Diilhami dari perjuangan seorang penari janger dalam menjaga harga sebuah mahkota yang Ia miliki. [Mataram-Lombok, Maret 2009]
Amak[1]ku hanya bekerja sebagai penggali kuburan; mengais sehirup napas kehidupan dari petilasan manusia yang sudah tak berdaya. Hidup kami seakan tak pernah menemukan keadilan dunia; penghasilan Amak tak seberapa; kadang tak cukup untuk membiayai hidup keluarga kami sehari-hari.
Pada saat itu, aku mestinya masih belajar di bangku Sekolah Menengah Atas. Namun keadaan telah merubah jiwaku menjadi renta; lemah; belum lagi biaya sekolah yang semakin tak ramah. Aku putus sekolah di kelas 2 Aliyah[2].
Untuk membantu Amak, aku bekerja sebagai penari janger[3]; sebuah tarian yang pertama kali dipopulerkan oleh rakyat Bali yang dulu pernah menjajah di tanah Lombok. Tari janger akhirnya diadopsi menjadi tarian khas suku Sasak[4]. Mendiang Inak[5]ku memang berasal dari Bali dan beliaulah yang mengajariku tarian itu.
*
Di suatu petang, rumahku kembali didatangi tamu yang tak diundang; dua lelaki menyanyikan lagu sumbang di serambi depan rumahku, lalu terdengar memaksa membuka pintu. Seketika wajah kami diraut menjadi kaku.
“Apa yang harus kulakukan?” kata Amak; bingung.
“Hutangmu lunas! tapi anak gadismu harus menari di sanggarku selama 3 tahun,” tukas salah seorang dari mereka, seraya membusungkan dada di depan kami.
“Tidak! Kalian pasti akan menjual anakku,” hentak Amak.
“Atau … aku takkan segan lagi menyita rumah ini!”