Tergambar ketika memandang gerbang nan menjulang tinggi dengan kegagahan namanya, sekejap hanya bisa diam. Pandanganku vertikal menuju taman beserta kerapiannya tepat pada tempat aku berdiri. Begitu megahnya gedung-gedung pencetak sosok-sosok berstatus sarjana. Belum lagi terbayang fasilitas lain yang bakal menunjang aku selama kuliah di sini. Akses wifi yang bisa aku andalkan, tidak seperti di rumah hampir semua sinyal beku karena kabut. Diantara gedung-gedung megah itu mungkin aku juga akan menemukan gedung perpustakaan yang komplit, jadi aku tidak perlu membeli banyak buku untuk aku baca. Meskipun nantinya harus menjadi sarja photocoy-an karena banyak buku perpus yang bisa di copy atau sarjana gratisan baca buku. Dalam benak diri yang semakin membuat bangga adalah ketika memasuki wilayah kampus, setiap hari akan terpampang denah tempat beberapa fakultas. Ketika itu pula dengan bangganya aku melangkahkan kaki menapaki jejak masa depan menuju fakultas Psikolog. Apalagi aku bermimpi ingin jadi aktifis kampus.
Sejenak setelah kawanku menepuk pundakku, aku semakin mendiam. Melototkan mata dengan bibir bertanya-tanya.
"Eloh, kok jadi kaya gini. Mana gedung tingkatnya?" Kataku bermuka beloon.
"Aduh eneng..... gedung yang mana? Ini kita sudah sampai di gedung Auditorium kampus baru kita. Kamu melamun ya?" Kata Via kawan baruku.
"Dari masuk gerbang tadi aku bayangin kalau kampus ini ya bakal gitu," merendahkan suara.
"Gitu gimana?"
"Yang gede gitu Vi. Cuma korban SNMPTN ternyata aku, jadi ngelantur bayanginya ketinggian. Eh ini ternyata Cuma kaya gini hehehe".
Sekian dari cerita konyol itu, sekarang memang harus memasuki kenyataan. Gedung yang terlihat sudah tua dengan cat tembok yang semakin pudar itu kini aku masuki. Tidak lama lagi kuliah umum akan dimulai.
"Mana kawan baruku? Mana kawan satu fakultasku? Mana kawan satu prodiku? Siapa kalian semua itu? Siapa? Mana? Siapa? Manaaaaaaa?" Itu sekadar jeritan orang yang kaget keadaan baru. Lagi-lagi di kampus baru aku juga harus punya kawan baru. Sahabat karibku sudah menyebar di penjuru Indonesia. Kami memang sahabat, tapi kami lebih memilih masa depan masing-masing. Si Candra yang kini memilih menjadi calon perawat dan juga Frida yang juga jadi bidan. Deny dan Budi justru terbang ke Kalimantan untuk mengadu nasib. Ada juga yang di Purwokerto jadi pegawai ternak siapa lagi kalau bukan Agus. Puja alih profesi di Jakarta. Satu lagi, kawan seperjuanganku yang sudah pindah ke Yogyakarta sebagai tempat mengadu ilmu. Delapan belas bersaudara yang tidak bisa aku sebutkan semuanya telah menjadi sahabat sejak aku duduk di bangku SMK. Belum lagi sahabat nan jauh di sana ada Eni dan Ratih yang mempunyai kehidupan masing-masing.
Oh, tidak Tuhan. Ternyata aku harus beradaptasi lagi dengan manusia-manusia baru. Sambil memandang begitu banyaknya mahasiswa baru yang mengikuti kuliah umum pagi ini sesekali aku memperhatikan pencerahan yang katanya disampaikan oleh rektor kamus ini. tengok kanan tengok kiri, mataku memantau beberapa penjuru gedung itu, ternyata tidak ada yang aku kenal kecuali Via.
***
Hari pertama perkuliahan selesai. Tidak ada yang bisa menggantikan gambaranku tentang PTN. Serasa ketika itu ragaku harus berpapasan pada situasi sebenarnya dan rasaku masih melayang bermimpi oleh binar-binar PTN.
Hari kedua hingga beranjak satu minggu, lebih banyak menemui kejanggalan. Satu hal yang masing terngiang dalam benak, untung aku bertemu kawan yang senasib. Setidaknya alasan-alasan yang dianggap konyol selama ini bisa tercurahkan. Ya, bayang-bayang penyesalan sepertinya masih terkonsep keras. Mimpi diantara mendapatkan hal yang paling baik sepertinya semakin terkubur.
***
Perkuliahan berjalan tiga bulan. Yang masih heran dariku,"kok kuliah masih ada ulangan ya. Aku kira cuma ujian semester doang hehe." Hari sebelumnya seperti saat aku akan mengahadapi ulangan sewaktu SD, SMP dulu. Seharian suntuk tidak bosan membalikkan per helai buku materi. Antara paham dan tidak aku berusaha menaklukkan. Ketika hari yang ditetapkan tiba, dengan mantapnya aku datang dan meletakkan tas di bangku paling depan. Jleeep. Seketika aku bingung dengan tingkah teman sekelas yang pada ribut.
"Eh aku situ ya deket kamu," sambil menunjuk bangku yang dia harapkan.
"Aku juga situ pokoknya. Kanan kamu ya." Sahut yang lain.
"Aku situ. Aku situ. Aku situ."
Ah, berisik sekali celoteh-celoteh mereka yang tak terarah. Tanpa ada yang mengatakan sepertinya aku juga sudah tahu maksud dari mereka. Di sisi lain ada yang sedang membenahi tempat duduk mereka agar saat menyontek nanti bisa lancar. Ada juga yang sedang sibuk mencatat contekan. Tapi, ada juga yang sibuk mania menghafal materi. Bisa dipastikan bahwa pagi itu bangku deretan depan bakalan sepi mahasiswa. Kalau sudah begitu, aku jadi merasa terasingkan. Ya, mungkin saja nanti aku akan bertanya tapi tidak untuk menyontek. Tidak akan aku ulangi menyontek versi pertamaku yang menjadikan aku panas dingin.
Ok, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, waktunya bertempur dengan "pertanyaan". "Nggeeekkkk," tengok ke kiri sebentar ahh. Wuih deretan lima bangku dari kiriku komunitas mahasiswa pada telat, cowok semua lagi. Semangat membara buat ulangan kali ini sudah pupus gara-gara aksi tak sportif pun dimulai.
Tidak pakai lama, dosen setengah baya itu langsung mengedarkan lembar pertanyaan tapi belum komplit karena tidak sama lembar isinya juga. Sekali membaca pertanyaan nomor satu aku langsung mengibarkan senyum. Bagaimana tidak, ternyata tidak sia-sia aku belajar. Daya ingatku menyerap materi ternyata bertahan hingga pertanyaan terakhir. Meskipun sudah sedikit kelelahan menulis tetapi sebisa mungkin aku selesaikan. Sesekali agar tidak terlalu pusing aku memantau tingkah-tingkah aneh teman sekelas yang bergerak cepat. Sempat dalam hati berkata.
"Sudah lagu lama ketika aku jujur maka aku yang akan dibilang munafik. Dan ketika mereka bertingkah seperti halnya para pemimpin yang membohongi rakyatnya. Maka hal itu juga yang akan mereka percaya untuk dibiasakan." Kataku dalam hati.
"Ayuk? Apa kamu pekerjaanmu sudah selesai? Tidak usah memperhatikan teman-temanmu." Tanya dosen itu.
"Eh ya belum kok Buk. (Ekspresiku kaget) Ya, kan Cuma memperhatikan nggak nyontek aku."
"Kalau sudah selesai kumpulkan saja".
Dua jam sudah ulangan yang menyebalkan itu berlangsung. Saatnya keluar ruangan, meski aku harus mendahului dari mereka. Satu dua tiga empat lima, tadi yang ada di sebelahku juga ikut keluar ruangan.
"Gimana Yuk tadi ngerjainya. Bisa nggak?" Tanya Riyan.
"Eh elu lagi elu lagi. Ah dari pada di dalem aku pusing mending keluar aja."
"Nggak mutu ya?"
"Ah, malah kamu bilang. Udah aku pendem nggak bilang juga hehehe".
"Ane juga kaleee. Hahahah".
***
"Eh, nilainya udah keluar loh. Liat yuk yuk yuk,"berisik Mira teman sekelasku.
"Ayuk, ayuk ayuk," berhamburan pada keluar ruangan.
"Iya, ada apa kok manggil-manggil aku," aku yang sedang berada di luar ruangan spontan langsung berkata demikian.
"Heh bukan manggil kamu kale. Kita lagi mau liat nilai hasil ulanga kemarin."
"Heheheh gitu ya. Kalian bilang yuk tak kira manggil aku. Jadi malu deh."
"Yang paling penting bukan malu tapi nilai. Cepetan ikut!."
"Diwajibkan ikut ya?"
Sepertinya mereka tidak menghiraukan pertanyaanku karena terburu-buru. Sedangkan aku masih berdiri di depan ruang kelas dengan rasa bingung. Lalu aku bertanya dengan perasaan sendiri,"memangnya nilai penting ya? Apa istimewanya juga nilai?". Belum samapai lima belas menit mereka yang tadi berhamburan mengepung mading demi melihat nilai hasil ulangan, akhirnya berjalan sedikit santai mengampiriku.
"Wah, keren. Nilai kamu diurutan nomor dua paling bagus loh," celoteh Mira dari belakangku. Aku hanya terdiam seperti tidak merasa ada yang berbicara denganku.
"Woyyy Ayuk. Kamu ini dia ajak ngomong nggak nanggepin sih."
Sambil menoleh aku menampakkan wajah kebodohannya. "Oh, manggil aku ya Mir. Aku kira mau ngajak liat hasil nilai lagi. Kamu nggak bedain sih bilang yuk manggil aku sama yuk ngajakin orang."
"Dasar. Susah ya ngomong sama orang oneng."
"Apa oneng Mir?"
"Orang aneh lola benteng."
"Banget Mir bukan benteng."
"Nah, itu ngaku sendiri."
Ternyata aku juga tertarik dengan rasa penasaran untuk melihat nilai. Sampai di depan mading sepi, sunyi, sepertinya aku orang terakhir yang melihat nilai. Jari telunjuku sibuk kutarik-tarik mencari nama "Dennisa Ayu Nirmala". Ternyata benar, peringakat kedua dalam daftar nilai terbaik.
"Cie cie yang nilainya bagus. Tau gitu aku nyontek kamu aja ya?" Suara Riyan dari arah belakangku.
"Woooyyy ngagetin aja sih lu. Eh kamu sama temen-temenmu juga lumayan loh nilainya liat deh," menunjuk nama Riyan dan Seno.
"Lumayan, bisa bersaing sehat kita."
Satu bulan kemudian tidak terasa ujian tengah semester tiba. Antara semangat dan tidak untuk lanjut masih bimbang. Masih ada tujuh semester lagi aku akan bersaing diantara model kehidupan yang seperti ini. Seperti kucing yang masuk di dalam kandang macan. Seperti ulama yang masuk pada ruang kemaksiatan. Ya, hal yang baik akan ikut melebur pada ruang yang mendominasi dan yang minoritas tak bisa terlihat.
"Gimana Yuk. Udah belajar kamu?" Tanya Riyan.
"Belajar atau nggak sama aja Yan. Sama-sama aku harus mearasakan kekalahan karena kurang belajar menyontek yang baik."
"Memangnya kamu mau ikut-ikutan gitu juga?"
"Memangnya selama ini aku terlihat seperti itu ya?" tanyaku kembali sambil berpaling.
"Ya, nggak sih. Aku juga gitu Yuk. Jadi air itu memang enak, menghanyutkan. Tapi jangan terlalu terbawa arus. Terkadang air juga harus bisa tenang saat dia mampu menempatkan dalam wadah yang tenang pula. Itulah yang membedakan air di sungai dan air di wadah."
"Ya, bener banget."
"Jelas nggak apa yang aku bilang tadi?"
"Eh, ya dikit. Kalau perumpamaannya air hujan terus gimana Yan? Mumpung sekarang lagi hujan."
Dengan wajah garang Riyan melototi aku. Ya, mungkin karena sikap konyolku yang kadang membuat dia panas dingin.
"Nggak usah banyak nanya loh. Masuk sono, itu si nenek udah mau masuk."
Kali ini tempat dudukku lebih menantang lagi. Tepat di depan meja pengawas dosen. Dan seperti biasa deretanku masih mahasiswa pecinta telat baru datang. Kursi di sudut-sudut ruangan penuh lah sudah dengan segala coretan contekan. Kembali aku tengok belakangku, semua telah siap dengan sekenario masing-masing. Aku? Hanya bermodal nekat dan sok tau memantapkan diri menjawab soal. UTS kali ini ada beberapa soal yang masih bingung menjawabnya. Akibat beberapa minggu ini padat kegiatan jadi sering tidur waktu perkuliahan. Saat perasaan genting akan jawaban, pernah terbesit untuk bertanya teman. Mau tidak mau aku harus bertanya meskipun sebenarnya sudah aku kerjakan, mungkin hanya memperkuat argumen yang akan akau tambahkan.
"Tia, pendapatmu nomor tiga belas gimana?" Bisikku pada teman yang ada di belakangku.
"Aku juga nggak tau. Malah nggak aku kerjakan."
"Nggekkkk," ternyata nasib baik tidak berpihak padaku. Sedikit membuat aku lelah kali ini mengerjakan soal yang segunung banyaknya. Berhenti mengerjakan, diam, tidur atau corat-coret lembar pertanyaan? Mungkin akan jadi alternatif menghilangkan pusing. Tapi, aku memilih memperlihatkan satu per satu teman sekelas saat mereka mengerjakan soal. Di pojok kiri, bangku itu ditempati mahasiswa paling cumload ssekelas. Sangat mengejutkan dia juga berhasil menikmati masa-masa menyonteknya. Entah karena soal ini yang terlalu sulit, desen yang tidak memperhatikan mahasiswa atau aku yang sok pintar tidak mau ikut nyontek? Pandanganku bergeser pada bangku-bangku sebelahnya. Sama saja, mereka menggilir lembar jawaban yang sudah dianggap sempurna untuk dijadikan contekan.
"Ayu? Dari tadi Ibu perhatikan kamu menoleh ke belakang terus. Pekerjaanmu sudah selesai." Dosen tua itu seketika sudah di depanku saat aku kembali menoleh ke depan.
"Ah, Ibuk. Ngagetin aja. Ya kan aku nggak nyontek Bu, nggak masalah kan?"
"Kalau pekerjaanmu sudah selesai kumpulkan saja".
Memang ujian kali ini tidak lebih baik perasaanku dengan jawaban yang aku tulis. Seperti tidak memikirkan hasilnya, aku terlalu percaya diri untuk keluar ruangan paling wahid. Meskipun juga terdengar sindiran teman-teman yang tidak terlalu menyukai tingkahku.
"Pintar banget dia udah berani keluar duluan."
Tidak terlalu buruk hasilnya. Meski aku harus rela turun satu peringkat dalam daftar mahasiswa nilai terbaiknya. Dan mungkin waktu UAS semster satu akan merelakan peringkat itu meluncur drastis.
***
"Yuk, gimana hasil ujianmu UAS ini?" Sapa Riyan saat aku menikmati renungan di halaman parkir kampus kecilku.
"Baru dateng kamu? Ya, biasa Yan. Cuma mau ngakak aja."
"Ada yang bagus kan tapi?"
"Aku mau ngakak karena kamu tanya gitu Riyan. Kan aku juga belum lihat hasilnya gimana."
"Dasar. Setres lu anak."
Bercanda tawa bersama Riyan, Reno, Sinyo, Ardi dan Udin sedikit membuat hati riang. Mereka memang komplotan mahasiswa telat, ya maklum saja karena rata-rata tempat tinggal mereka jauh dari kampus. Ada sisi lain yang aku dapat ketika aku punya kesempatan brkumpul bersama mereka. Sama-sama korban SNMPTN dan pelampiasannya ya PTS yang sebenarnya mereka juga masih abu-abu memilihnya.
Tepatnya hari Sabtu, semua fakultas di kampusku akan menerima kartu hasil studi. Semuanya pada ribut dengan hasil nilai masing-masing, hanya kami saja yang masih menggila di halaman parkir. Setelah waktu Dhuhur alias waktuya molor dua jam dari jadwal kelasku menerima kartu hasil studi. Dalam ruang kelas yang makin sunyi kami semua menunggu giliran dipanggil.
"Dennisa Ayu Nirmala," dosen sastra memanggilku dengan suara keras. Tanpa jawaban basa-basi aku melangkah dengan keyakinan.
"Terima kasih Bu," menyelonong begitu saja.
"Ehhhh, tunggu sebentar. Ni anak langsung pergi saja. Itu lihat hasil studi kamu! Ada satu mata kuliah yang nilainya belum keluar. Kamu temui dulu dosennya."
Mimpi apalah aku semalam. Dosen tua itu tidak memberi aku nilai. Masih penasaran bercampur jengkel seperti tidak percaya kalau hasilku kali ini mengecewakan. Dalam ruangan yang kecil aku bertatap muka dengan dosen tua itu. Sepertinya memang aku sudah garang dengan dosen satu ini.
"Bu, langsung saja. Kenapa Ibu tidak memberikan nilai kepada saya. Apa ada yang salah?"
"Saya hanya melihat nilai kamu. Ulangan nilai kamu A min, UTS B plus tapi UAS kamu kenapa E?"
"Apa Ibu hanya menilai dari hasil ujian. Bagaimana dengan keaktifan saya di kelas. Tugas saya juga terselesaikan semua. Lagi pula presensi saya juga penuh."
"Saya sudah bilang nilai akhir kamu yang akan memperngaruhi hasil akhir." Katanya sedikit keras.
"Apa Ibu tau alasan saya kenapa. Lagi pula ibu juga hanya melihat kuantitas dari kami. Ibu juga tidak memikirkan kualitas dari proses kami untuk mendapatkannya. Ibu tidak menghargai itu?"
"Ya, saya nggak mau tau. Saya hanya menggunakan data penilaian dari hasil kalian. Dan nilai itu yang akan saya kembalikan kepada kalian," kata terakhir dari dosen itu. Menggeser sedikit satu bilik dari ruangan dosen tua, aku juga mengurus tiga nilai dari satu dosen yang bermasalah. Ternyata Cuma sepele jawaban dari dosen itu ketika aku tanya kesalahanku selama ini. "Ya, nggak tau ya mbak. Mungkin nilai kamu UASnya jelek jadi ya hasilnya gituan." Sungguh tamparan keras ketika usaha itu hanya sekadar dinilai sebelah.
Keluar dari ruangan muka ini semakin kusut. Belum lagi cibiran dari teman sekelas yang menyakitkan.
"Eh kamu aktif nggak. Aku nggak nilaiku bagus loh. Yang jujur aja belum tentubisa bagus kok. Sok pintar banget." Sindir salah seorang temanku.
"Iya ya hahahahah," tawa mereka cetar menyindirku.
Kembali aku berkumpul dengan si gerombolan anak telat. Mereka pun tidak lebih baik dari aku. Tidak habis pikir ternyata proses perkuliahan tidak lebih bagus dari semasa sekolahku dulu. Aku seolah-olah hanya menjadi bagian dari kemunafikan. Tapi justru aku yang terlihat yang munafik.
"Gimana Yuk? Jadi dapat nilai?" tanya Riyan. Aku hanya bisa menggeleng kepala karena hasilnya nihil.
"Sudah Yuk. Aku paham. Memang seharusnya kita tidak di sini. Kuliah bukan hanya untuk nilai Yuk. Kamu masih punya kelebihan lain yang bisa dibanggakan dari kuliahmu." Nasehat Riyan memecahkan kebuntuanku akan nilai.
"Nggak nyang aka aja gitu, Cuma sepele yang di nilai (suara ditegaskan) Cuma nilai akhir yang diutamakan. Mereka bahkan nggak mau tau proses kita dalam mencapai itu."
"Kamu terlalu mendewakan nilai Yuk?" Tanya Sinyo.
"Aku Cuma bingung aja deh. Ternyata tidak salah juga mitos orang-orang," jawabku.
"Apa Yuk?" semakin penasaran Ardi dengan omonganku.
"PTS memang identik dengan kualitas yang miring. Meskipun tidak semuanya."
"Ya jangan gitu Yuk. Cuma kebetulan saja kita di PTS dapat dosen begitu."
"Tiga nilai dari Bu Atik aku juga dapat jelek Yan."
"Nilai itu hanya pelengkap Yuk, ketika kita mampu mempunyai kualitas yang baik."
"Hahahahahahah."
Tawa kami berenam pecah seketika. Aku saat ini memang tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal tapi setidaknya aku mendapat kawan-kawan yang bisa menjadi kelebihanku di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H