Mohon tunggu...
Willy BudimanWinata
Willy BudimanWinata Mohon Tunggu... Penulis - Work Psychologist, Family Advisor, Parenting Author, Co Founder Tanam Benih Foundation

Tulisan saya berlatarbelakang psikologi, yang berkaitan dengan keluarga, pernikahan, parenting, couple relationship, produktivitas, kerja dan karir, manajemen dan pengembangan diri.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

6 Alasan Orang Toxic Sulit Dikenali dan Bagaimana Menghadapinya

27 Juli 2022   17:40 Diperbarui: 30 Juli 2022   00:15 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: orang toxic yang sulit dikenali. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Sampai level tertentu, orang bisa mencapai apa yang ia inginkan ketika ia ngotot dengan perspektifnya dan menolak untuk menerima kenyataan lain.

Kita seringkali mengomentari orang-orang yang terjebak di dalam toxic relationship seperti ini.

“Kok mau sih digituin."
“Bodoh amat bisa sampai diperlakukan seperti itu”.
“Kalau gua sih ga bakal mau dibegituin”.
“Masa iya sebodoh itu sih”.

Ya, mungkin kita merasa kasihan sekaligus geregetan. Bagaimana mungkin ada orang yang mau membangun hubungan dengan orang  toxic yang ujungnya pasti akan terjadi toxic relationship.

Tapi ada kalanya memang tidak mudah lho mengenali seorang emotionally immatured person (EIP). Ya, orang yang toxic pada dasarnya adalah orang yang secara emosional tidak dewasa.

Kenapa EIP kadangkala tidak mudah dikenali?

1. Mereka kurang self-reflection

Self-reflection adalah kemampuan mengevaluasi tindakan diri sendiri. Saat mereka berbuat kesalahan, mereka tidak mampu untuk melihatnya sebagai kesalahan yang diakibatkan oleh keputusan yang mereka ambil. 

Biasanya mereka akan mengatakan bahwa toh mereka tidak punya maksud buruk. 

Jadi sepertinya mereka tidak salah dan tidak akan mengakui mereka salah, semata-mata karena mereka merasa intensinya benar. Di mata mereka, kitalah yang bermasalah karena tidak menghargai intensi mereka.

2. Mereka self-preoccupied

Self-preoccupied maksudnya adalah terlalu sibuk berpusat pada diri sendiri. Mereka terus menerus memonitor apakah kebutuhan mereka dipenuhi atau apakah ada sesuatu yang menyinggung mereka. 

Sepertinya harga diri mereka naik dan turun dengan mudah tergantung dari bagaimana orang lain atau lingkungan memperlakukan mereka. Akibatnya, mereka berkeras bahwa kepentingan mereka harus didulukan dibandingkan kepentingan orang lain.

“Masa kamu tega sama saya?“ begitulah dalihnya.

Lama-lama kita merasa bahwa kitalah orang jahatnya karena kita tidak mendahulukan kepentingan mereka.

3. Mereka bersembunyi di balik logika dan fakta versi mereka

EIP pada dasarnya memandang sebuah situasi secara subjektif, bukan objektif. Perasaan mereka lebih penting daripada apa yang sesungguhnya terjadi. 

Tapi, untuk membela subjektivitasnya, mereka menciptakan fakta dan logika versi mereka sendiri. Beberapa EIP bisa melakukannya dengan sangat pandai, sehingga kita dibanjiri dengan fakta dan logika yang ngawur tapi kedengarannya hampir benar.

Yes, they can be pretty good in distorting reality.

Ujungnya, mereka menyalahkan kita dan kita mulai mempertanyakan objektivitas kita sendiri.

4. Mereka single-minded dan rigid

Single-minded artinya hanya mampu melihat dengan satu perspektif, tanpa mau tahu perspektif orang lain. Adakalanya karakteristik ini mungkin bisa membawa seseorang mencapai sukses di area tertentu. 

Sampai level tertentu, orang bisa mencapai apa yang ia inginkan ketika ia ngotot dengan perspektifnya dan menolak untuk menerima kenyataan lain. Dengan demikian, sampai level tertentu, mereka bisa kelihatannya sukses.

Lalu kebanyakan orang akan menganggap bahwa orang sukses itu mestinya bijaksana dan cara berpikirnya pasti benar. Kita jadi gagal mengenali bahwa orang ini sebenarnya tidak selalu benar dan bahkan sama sekali tidak peduli dengan pikiran atau perasaan orang lain.

5. Mereka kelihatan seperti extrovert, tapi sebenarnya bukan

EIP suka menjadi pusat perhatian karena mereka self-centered. Dalam setiap percakapan, mereka ingin segalanya adalah soal mereka. Mereka ingin jadi satu-satunya yang berbicara karena mereka ingin orang mendengarkan cerita mereka saja.

Kita mungkin berpikir itu hanya karena mereka berkepribadian extrovert. Jadi wajar saja mereka seperti itu. Padahal, itu bukan karena mereka berkepribadian ekstrovert.

EIP akan menjaga supaya semua hal adalah soal dirinya dan bukan yang lain.

So you better be quiet and just listen to me because it’s all about me,” begitulah kira-kira pikirannya.

Orang yang extrovert mampu mengikuti alur percakapan dengan orang lain dan tidak keberatan untuk berpindah-pindah topik, yang belum tentu adalah soal mereka. 

Karena para extroverts mencari interaksi, bukan penonton yang mendengarkan saja. Mereka suka berbicara, tapi tidak bermaksud untuk menutup kesempatan orang lain berbicara.

6. Mereka bisa kelihatannya berempati, tanpa benar-benar berempati

Apa artinya berempati? Salah satu perspektif yang menurut saya sangat baik mengenai apa yang dimaksud dengan true empathy dikemukakan oleh Paul Ekman di dalam buku "Emotional Awareness, Overcoming the Obstacles to Psychological Balance and Compassion", yang ditulisnya bersama Dalai Lama.

Empati lebih dari sekadar kita merasa mengerti apa yang orang lain rasakan. Empati yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk beresonansi dengan perasaan-perasaan tersebut.

Begini.

Kita mungkin mampu untuk berlatih membaca tanda-tanda emosi orang lain dan mengidentifikasi apa yang sedang dirasakan orang tersebut berdasarkan tanda-tandanya. Namun itu tidak lantas berarti kita mampu benar-benar merasakan apa yang dirasakan orang tersebut.

Sementara untuk berempati dengan orang lain dalam konteks memiliki koneksi emosional, kita butuh untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan dan dengan demikian sanggup memenuhi kebutuhan emosional mereka.

EIP bisa saja sangat pandai menghafal tanda-tanda emosi yang umum ditunjukkan oleh kebanyakan orang. Terutama apabila usaha tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhannya untuk diperhatikan atau dipenuhi keinginannya. 

Namun kepandaian itu didasari oleh agenda dirinya sendiri, karena pada dasarnya ia tidak benar-benar bisa merasakan kebutuhan emosional orang lain.

Akibatnya, kita mungkin bisa terkecoh oleh apa yang kelihatannya seperti empati, tapi sebenarnya bukanlah empati.

Jadi kita harus bagaimana?

Intinya, EIP bisa menjadi sangat toxic dan menghasilkan complicated toxic relationship, bahkan tanpa kita menyadarinya. Karena EIP memang seringkali tersamarkan.

Anggaplah ini sebuah perspektif lain supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang berada di dalam sebuah toxic relationship dengan seorang EIP.

Sekarang kita cukup mengerti bahwa ada kalanya orang yang toxic itu memang pandai berkamuflase. EIP itu “bodoh” secara emosi tapi bukan berarti mereka orang bodoh. 

Jadi ya, kombinasi dari berbagai faktor yang klop, bisa membuat seorang EIP jadi punya kesempatan memanipulasi sebuah hubungan.

Bagi kamu yang berada dalam toxic relationship…
… artinya kamu berada di dalam hubungan dengan seorang EIP. Itu yang perlu disadari.

Menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan seorang EIP adalah awal yang sangat signifikan, sebab apa yang sudah kita sadari, baru bisa kita hadapi dengan baik.

Selanjutnya, salah satu hal utama yang perlu kita pahami mengenai relasi dengan EIP adalah ketidakmampuan mereka untuk menghormati boundary individu.

Kita tidak berelasi dengan setiap orang di dalam tingkat keintiman yang sama. Singkatnya, kita hanya akan mengijinkan orang-orang tertentu yang kita pilih untuk duduk di ruang makan rumah kita, tapi orang-orang lainnya barangkali hanya kita ijinkan di teras saja.

Ini artinya kita menerapkan batasan di dalam hubungan kita dengan orang lain dan kita mau mereka menghormati batasan yang kita buat.

EIP tidak akan menghormati batasan orang lain. Mereka merangsek masuk ke mana saja yang mereka mau di dalam sebuah hubungan. 

Apalagi mereka merasa, “Kita kan memang punya hubungan, apa salahnya?”. Mereka tidak punya cukup kesadaran bahwa orang lain sudah menetapkan batasan bagi mereka.

Menerapkan clear boundary atau batasan yang jelas adalah prinsip utama dalam berhadapan dengan seorang EIP.

Kita semua butuh personal space

Ini bahkan termasuk di dalam hubungan yang terdekat sekalipun, seperti suami dan istri maupun orang tua dan anak.

Betul bahwa yang namanya relasi tentu ada faktor keintiman yang artinya saling berbagi.

Tapi keintiman tidak mengabaikan individualitas. Suami dan istri tetap adalah dua orang yang berbeda, punya identitas masing-masing. Orang tua dan anak adalah hubungan sedarah, tapi mereka masing-masing tetap adalah pribadi yang punya identitas sendiri-sendiri.

Hubungan yang sehat adalah hubungan yang intim tanpa mengorbankan individualitas. Perbedaan dan identitas masing-masing individu masih diakui dan bahkan dihargai. 

Artinya di dalam hubungan, kedua pihak sama-sama perlu dipenuhi kebutuhannya, tidak bisa berpusat kepada salah satu saja. Ini yang tidak bisa ditangkap oleh seorang EIP.

Bedakan hubungan dan keterhubungan

Cara yang paling sederhana untuk mengatasi toxic relationship dengan EIP adalah mengakhiri hubungannya. Artinya, mengambil keputusan untuk tidak lagi berurusan dengannya dan tidak lagi menemuinya.

Namun katakanlah memutuskan hubungan tidaklah memungkinkan paling tidak untuk saat ini. Contohnya, kita perlu memelihara orang tua yang adalah EIP, atau kita terpaksa harus bekerja bersama dengan seorang EIP. 

Bila demikian, maka cara untuk mengelola hubungan tersebut adalah dengan mempertegas dan menjaga boundary antara kita dengan mereka.

Tiap kondisi hubungan tentu memiliki karakteristik masing-masing yang menentukan bagaimana menerapkan boundary. Namun prinsipnya adalah bedakan antara relationship (hubungan) dengan relatedness (keterhubungan). 

Hubungan mengandung kedekatan emosional, sementara keterhubungan tidak. Kita berinteraksi karena sesuatu membuat kita terhubung, tapi tidak berarti kita perlu punya hubungan.

Interaksi berdasarkan keterhubungan membuat kita lebih berorientasi pada goal yang realistis dari interaksi tersebut, yaitu apa yang menjadi tanggung jawab kita karena faktor keterhubungan kita dengannya.

Sebaliknya, kita tidak akan berfokus pada hubungan yang ada di level emosional, seperti mengharapkan kedekatan, keintiman, penerimaan, dan sejenisnya. 

Karena membawa isu emosional ke tengah hubungan dengan seorang EIP akan menariknya ke mode anak-anak yang sulit sekali untuk kita harapkan bersikap seperti orang dewasa. Itu sebabnya ia disebut emotionally immatured, bukan?

Jadi, jagalah boundary, setidaknya dengan menempatkan interaksi berdasarkan keterhubungan, bukan hubungan. Tentukan apa target yang perlu dicapai dari interaksi tersebut dan fokuslah pada itu saja.

Lepaskan sisanya dan jadilah waras. 

IG: @wbwinata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun