“That and the other thing you’ll soon see in a matter of minutes.”
“O, ya? Dan apakah ‘the other thing’ itu?”
Aku meremas tangannya.
“Ntar kamu akan tahu juga. Intinya, yang harus kutegaskan sejak sekarang adalah, kamu harus mengagumi mama aku sebagai apa adanya dia. As a human being. Kan kadang kita hormat sama orang lain karena kedudukannya, jabatannya, skill-nya, sementara sebagai manusia biasa, sebenarnya dia nggak hebat-hebat amat. Banyak yang bergelar ustad, tapi manusianya ya sama aja kayak kita. Ustadnya cuman gawean doang. Mama nggak seperti itu. Dia manusia hebat. Seorang ibu yang hebat. A supermom!”
“I can see that,” sahut Alan. “Sudah sejak dulu-dulu aku tahu mama kamu orang yang sukses—di dalam maupun di luar profesinya. Meski aku juga belum tahu apa profesi mama kamu.”
Aku mengerling sambil tersenyum simpul.
“Tahu dari mana mamaku orang sukses?”
“Dari produknya ini!” ia balas meremas tanganku. “Cewek keren kayak kamu pasti hasil olahan orang keren juga. Bagiku nggak ada yang turun jatuh gratisan dari langit tahu-tahu jadi orang hebat dengan sendirinya. Pasti lewat proses. Panjang bertahun-tahun.”
Aku terkekeh. Kulepas sejenak sabuk keselamatan agar bisa bangkit mencondongkan badan untuk mencium pipinya.
“Hai, Mr. Flirtinger…!”
Alan tertawa. Tangannya nakal. Aku menepisnya mesra.