" Wah enak itu. Emakmu tahu sekali kesukaan Abah". Sambil tertawa terbawa suasana.
"Mari makan, Bah." Ajak Tobari sambil tertawa kecil.
Suasana sawah membawa mereka bercerita panjang lebar mengenai banyak hal. Banyak warga sedang memisahkan gambah dari kulitnya. Diiringi suara lesung cahaya fajar menyusup masuk dari cela atap cakruk yang terbuat dari jerami. Sesekali warga dusun lewat ditempat mereka makan. Sapa dan aruh ramah warga dusun melengkapi setaip waktu yang bergulir.
Riuhnya keadaan terpecah oleh suara koin yang bertemu dengan kayu. Chik...chik...chik...suara ini terus berulang. Terlihat pria paruh baya dengan kaus oblong lusuh mendekat ke cakruk tempat Abah dan anaknya ini singgah.
Tanpa berpikir panjang Abah langsung mengambil kertas minyak dari tas tempat toples opor ayam berada. Â Opor Ayam yang ada di toples dibungkuslah oleh Abah dan diberikan kepada pria paruh baya itu. Dengan cepat pria paruh baya itu berterimakasih dan segera pergi.
"Hmm, Bah. Kenapa kita harus memberikan semua semuanya kepada kakek itu". Tanya Tobari.
"Tobari kita sudah cukup. Pria paruh baya itu mungkin lebih membutuhkan, atau lebih kelaparan dari kita bukan? Kita jangan lupa untuk berbagi. Jawab Abah dengan santai dan menepuk pundak Tobari
Tobari hanya mengaguh mencoba merenungi apa yang yang dikatakan Abah.
 Angin membawa parmadani hijau seakan semakin mengudara dan menunjukan keelokannya sebagai tempat berlangsungnya daur hidup yang tidak berkesudahan. Hidup akan terus menua, dan yang baru terlahir.
**