Kita mungkin mampu untuk berlatih membaca tanda-tanda emosi orang lain dan mengidentifikasi apa yang sedang dirasakan orang tersebut berdasarkan tanda-tandanya. Namun itu tidak lantas berarti kita mampu benar-benar merasakan apa yang dirasakan orang tersebut.
Sementara untuk berempati dengan orang lain dalam konteks memiliki koneksi emosional, kita butuh untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan dan dengan demikian sanggup memenuhi kebutuhan emosional mereka.
EIP bisa saja sangat pandai menghafal tanda-tanda emosi yang umum ditunjukkan oleh kebanyakan orang. Terutama apabila usaha tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhannya untuk diperhatikan atau dipenuhi keinginannya.
Namun kepandaian itu didasari oleh agenda dirinya sendiri, karena pada dasarnya ia tidak benar-benar bisa merasakan kebutuhan emosional orang lain.
Akibatnya, kita mungkin bisa terkecoh oleh apa yang kelihatannya seperti empati, tapi sebenarnya bukanlah empati.
Jadi kita harus bagaimana?
Intinya, EIP bisa menjadi sangat toxic dan menghasilkan complicated toxic relationship, bahkan tanpa kita menyadarinya. Karena EIP memang seringkali tersamarkan.
Anggaplah ini sebuah perspektif lain supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang berada di dalam sebuah toxic relationship dengan seorang EIP.
Sekarang kita cukup mengerti bahwa ada kalanya orang yang toxic itu memang pandai berkamuflase. EIP itu “bodoh” secara emosi tapi bukan berarti mereka orang bodoh.
Jadi ya, kombinasi dari berbagai faktor yang klop, bisa membuat seorang EIP jadi punya kesempatan memanipulasi sebuah hubungan.
Bagi kamu yang berada dalam toxic relationship…
… artinya kamu berada di dalam hubungan dengan seorang EIP. Itu yang perlu disadari.