“Oh, Mbak Ratna. Silakan, Mbak!” ia lalu berteriak ke rekannya. “Buka pintu!”
Pintu gerbang depan yang tingginya nyaris dua kali lipat tinggi badanku dibuka. Mereka memberi tanda agar mobil masuk melintasi gerbang. Alan menginjak pedal gas dengan mata bengong menatapku. Ia bahkan lupa kembali menutup kaca jendela. By the look in his eyes, ia benar-benar mirip orang idiot. A cute idiot!
“Busseeett! Banyak amat penjaganya? Mama kamu orang penting ya? Pejabat kementerian? Ketua Komisi Anu? Anggota Dewan?”
Mobil berhenti di parkiran, tepat di sebelah jip Mercy punya Mama. Aku tersenyum simpul sembari melepas sabuk dan beringsut keluar mobil.
“You’ll find out soon.”
Alan ikut keluar dan mengamati keseluruhan areal bangunan rumah ini. Gedung besar bertingkat dua dengan pilar-pilar raksasa di bagian kanopi yang terang benderang diterangi lampu di sekitar taman depan. Aku tak tahu apakah ia sedang mengagumi istana kecil ini atau hanya sedang mengira-ira Mama akan seperti apa di matanya.
Kugamit lengannya menuju pintu depan yang juga dijaga dua pria bersafari gelap.
“Yes, my mom is a very rich person. Punya banyak kediaman. Sengaja milih rumah yang di sini, dan bukan rumah dinas, untuk ketemu denganmu agar suasananya lebih personal.”
Alan sepertinya tak mendengar omonganku. Ia lebih terbengong melihat para petugas itu memindai kami dengan metal detector lalu membukakan pintu depan sambil tersenyum hormat.
“Silakan, Mbak.”
Aku mengangguk dan balas tersenyum seramah mungkin.