[caption caption="Sumber/RTC"][/caption]
Sebelumnya
Suara kokok ayam dan suara lantunan Azhan untuk sholat subuh, akhirnya menghilangkan semua bayangan banyang itu. Dia bangkit untuk melaksanakan perintah dari ilahi. Ddidepan pintu kamar Azis dia mendengarkan suara suara doa yang dilafazkan dengan sempurna oleh putranya. Ada titik titik bening dimata wanita itu. Namun dihapusnya cepat cepat, diapun melanjutkan langkahnya keruang belakang untuk berwuduk.
Pagi yang cerah di Sinaboi, tampak sinar mata hari muncul dari celah celah dedaunan pohon mangruf disepanjang pantai laut selat Malaka. Sinarnya yang terik terlihat mulai mengeringkan tetesan tetesan embun malam yang membasahi pohon pohon dan jalanan. Suasana diperkampungan nelayan itu mulai Nampak kesibukan. Rutinitas kegiatan sehari hari para penduduk desa mulai dilakukan. Ada yang berangkat kerja kekota Bagan Siapi Api, ada pula yang hanya bekerja dipergudangan daerah Sinaboi.
Ibu Azis setelah selesai sholat subuh, sudah meninggalkan rumahnya, untuk bekerja dipergudangan milik Baba Asiong untuk menjemur ikan ikan hasil tangkapan para nelayan yang dibeli ole Baba Asiong. Keperluan Azis dan adik adiknya untuk berangkat sekolah, tidak lagi diurus oleh ibunya, tapi melainkan diurus mereka masing masing.
“ Kudengar si Azis mau menyambung sekolahnya ke kota Bagan Siapi Api?”, Halimah teman satu pekerjaan dengan Salmah ibu Azis bertanya kepadanya, disela sela kesibukan mereka menjemur ikan.
“ Entahlah kak, akupun belum tahu kemana dia melanjutkan sekolahnya, kalau anak kakak kesekolah mana?”, Tanya Salmah. Dari jauh isteri Baba Asiong tampak mengawasi pekerjaan para buruhnya.
“ mungkin kalau anakku tak sekolah lagi?”, sahut Halimah.
“ Kenapa kak?”.
“ Kau lihat sendirilah, bagaimana kehidupan kita ini. Berapalah gaji menjemur ikan ni, sedangkan suamiku kelaut hasilnya tak mencukupi, untuk makan saja sangat sulit”, Halimah menuturkannya kepada Salmah.
“ Kalau dia tak sekolah, apa dia mau bekerja?”, Tanya Salmah, Halimah memperhatikan isteri Baba Asiong yang sedang mengawasi mereka.
“ Katanya dia mau pergi merantau?”.
“ Mau merantau kemana anak kakatu?”,
“ Entahlah Salmah, terserah dia lah, mau kemana dia pergi, lagipula diakan sudah besar”. Salmah terdiam, dia teringat akan anaknya Azis yang juga punya keinginan untuk mencari pekerjaan dirantau orang.
“ Kalau begitu sama dengan Azis kak. Azispun mau merantau juga, tapi kularang”. Kata Salmah sambil menyeka keringat diwajahnya yang tersengat panasnya mata hari pagi.
“ Kenapa kau larang diakan juga sudah besar, sebaya dengan anakku”. Jawab Halimah sambil memperbaiki letak topi rumput yang dipakainya.
“ Belum sanggup aku untuk melepasnya merantau?”, ujar Salmah. Isteri Baba Asiong mendekat kearah mereka, Salmah dan Halimah terdiam sesaat.
“ Hayya, kalau seperti ini bagaimana mau cepat selesai, kalian berdua lebih banyak cerita dari kerja”, Halimah dan Salmah hanya diam, mereka tetap mengerjakan pekerjaanya.
“ Hai…Suminah, loe datang sini”, tangannya melambaikan kearah Suminah yang juga bekerja di pergudangan penjemuran ikan milik Baba Asiong.
“ Ada apa nyonya?”, Tanya Suminah setelah mendekat.
“ Loe,,, jemur ikan disini, loe Salmah jemur ikan ditempat Suminah”, perintah istri Baba Asiong. Tampa menjawab Salmah wanita separoh baya itu berjalan kearah yang ditunjuk oleh isteri Babah Asiong.
“ Loe berdua tak bisa kasi dekat. Loe berdua kerjanya hanya banyak cerita. Kalau begini semua pekerja ua bisa tumpur”, isteri Babah Asiong menunjuk kearah Halimah, sementara yang ditunjuk hanya diam tak menjawab.
“ Loe Suminah kalau kerja jangan banyak cerita, ua nanti bisa rugi”. Katanya lagi kepada Suminah yang telah sibuk pula melakukan pekerjaannya.
“ Iya, nyonya”, jawab Suminah singkat tanpa melihat kearah isteri Baba asiong.
“ Cerewet!”, kata Suminah berbisik, setelah isteri Baba Asiong meninggalkan mereka.
“ Begitulah nasib kita sebagai buruh. Kita harus siap diperintah”, ujar Halimah sambil berbisik. Lalu keduannya hanyut dengan pekerjaannya masing masing.
Mata hari mulai meninggi, sinarnyapun semakin terik. Didepan ruangan kantor sekolah tempat azis yang akan mengambil kertas Nilai Evaluasi Murninya, sudah dipenuhi oleh para siswa kelas tiga SMP. Mereka secara antrian menunggu untuk mendapatkannya. Azis yang baru datang mencari tempat duduk yang ada didepan kantor itu, dia duduk dibangku batu yang berada dibawah pohon akasia. ia tidak melihat Bono dan Jamal. Apakah mereka sudah pulang atau belum datang.
“ Zis, kau punya sudah kau ambil?”, Tanya Maimunah begitu dia keluar dari ruangan kantor. Ditangannya ada selembar kertas.
“ Belum, aku baru sampai?”, jawab Azis
“ Kau punya sudah kau ambil?”, Tanya Azis pula.
“ Sudah ini?”, dia memperlihatkannya kepada Azis
“ Ini harus di fotocofi rangkap tiga?”, Maimunah menjelaskan
“ Kalau sudah di fotocofi, lalu dibawa kekantor lagi?”. Tanya azis ingin tahu
“ iya, fotocopinya baru dileges”. Jawab Maimunah menjelaskan lagi
“ Berapa uang pengambilannya?”,
“ Belum kukasi, nanti setelah dileges baru dikasih”.
“ Kau lihat kawan kawan berapa mereka beri?”
“ Terghantung, ada yang seratus, ada lima puluh ribu?”,
“ Kalau kau sendiri, mau kau beri berapa?”.
“ Lima puluh ribu?”, Azis terdiam, uangnya hanya ada dua puluh ribu. Apakah guru itu mau dua puluh ribu. Kata Azis dalam hati
“ Aku fotocopi dulu ya?”,
“ Oh…ya?”, Maimunah pergi meninggalkan Azis sendirian. Matnya melihat kearah pintu kantor sekolah, tapi iya juga tak melihat Maisyaroh dan Meilan.
“Zis, Nilai Evaluasi Murni mu sudah diambil;?”, Azis melihat orang yang menanyanya, dia agak gugup menjawabnya.
“ Belum buk”, kata Azis menjawab. Yang bertanya kepadanya Buk sartika, guru pengawas di sekolah itu.
“ Kenapa belum?”, Tanya Buk Sartika Lagi.
“ Uangku hanya dua puluh ribu Buk, nanti Buk guru tak menerimanya?”, Azis berterus terang.
“ Zis, untuk pengambilan Nilai Evaluasi Murni itu tidak dibayar, tidak dibenarkan untuk mengutip satu rupiahpun. Semuanya diberikan kepada siswa secara geratis. Jadi kau tak perlu membayarnya”. Buk Sartika menjelaskan peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
“ Tapi Buk, kawan kawan membayarnya, ada yang seratus ribu, ada yang lima puluh ribu”. Kata Azis sejujurnya.
“ Itu bukan paksaan Zis, tapi kerelaan hati dalam memberikannya, tak ada pemaksaan disini, kalau kau mengambil kertas itu tanpa membayar satu rupiahpun itu tetap diberikan”, Kata buk guru itu, Azis memandang wajah Buk sartika. Dalam hatinya berkata benarkah apa yang dikatakan oleh buk guru ini.
“ Uangku hanya ada dua puluh ribu, aku segan untuk memberikannya”, Azis berterus terang.
“ Sudah, kau ambil aja Nilai Evaluasi Murnimu itu, bagikan saja uangmu yang ada mereka pasti menerimanya”, kata Buk Sartika. Lalu ia meniggalkan azis dan masuk keruangan kantor. Azzis menjadi bingung, katanya tak bayar, tapi ibuk sartika menyeuruhnya memberikan uangnya yang dua puluh ribu. Artinya sama dengan membayar juga.Pikir Azis dalam hatinya.
Azis melangkahkan kakinya kearah ruangan kantor, sebelum ia sampai didepan kantor sekolah seseorang menegurnya.
“ Zis?”, suara itu sangat dikenalnya, lalu ia berpaling kearah suara yang menegurnya.
“ kau baru mau mengambil?”, Tanya Azis
“ Iya, aku baru datang?”, jawab Meilan. Ia juga terlambat datang untuk mengambil kerta Nilai Evaluasi Murninya. Keduanya memasuki ruangan kantor yang sudah lenggang. Didalam ruangan kantor itu ada dua orang guru yang bertugas memberikan kertas Nilai Evaluasi Murni para siswa. Azis dan Meilan berdiri untuk menunggu giliran. Setelah siswa yang berada duluan dari mereka selesai. Lalu giliran Azis dan Meilan.
“ Kalian punya ya?”, kata guru itu
“ Ya Buk “, jawab Maeilan dan Azis bersamaan. lalu guru itu membolak balik kertas Nilai Evaluasi Murni milik siswa yang belum diambil untuk mencari nama keduanya.
“ ini punyamu?”, katanya kepada Azis setelah menemukan milik Azis
“ Dan ini punyamu?”, kata guru yang satu lagi, memberika kertas itu kepada Meilan.
“ Kertas ini kalian fotocopi masing masing rangkap tiga. Baru kalian bawa kemari untuk dileges”, ujar guru yang satu. Azis dan Meilan keluar ruangan untuk memotokofikannya.
“ Biar aku yang memotocopi”, Kata Azis, ia meminta kertas yang ada ditangan Meilan
“ Ini uangnya?”, Meilan memberikan uang lima puluh ribu.
“ Biar uangku aja”, Azis tak mengambil uang dari Meilan, dengan naik sepeda ia membawa kertas itu ketempat potocopi yang tidak begitu jauh dari sekolah. Meilan duduk dibangku dimana Azis tadi duduk.
“ Munah?”, panggil Meilan ketika ia melihat Maimunah datang untuk melegeskan fhotocopi ketas Nilai Evaluasi Murninya.
“ Mana Azis, tadi dia duduk disini?” Maimunah menghampiri Meilan.
“ Kau punya udah selesai?”, Tanya Meilan.
“ Tinggal melegeskannya”, Maimunah memperlihatkan kertas yang akan dilegeskannya.
“ Kalau kau sendiri udah selesai?”, Tanya Maimunah pula.
“ Azis masih memotocopikannya?”,
“ Kalau begitu biar kulegeskan ini dulu ya?”. Meilan mengangguk, Maimunah memasuki ruangan kantor sekolah untuk melegeskannya.
“ Udah Mei, mari kita legeskan”, Azis menyandarkan sepedanya dibatang pohon akasia. Wajahnya tampak diliputi oleh keringatnya, karena sinar mata hari siang itu sangat teriknya. Keduanyapun melangkah memasuki ruangan kantor
Bersambung…….
Bagan Siapi Api 2016
Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana
“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H