“Bukan disini, Pak, tapi di masjid depan,” jelasku sambil menunjuk ke sebuah bangunan berkubah; megah nan mewah.
Mereka saling memandang; membuatku sedikit curiga.
“Berlagak alim, kamu! Lebih baik kita bersenang-senang di sini,” kata lelaki yang duduk di sampingku. Kemudian Ia menyudutkan tubuhku di tepi pintu mobil; mulutnya seakan ingin menghirup aroma merah delima di bibirku.
“Tolong …! Tolong …! Tolong …!” teriakku; memohon.
Namun sunyi tak mampu kupecahkan.
“Berteriaklah! Percuma! takkan ada yang mendengarmu. Semua orang di kota ini sudah tuli. Hahahaha …”
“Jangan! Aku mohon …”
Air mataku tak jua membuat hatinya iba. Dalam keadaan pasrah, kugenggam botol kosong yang berada di kolong kursi, kemudian kulayangkan dan mendarat pecah di keningnya.
*
Aku berusaha membangunkan badanku yang tergolek di sebuah ranjang kumal; kusam; sesekali tercium seperti bau busuk cacing hitam. Tamparan mereka malam itu ternyata telah membuat kesadaranku hilang.
“Aku dimana?” tanyaku di tengah riuh percakapan mulut asing di ruangan itu.