Tak kudengar sepatah kata pun sebagai tanggapan; malah mereka semakin asyik mendalami bualan. Perlahan kucoba berjalan, walaupun dengan langkah lamban.
“Selamat datang di sanggar kami, Mawar. Ternyata kau lebih ayu dari bayanganku,” sapa seorang wanita bertubuh gempal.
Seorang pria bertubuh kurus tiba-tiba muncul juga dari balik lorong gelap yang tengah kuamati lewat mulut pintu. Langkahnya terus menuju ke arahku dan beberapa kali mengelilingi tubuhku.
“Kita akan kaya. Tak rugi kita membeli dia dengan harga mahal,” katanya girang, sambil melempar pandangan ke wajah wanita yang masih berkipas-kipas di dekatku.
*
Sesingkat waktu, cahaya mata malam merubah nasibku. Aku menjelma bak penari ternama; banyak wajah suka menikmati suguhan lenggak-lenggok pinggulku; banyak mulut riang mengagumi lentik manis jemariku.
Tawaran menari dimana-mana; dari kota hingga ke pelosok desa yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Honor yang kudapat pun semakin bertambah; tidak hanya dari sanggar tetapi juga dari saweran.
Entah mengapa, dua tahun berlalu, tarian kebanggaanku berubah makna. Sanggar itu mendadak berganti panggung; mereka menjual tarianku di pesta petang para lelaki hidung belang. Jiwaku selalu dilundung ketakutan akan buasnya permainanku di atas gelombang api.
*
Kudengar gendang belek[7] mengalun dengan merdu. Seperti biasa, dawai itu masih mengimbangi tarianku. Entah berapa pasang mata cacat yang nampak di depan goyangan pinggulku. Aku tak bisa lagi membantah. Keselamatan keluargaku tergantung di atas ragam gerakan tubuhku.
Di tengah kenikmatan malam, dari atas panggung kupandangi banyak lelaki tengah bersulang tuak[8]; menambah bahan bakar pada api kemabukan mereka. Seorang lelaki sebaya dengan Amak tiba-tiba naik ke atas panggung; ikut masuk ke dalam tarianku. Kemudian perlahan Ia berusaha menyelimuti tubuhku dengan pelukannya. Aku berusaha menghindar, namun kekuatan ototnya mampu menaklukkan pertahananku.