Mohon tunggu...
Wishna Aliadina
Wishna Aliadina Mohon Tunggu... Guru - Teacher, writer, creator.

Menulis adalah terapi yang paling ampuh untuk mengatasi kebosanan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Jomblo Bersaudara

11 Juni 2021   13:00 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:00 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu Fikar mengajak jalan-jalan Nisa di luar. Sekadar ingin mengatasi kebosanan hidup. Lagipula Fikar masih libur kerja. Nisa memang sudah biasa boncengan berdua dengan kakaknya. Ke mana-mana selalu berdua. Makan di luar pun selalu berdua. Mereka bagaikan sepasang kekasih. Mereka sampai di parkiran alun-alun kota.

"Mau makan apa?" tanya Fikar.


"Bakso." Jawab Nisa tanpa pikir panjang.


"Bakso lagi bakso lagi, yang lain aja lah." Ketus Fikar.


"Kan tadi Kang Fikar tanya mau makan apa, ya udah aku jawab bakso." Sungut Nisa.


"Emang lo nggak bosen sama bakso?" Tanya Fikar heran.


"Nggak."


"Pantesan." Fikar tertawa kecil.


"Maksudnya?" Nisa bingung.


"Badan lo bulet kayak bakso." Katanya sambil terkekeh.


"Langsing begini dibilang bulet? Kayaknya kaca mata lo perlu di-service deh Kang." giliran Nisa yang membalas dengan menyentil bagian tengah kacamata Fikar.

Ternyata kalau dilihat-lihat, kakak Nisa ini tak kalah tampan dengan para Idol Korea. Tinggi badan kakak beradik itu juga sama.

"Malam ini gue nggak mau traktir bakso." Ujar Fikar.


"Kenapa?" Rengek Nisa.


"Bosen aja tiap kali lo diajak keluar makan selalu makan bakso dan bakso." Fikar mengalihkan pendangannya.


"Ya udah kalau nggak mau beliin bakso ngapain ngajak gue?"


"Terus kalau bukan lo siapa lagi?" Fikar menonyor dahi Nisa.


"Makanya cari 'istri' dong biar nggak direpotin gue mulu." Gerutu Nisa.


"Eh, lo kira gampang apa cari istri? Udah deh nggak usah bawel!"

Skakmat! Nisa tak bisa berkata-kata lagi. Kakaknya itu dulu bekas ketua ekskul KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Jadi, wajar saja kalau dia pandai bicara. Sebagai adik, Nisa harus menghormati orang yang lebih tua. Kalau sudah begini, mengalah sajalah. Daripada terjadi 'perang dingin' di tengah kota nanti malah lebih memalukan lagi.

Kalau disinggung soal jodoh, Fikar selalu mengalihkan pembicaraan. Seolah tak mau membahas itu dengan adiknya. Bukannya trauma dengan masa lalu, tapi memang dari dulu memang tidak pernah punya pacar. Pernah suka, tapi selalu tidak sesuai selera. Fikar memang dikenal orang yang perfeksionis. Sangat peduli dengan hal-hal kecil. Segala sesuatu selalu ingin terlihat mendekati sempurna. Makanya, sampai sekarang pun ia pilih-pilih soal wanita.

Alun-alun kota memang selalu ramai pada malam hari. Banyak pedagang kaki lima menjajakan dagangan mereka di tempat yang sudah disediakan. Pengunjungnya juga ramai. Ada banyak anak muda yang sekedar nongkrong, ada juga yang mengajak keluarga, ada pula yang sekedar mampir untuk istirahat karena perjalanan jauh. Bukan hanya pedagang kaki lima, tapi juga ada wahana becak hias dengan lampu LED yang berwarna-warni, odong-odong, dan lain sebagainya.

Nisa dan Kang Fikar masih berjalan di sekitar alun-alun menikmati pemandangan yang ada. Mereka belum mau makan dulu, kata Kang Fikar nanti aja kalau sudah lelah berjalan.

"Dek, fotoin dong!" ajak Kang Fikar ke salah satu ikon yang ada di sana. "Yang bagus ya."


"Oke." Kata Nisa.

Nisa mulai memotret berkali-kali ke arah Fikar yang sedang berpose ria. Fikar memang sulit sekali difoto. Maklumlah, si cowok perfeksionis. Dari 28 foto, paling yang diambil cuma satu, yang lain dihapus. Nisa tak heran dengan kelakuan kakaknya itu. Untunglah dia adalah adik yang paling sabar di dunia.

Ketika baru selesai memotret, Fikar mendekat ke arah Nisa. Menyeleksi foto yang sudah diambil tadi. Tiba-tiba ada orang yang mengagetkan mereka. "Haaaiiiiii...... Nisa!" Seru seorang perempuan yang berada tak jauh dari Nisa.

Orang itu ternyata Asih, teman SMA-nya yang baru saja resign dari restoran tempatnya bekerja.

"Sama siapa?" Nisa menunjuk seorang laki-laki di sebelah Asih.


"Mas pacar." Bisiknya. "Kenalin ini Mas Reno. Mas Reno, ini teman SMA-ku Nisa yang aku ceritain itu lho." Nisa dan Reno saling bersalaman.

"Oh, jadi ini si 'profesor' itu ya?" Terka Reno.


"Iya, Mas Reno. Nisa ini dulu pinter banget lho di jurusanku, sampai bisa ikut olimpiade." Ujar Asih.


"Iya, makanya kamu sering nyontek aku 'kan." Sindir Nisa.


"Hehehe, iya." Asih meringis.


"Nisa kuliah di mana?" Tanya Reno yang secara tiba-tiba membuat jantung Nisa berdegup kencang.

Pertanyaan itu mengingatkan akan kejadian yang dialaminya. Kejadian yang membuat hatinya teriris-iris. Kalau diingat lagi, seolah-olah dunianya sudah hancur. Waktu itu Nisa berdebat dengan ibu dan bapaknya karena memberitahukan keinginannya untuk kuliah setelah lulus SMA. Tapi mereka tidak mengizinkan.

Nisa diam sejenak lalu melirik ke arah Fikar, berharap lelaki itu tidak mendengar percakapan mereka. Fikar masih sibuk memilah foto di ponselnya.

"Aku ... Nggak kuliah, Mas." Jawab Nisa.


"Kerja?" Tanya Reno menebak.


"Iya." Jawab Nisa singkat.


"Di mana?" Tanya Reno lagi.


"Starla Resto."


"Oh, restoran yang dulu tempat kerjanya Asih ya?" Reno menoleh ke arah Asih.


"Iya. Tapi bukan di sini. Aku ditempatkan di Jatingaleh, Semarang."


"Wah, jauh tuh!" Sahut Asih.


"Kapan-kapan kita mampir makan ke sana yuk." Ajak Reno pada Asih.


"Boleh boleh boleh." Kata Asih menirukan suara Upin Ipin.


"Itu ganteng banget siapa? Pacarmu ya?" Asih menunjuk ke arah Fikar.


"Bukan. Dia kakakku, Kang Fikar."


"Ah, masa'? Pacar kali." Asih terlihat tak percaya.


"Kakak kandung." Jelas Nisa.


"Aku sering ke rumahmu tapi kok nggak pernah lihat ya."


"Dia kan kerja." Ujar Nisa.


"Kakak adik tapi kok nggak mirip?" Asih bertanya lagi.


"Apa perlu tes DNA?" Nisa mulai kesal dengan pertanyaan Asih yang sepertinya tidak percaya bahwa Fikar itu kakak kandungnya.

"Jawabnya biasa aja dong, Sist. Dasar anak IPA!" Asih terkekeh.


"Kita mau makan siomay nih. Mau ikut?" Ajak Reno.


"Nggak, ah. Kalian duluan aja. Lagipula aku nggak mau ganggu keromantisan kalian."


"Ciee yang masih jomblo!" Asih menyindir.


"Ciee yang pengen diperhatiin!" Nisa membalas.

Dua sejoli itu berlalu meninggalkan Nisa dan Fikar setelah mereka bersalaman dan mengucapkan salam. Kebetulan Nisa juga sudah mulai lapar. Lalu dia mengajak kakaknya untuk makan. Warung yang ditujunya adalah warung nasi goreng.

"Kang, pulangnya jangan kemaleman ya! Besok pagi gue udah berangkat lho." Pinta Nisa.


"Hm." Fikar hanya bersuara tanpa memperhatikan Nisa. Ia masih sibuk dengan ponselnya.
"Ini gue lagi ngomong sama elu." Nada suara Nisa mulai meninggi.


"Iya tahu." Kata Fikar singkat.


"Jangan main ponsel melulu!" Sentak Nisa.


"Tumben lo nglarang gue." Fikar masih tak berpaling. "Bentar ini lagi ngurusin kerja."


"Ooh..." Nisa manggut-manggut.


"Di sana gajinya bagus nggak?" Tanya Fikar yang sudah meletakkan ponselnya.


"Bagus. Ada bonusannya juga. Segala kebutuhan terpenuhi. Ada uang transportnya juga. Jadi nanti gajiku bisa utuh. Lumayan bisa buat nabung buat kuliah." Jelas Nisa.


"Oh my God! Belum nyerah lo ternyata." Heran Fikar.


"Ya belum lah. Kan masih ada kesempatan dua kali lagi."


"Gue nggak yakin." Desis Fikar.


"Ihs!" Nisa kesal sendiri.


"Lo bakal kerja di sana berapa tahun?" Tanya Fikar yang sudah melahap nasi gorengnya.


"Nggak tahu. Nggak mau lama-lama juga. Kalau kelamaan nanti aku nikahnya kapan?"


"Mana gue tahu?" Fikar melahap makanannya lagi. Ponselnya sudah diletakkan di meja.


"Dasar jomblo!" Sindir Fikar.


"Lo juga jomblo!" Nisa membalas.


"Sesama jomblo jangan saling menghina." Gerutu Fikar.


"Siapa yang mulai duluan?"


"Elo, Dek!" Jawab Fikar menunjuk dengan garpunya.


"Makanya cari istri dong Kang biar nggak 'jomblo'." Nisa mendengkus kesal.


"Plis deh, jangan bahas itu lagi! Kita pernah bahas ini sebelumnya." Terang Fikar.


"Gue malu Kang sama teman gue yang tadi. Dikira lo itu pacar gue." Luah Nisa.


Mendengar perkataan Nisa barusan, Fikar malah tertawa. "Terus lo bilang apa?"


"Gue bilang, kalau lo itu kakak kandung gue." Gumam Nisa.


"Ooh..." Fikar meminum teh hangatnya. Maklum malam ini agak dingin di luar. Mendung agaknya.

Nisa semakin mengetatkan jaket merahnya. "Kenapa ya Tuhan menciptakan kakak laki-laki seganteng lo?"


"Emang kenapa? Lo jatuh cinta ya sama gue?" Fikar malah terkekeh.


"Ih, nanyanya kok gitu." Pipi Nisa mulai merah menahan malu.


"Alhamdulillah baru kali ini adik gue bilang gue ganteng." Fikar tersenyum.


"Wajarlah. Lo kan cowok. Kalau cewek ya cantik." Nisa mulai menghabiskan makanannya. Minumannya juga tinggal sedikit.


"Kang Fikar tuh aneh deh. Masa' jauh-jauh datang ke sini cuma beli nasi goreng sama teh hangat. Masak sendiri di rumah kan bisa." Gerutu Nisa.


"Justru yang aneh itu yang berkesan." Luah Fikar.


"Maksudnya?" Nisa tidak mengerti.


"Satu bulan ke depan kan kita udah nggak ketemu lagi. Gue ajak lo ke sini bukan sekadar jalan-jalan, tapi biar lo kangen sama kakak gantengmu ini." Jelas Fikar.

Nisa tertawa terbahak-bahak. Niat hendak membalas perbuatan Fikar tadi yang sudah menertawakannya. "Jangan terlalu berharap!"


"Jangan bilang begitu! Nanti kangen beneran lho." Fikar mengukir senyum ke arah Nisa. Adik perempuannya itu kalau cemberut tampak menggemaskan. Fikar mengambil ponselnya, ingin memotret ekspresi aneh Nisa. Namun, yang dia lihat adalah ekspresi yang sebaliknya.

"Kok nangis?" Tanya Fikar khawatir.


"Siapa yang nangis?" Nisa mengambil sehelai tisu di meja lalu ditempelkan di kedua matanya.


"Tuh kan gue bilang apa. Pasti lo bakal kangen sama gue."


"Iya iya." Kini giliran bawah lubang hidungnya yang dilap. Ada sedikit air yang keluar dari sana. "Makasih ya Kang udah mau jadi 'es jeruk' buat gue."


"Iya, sama-sama Dek." Fikar mengangguk.

"Di luar sana pasti masih banyak orang-orang yang akan menjadi 'es jeruk' buat lo. Ketika keluar dari zona nyaman, lo akan memasuki dunia luar yang lo nggak tahu bakal seperti apa. Justru saat itulah lo akan mengenal orang-orang baru dan orang-orang yang luar biasa. Gue yakin, lo pasti bisa menghadapinya." Terang Fikar.

"Iya, Kang. Doain aja ya." Pinta Nisa.


"Pasti." Fikar meminum habis minumannya.


"Tapi jangan cemburu ya."


"Cemburu?" Fikar tampak bingung.

"Di sana kan banyak cowoknya. Kayaknya aku bakal pilih salah satu deh." Nisa mulai berangan tak jelas sambil tersenyum sinis.

"Huh, mulai lagi nih anak!" Fikar mendengkus kesal. "Awas lo ya!  Gue belum rela kalau lo pacaran."


"Tuh kan Kang Fikar cemburu." Nisa mulai tertawa. Kali ini tertawanya lebih keras dari yang tadi. " Dasar jomblo!" Teriak Nisa.

Fikar membalas lebih kuat lagi. "Lo juga jomblo!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun