Sepertinya harga diri mereka naik dan turun dengan mudah tergantung dari bagaimana orang lain atau lingkungan memperlakukan mereka. Akibatnya, mereka berkeras bahwa kepentingan mereka harus didulukan dibandingkan kepentingan orang lain.
“Masa kamu tega sama saya?“ begitulah dalihnya.
Lama-lama kita merasa bahwa kitalah orang jahatnya karena kita tidak mendahulukan kepentingan mereka.
3. Mereka bersembunyi di balik logika dan fakta versi mereka
EIP pada dasarnya memandang sebuah situasi secara subjektif, bukan objektif. Perasaan mereka lebih penting daripada apa yang sesungguhnya terjadi.Â
Tapi, untuk membela subjektivitasnya, mereka menciptakan fakta dan logika versi mereka sendiri. Beberapa EIP bisa melakukannya dengan sangat pandai, sehingga kita dibanjiri dengan fakta dan logika yang ngawur tapi kedengarannya hampir benar.
Yes, they can be pretty good in distorting reality.
Ujungnya, mereka menyalahkan kita dan kita mulai mempertanyakan objektivitas kita sendiri.
4. Mereka single-minded dan rigid
Single-minded artinya hanya mampu melihat dengan satu perspektif, tanpa mau tahu perspektif orang lain. Adakalanya karakteristik ini mungkin bisa membawa seseorang mencapai sukses di area tertentu.Â
Sampai level tertentu, orang bisa mencapai apa yang ia inginkan ketika ia ngotot dengan perspektifnya dan menolak untuk menerima kenyataan lain. Dengan demikian, sampai level tertentu, mereka bisa kelihatannya sukses.
Lalu kebanyakan orang akan menganggap bahwa orang sukses itu mestinya bijaksana dan cara berpikirnya pasti benar. Kita jadi gagal mengenali bahwa orang ini sebenarnya tidak selalu benar dan bahkan sama sekali tidak peduli dengan pikiran atau perasaan orang lain.