"Nggak bakal bisa, Mah. Temen-temen Kica  tuh lebih pinter masalah begituan. Guru kecing berdiri, murid kencing  berlari Mah. Kalo guru kencingnya sudah berlari, murid kencing berlompat  tinggi! Bayangin Mah.."
Mama Kica tersenyum. "Tapi semuanya khan nggak bisa kamu selesaikan dengan kepalan tangan Kica.."
"Iya,  Mah. Kica tau. Kica juga berantem juga ada alasannya. Lagipula itu khan  cuma awal-awalnya aja. Sekarang nggak ada lagi yang berani lawan Kica.  Temen-temen Kica aja kalo lagi ngerokok, terus Kica pelototin, langsung  di mati'in..."
Mama Kica tersenyum. Nggak bisa dipungkiri, dia bangga dengan anak bungsunya. Dia mirip sekali dengan Papanya yang sudah tiada.
"Padahal kica cuma pengen bilang, kok nggak bagi-bagi?"
Mama Kica melotot.
"Bercanda Ma.. becanda."
"Mama ingin kamu berjanji nggak berantem lagi."
"Kica nggak bisa janji Ma. Tapi Kica bisa berjanji untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dulu."
Mama  Kica mengangguk. Untuk sementara janji itu cukup. Mama mengelus tangan  jagoan kecilnya yang sudah mulai dewasa. Kica tertidur lelap dalam  naungan bunda sambil mengulas senyum. Satu lagi kebatilan gugur melalui  kepalan tangannya.
+++