu. Semua orang di kota ini sudah tuli. Hahahaha …”

“Jangan! Aku mohon …”

Air mataku tak jua membuat hatinya iba. Dalam keadaan pasrah, kugenggam botol kosong yang berada di kolong kursi, kemudian kulayangkan dan mendarat pecah di keningnya.

*

Aku berusaha membangunkan badanku yang tergolek di sebuah ranjang kumal; kusam; sesekali tercium seperti bau busuk cacing hitam. Tamparan mereka malam itu ternyata telah membuat kesadaranku hilang.

“Aku dimana?” tanyaku di tengah riuh percakapan mulut asing di ruangan itu.

Tak kudengar sepatah kata pun sebagai tanggapan; malah mereka semakin asyik mendalami bualan. Perlahan kucoba berjalan, walaupun dengan langkah lamban.

“Selamat datang di sanggar kami, Mawar. Ternyata kau lebih ayu dari bayanganku,” sapa seorang wanita bertubuh gempal.

Seorang pria bertubuh kurus tiba-tiba muncul juga dari balik lorong gelap yang tengah kuamati lewat mulut pintu. Langkahnya terus menuju ke arahku dan beberapa kali mengelilingi tubuhku.

“Kita akan kaya. Tak rugi kita membeli dia dengan harga mahal,” katanya girang, sambil melempar pandangan ke wajah wanita yang masih berkipas-kipas di dekatku.

*

Sesingkat waktu, cahaya mata malam merubah nasibku. Aku menjelma bak penari ternama; banyak wajah suka menikmati suguhan lenggak-lenggok pinggulku; banyak mulut riang mengagumi lentik manis jemariku.

Tawaran menari dimana-mana; dari kota hingga ke pelosok desa yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Honor yang kudapat pun semakin bertambah; tidak hanya dari sanggar tetapi juga dari saweran.

Entah mengapa, dua tahun berlalu, tarian kebanggaanku berubah makna. Sanggar itu mendadak berganti panggung; mereka menjual tarianku di pesta petang para  lelaki hidung belang. Jiwaku selalu dilundung ketakutan akan buasnya permainanku di atas gelombang api.

*

Kudengar gendang belek[7] mengalun dengan merdu. Seperti biasa, dawai itu masih mengimbangi tarianku. Entah berapa pasang mata cacat yang nampak di depan goyangan pinggulku. Aku tak bisa lagi membantah. Keselamatan keluargaku tergantung di atas ragam gerakan tubuhku.

Di tengah kenikmatan malam, dari atas panggung kupandangi banyak lelaki tengah bersulang tuak[8]; menambah bahan bakar pada api kemabukan mereka. Seorang lelaki sebaya dengan Amak tiba-tiba naik ke atas panggung; ikut masuk ke dalam tarianku. Kemudian perlahan Ia berusaha menyelimuti tubuhku dengan pelukannya. Aku berusaha menghindar, namun kekuatan ototnya mampu menaklukkan pertahananku.

Ibarat kucing yang melihat ikan, Ia langsung menindih tubuhku yang berhasil dirobohkan. Dengan bringas, jarinya membuka satu-persatu kancing kebaya transparan  yang aku kenakan.

“Aaaaaakkkhh …”

Serentak musik pengiring terhenti; pesta itu beralih sepi; botol tuak berserak bak daun kering berguguran. Semua lelaki di ruangan itu menepi; menghampiri si hidung belang yang terus menjerit; seakan mengisyaratkan rasa sakit yang begitu menyiksa.

Tubuhku kian tak berdaya, ketika kuteliti kebayaku berubah warna; merah; berlumuran darah.

Tusuk kondeku menancap tepat di tengah dadanya. [*]

SELESAI

[1] Ayah

[2] Jenjang Pendidikan formal, setara dengan SMA

[3]Salah satutarian Baliyang terpopuler. Diciptakan pada tahun 1930-an; merupakan tari pergaulanmuda mudiBali

[4] Suku yang ada di Lombok; Nusa Tenggara Barat

[5] Ibu

[6] Kendaraan roda empat yang biasa digunakan sebagai angkutan kota

[7] Musik pengiring tarian jangger ala suku Sasak (Lombok)

[8] Minuman oplosan yang bisa memabukkan

Karya : Avet Batang Parana

Dikutip dari : Antologi cerpen "Kami (Tak Butuh) Kartini Indonesia"  (54-59 : 2012)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun