"Baim?"
"Iya. Baim."
Kica  terdiam sebentar. Baim. Anak kelas 3 SMA Satria memang sudah cukup  terkenal. Gaung sepak terjangnya terdengar hingga ke telinga Kica beberapa kali. Dia tidak pernah kalah. Tapi bukan itu yang membuat  hatinya gusar, melainkan alasan pertarungan Baim jauh lebih mulia  ketimbang Kica yang hanya melindungi yang lemah. Alasan Baim jauh lebih  mendasar : Menegakkan Keadilan. Baim akan menjadi seteru yang seimbang untuknya. Dua orang maestro berbaku hantam. Ini akan menjadi pertempuran  yang paling sengit yang pernah ia lakukan. Bahkan mungkin Kica takluk.  Tapi Kica nggak peduli. Sore nanti dia akan tunggu di lapangan bola  deket SMA mereka.
+++
Panas demikian terik menyengat  ubun-ubun mereka. Sebagian anak-anak garuk-garuk kepala karena  ketombenya matang. Di seberang sana lima orang anak SMA menatap dengan  tajam. Begitupula Kica dan orang yang berada persis di depannya.
"Jadi elu yang namanya Baim?" Wajahnya menegang.
"Jadi elu yang namanya Kica?" Baim malah mengajukan pertanyaan serupa.
"Elu yang mukulin temen gue?"
"Iya. Gue yang pukulin temen lu. Kenapa? Kurang?"
Kica menahan geram. "Kenapa elu mukulin temen gue?"
"Soalnya temen lo itu belagu dan mukulin temen gue."