(Ole: Sri Sudewi Widanarti)
Kaki mungil lelaki kecil terseok-seok melintasi ranah berkerikil. Alas kakimu? Berapa kilometer kau berjalan? Mentari menghangatkannya, meski tak sehangat pelukan Emak tadi malam. Wajah tak berdosa, tapi penuh goresan luka dihatinya. Goresan itu yang membuatnya matang. Dewasa dari umurnya yang sebenarnya.
Koran! Koran! Koran...!
Tangannya mengantar dunia kecil untuk dibaca puluhan pasang mata. Peluhnya terbayar dengan lembaran uang yang cukup untuk membuatnya tertawa. Sebungkus nasi dengan dua potong tahu dan tempe. Kantong celana ditutupnya rapat-rapat, agar tidak dicopet lagi. Jakarta memang belum menjadi kota yang ramah.
Jiwa yang gigih dalam perjuangan menaklukkan hidup, itu saja tidak cukup. Perlu kulit berlapis baja untuk melindunginya. Panas terik, dinginnya malam yang terkadang tanpa pelukan Emak, ditampar orang, dan ditendang sudah menjadikan kulitnya jauh lebih mengkilap dari sisik ikan yang diterpa sinar mentari.
"Permisi Pak, Bu..." ucapnya sambil mendendangkan lagu yang terkadang salah diucapkannya.
Suara cadelnya, seperti sedang menahan beban hidupnya bersama Emak. Uang receh yang mampu dikumpulkannya, tak lebih hanya persediaan makan besok. Jika ada orang yang berbaik hati memberikan uang dengan jumlah yang agak besar, ia kumpulkan, mungkin untuk mencoba menuai kembali cita-citanya yang jelas-jelas tidak bisa dicapai hanya dengan selembar uang. Terkadang uang itu hilang sebelum ia sampai di rumah.
Siapa yang mau peduli denganku? Mengapa aku bukan mereka? Diantar Ayah kesekolah dengan mobil yang melindungi kulitnya dari debu. Ah, impian kosong! Kalau sudah miskin, bukankah akan seperti ini terus? Mana ada uang jatuh dari langit!
"Emak sedang apa ya?" tanyanya dalam hati yang penuh kelelahan.
Langkah kakinya berjalan cepat. Senyum diwajah hitamnya yang tampan, tak bisa dibohongi bahwa sebenarnya masa kanak-kanaknya sangatlah suram.
Gubuk-gubuk dipinggir kali itu memang sangat mengganggu pemandangan orang-orang elit. Ya benar. Tapi kemana lagi mereka harus pergi? Berkeliaran di jalan-jalan, bukankah itu lebih mengganggu? Tak ada tempat untuk mereka.
"Emaaak...!!!" teriakannya bagai petir di sore hari, dimana lembayung bersiap-siap tenggelam.
Senyumnya pudar, wajahnya berubah geram. Dilihatnya orang-orang kekar berseragam membawa pentungan naik ke mobil pick up.Teman-temannya ada di mobil pick up itu dan sebagian yang lain dilihatnya kocar-kacir mencari tempat bersembunyi. Kepanikannya membuat langkah kakinya berat.
" Hai, cepat sembunyi! Apa kau mau dipaksa naik ke mobil itu dan ditahan?!"
"Emak di mobil itu atau lari?! Ita dimana?"
"Tidak tahu!!!" jawab temannya yang lain.
Nalurinya mengatakan tidak ingin ditahan lagi, Emak? Ita? Jika Emak ada di mobil itu, dimana akan ditahan? Tapi, kalau Emak berlari dan bersembunyi, dimana? Emaaakk...!!! Maaakkk...!!! Itaaaa...!! Tancap gas, mobil itu pergi membawa orang-orang lemah. Entah aka dibawa kemana mereka. Hanya angin yang tahu.
Gubuknya hancur. Hatinya lebih hancur lagi, karena harus berpisah dari Emak dan Ita, adik kecil yang selalu dibawa Emak. Tubuh mungilnya duduk tak berdaya, menunggu nanti malam atau besok mungkin Emak pulang. Tangan kecilnya hanya mampu membasuh peluh kemarahannya. Berkali-kali ia mengalami pengusiran seperti ini. Pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi selalu bersama Emak. Kini?
***
Tubuhnya mungil, tapi hidup dijalanan membuatnya kekar. Tak ada lagi gubuk, tempat ia kembali setelah lelah mencari uang, lebih melelahkan dari pekerja kantoran. Tak ada lagi Ita yang selalu saja bercanda sebelum tidur dan dibalas dengan senyum getir Emak yang pesimis akan masa depan anak-anaknya. Masa depan?
Kini ia harus berjalan sendiri. Tumbuh menjadi pribadi yang keras menerjang kerasnya arus kehidupan yang sangat ganas di usia belianya. Tak ada pilihan, apalagi untuk sebuah paksaan yang selalu dihadapinya.
"Jangan...jangan, Bang!"
"Ayo cepat!" paksa lelaki bertubuh besar dengan kejam.
Ditariknya masuk kedalam gubuk tua di bawah kolong jembatan. Tubuh lemahnya tak kuasa melawan kuatnya aksi pencabulan lelaki itu. Lengkingan jeritannya adalah tawa mereka. Sungguh menyakitkan bagi bocah lelaki yang seharusnya menikmati masa kecilnya itu, meski harus dijalanan. Ia meringkuk menahan sakit.
Tidak ada tempat berlindung dan mengadu. Pertiwi mengangis mendengar jeritannya, melihat satu anaknya ternoda dan berulangkali itu terjadi. Pertiwi merekam semua itu dalam ingatannya, juga kejadian yang menimpa anak-anaknya yang lain., dulu, dan kemarin. Pribadi seperti apa yang kelak ada dalam jiwanya, jika di usianya yang sekecil ini anak-anak selalu mendapat perlakuan kasar, keras, dan kejam?
"Uuughhh...aaahhh!"
Pergi meninggalkan orang-orang kejam itu menjadi pilihannya yang tepat. Hembusan angin malam menuntun kakinya kemana ia harus malangkah. Bintang-bintang menghibur hatinya yang kembali luka, berkedip lalu meneteskan embun yang menyejukkan kala ia membuka mata esok hari. Dunia kelam kembali menghapus embun itu.
***
Kumpulan yang terbuang. Ya, itulah mereka. Tangan-tangan kecil yang terus mencoba menggapai dunia mereka, tetapi terus terhalang. Diluar sana, tak ada kelembutan. Hanya suara-suara keras, wajah-wajah seram, tangan-tangan kasar. Bahaya adalah bayangan mereka. Jauh dari kehidupan didalam rumah-rumah megah.
"Mengapa hanya sedikit? Berapa kaleng yang kau dapat? Dasar pemalas!"
"Saya sakit, pak" ucapnya lirih.
"Kalau begini terus, bagaimana kita dapat uang banyak?" kemarahan lelaki tua itu membuat anak-anak yang lain menunduk, takut.
"Tapi saya sakit, Pak. Badan saya lemas" jawabnya memelas.
"Kalau masih mau bekerja, silakan. Kalau tidak..."
Diambilnya karung besar dan ditaruh dibelakang punggungnya. Pemandangan yang sangat berbeda dengan anak-anak sekolahan. Meski ia merasakan tubuhnya lemah, tetap dipaksanya agar bisa mendapatkan kaleng-kaleng yang lebih banyak lagi untuk dikumpulkan dan dijual. Tubuhnya yang hitam legam senada dengan tempat pembuangan sampah. Ya, tempatnya bekerja mencari sesuap nasi, hingga tak sadar semua yang dilihatnya gelap.
"Aaahhh...!" Ia mencoba membuka mata dan kembali meringkuk, menahan sakit.
Pertiwi kembali menahan pilu, melihat anaknya sakit, juga anak-anaknya yang lain disana. Tapi, tetap tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa memerintahkan angin untuk membelainya dan menghangatkan tanah tempat si anak tertidur.
"Lihat! Tangkap anak itu, jangan sampai lolos lagi!" perintah seorang bertubuh kekar.
"Lepas! Lepaaas!" berontak anak itu.
Baru sesaat menikmati indahnya mimpi bersama Emak, tangan-tangan kasar itu menggotong tubuh lemahnya masuk kedalam mobi. Dilihatnya lelaki yang dulu mencabulinya. Dibawa kemana aku? Tak ada kesempatan memberontak, bahkan melarikana diri. Terlalu lemah, hingga kepasrahan adalah satu-satunya pilihan.
***
Diranah wisata ini, senyum getirnya merekah. Tempat apa ini? Aku dimana? Semakin dekat dengan Emak atau semakin jauh? Laut terbalut ombak ceria tampak mengajaknya bermain-main. Tempatnya berpijak bukanlah tanah atau aspal, tapi pasir halus yang menyapa kaki-kaki mungil. Angin terasa segar, membuat naluri kekanak-kanakannya muncul. Hari-harinya hanya berlari, melompat, dan berdendang.
Pertiwi gundah gulana. Ingin mengulurkan tangannya, mengambil anak itu, dan anak-anak lain dari bahaya yang sebenarnya sedang mengancam, meski terbungkus keceriaan yang tengah dinikmatinya.
Tubuh gontainya memasuki ruangan, orang-orang aneh yang baru pertama dilihatnya terasa ramah. Bercerita dan bercanda. Tetapi... semua berakhir begitu cepat, ketika ia diajak kesebuah ruangan kosong. Disanalah kejadian nista itu terulang kembali. Berulang kali.
Hari-harinya dalah kesakitan! Kesakitan!
Ingin rasanya berlari. Tapi kemana? Tempat itu terlaku asing baginya. Bulan melirik dengan sinarnya. Gemuruh ombak tak lagi menarik hatinya. Semua yang dilihatnya kini buram. Jahat! Air matanya jatuh. Enatah menahan sakit atau marah.
"Aku harus pergi! Kemana saja. Ya!" ucapnya dengan tekad bulat.
Langkahnya hati-hati. Bola matanya bermain lincah melihat orang-orang disekelilingnya. Benarkah tidak ada yang melihat? Langkahnya dipercepat. Sepanjang jalan hanya ada pergulatan batin yang terus meledak. Ia hanya bicara pada angin, bintang, bulan, dan rumput. Berjalan dan terus berjalan, hingga alas kakinya rusak. Kepalanya pening, matanya buram, kelelahannya memuncak. Pertiwi? Ya semakin beduka. Anakku sayang...
"Lihat, Ma..!!" ucap Surya sambil menunjuk anak kecil yang terjatuh lemas dihadapannya.
" Maaf, Dik. Adik ini siapa?" Tanya Surya dengan wajah panik, tanpa jawaban dari anak itu.
Dilihatnya bocah lelaki itu pingsan. Suhu badannya panas, seperti bara api. Wajahnya pucat pasi, tak ada pesona. Matanya cekung. Tanpa berpikir panjang, dimasukkannya tubuh mungil itu kedalam mobil dan melesat cepat.
***
"Dia harus dirawat. Dimana orangtuanya?" Tanya Dokter.
"Saya tidak tahu, Dok. Tidak ada identitas yang saya temukan, tapi saya bersedia untuk bertanggung jawab terhadap biayanya, Dok" jawab Surya.
'Pemeriksaan sementara, terjadi infeksi di anusnya. Saya mencurigai dia adalah korban paedofilia. Pasti telah terjadi berulang-ulang, karena infeksinya sudah akut. Pencernaannya juga mengkhawatirkan. Untuk lebih meyakinkan lagi, sebaiknya kita tunggu sampai dia sadar. Saat ini kondisinya sangat kritis" uraian dokter mengejutkan Surya.
"Paedofilia?! Paedofil itu...?!
'Ya, kekerasan seksual terhadap anak-anak. Jika dibiarkan terus bukannya tidak mungkin akan memunculkan penyait. Anak-anak jalanan sangat rentan sekali, meski tidak menutup kemungkinan bukan anak-anak jalanan juga bisa terancam." Ujar dokter menjelaskan kepada Surya sambil berjalan.
''Hari-hari penuh penantian bagi Surya. Dia sangat iba kepada bocah lelaki malang itu. Surya sangat menyayangi anak-anak. Dirumahnya, ada dua anak yatim piatu yang diasuhnya, selain Tiara, anak kandungnya. Syifa terharu mendengar suaminya bercerita dan mengelus perutnya yang kehamilannya memasuki bulan kesembilan.
"Bagaimana masa depan anak-anak kita nanti ya, Mas? Dunia semakin tidak ramah, apalagi terhadap anak-anak" ujar Syifa cemas.
"Bukan dunianya, tapi manusianya, sayang" Surya menimpali pertanyaan istrinya.
***
Dikejauhan, dilihatnya dokter berlari. Tak lama kenudian keluar untuk memberikan penjelasan kepada Surya. Wajah dokter penuh teka-teki tentang apa yanga akan disampaikannya.
"Anak itu sudah meninggal!" ujar dokter menatap tajam mata Surya. Dibalas tatapan Surya yang tak sanggup berkata apa-apa.
"Biarlah ini diselidiki pihak berwajib. Mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya" ujar Dokter Rizal.
Hati Surya terenyuh. Tega sekali orang-orang jahat itu. Meninggalnya anak itu, berarti pupus harapan Surya dan Dokter Rizal untuk mendengarkan cerita tentang kekerasan yang dialami anak malang itu. Mungkinkah semuanya bisa terungkap tanpa adanya keterangan dari anak ini?
***
Pertiwi menangis, menahan amarahnya. Hujan deras itu, adalah air mata dukanya yang mendalam. Petir itu, adalah puncak amarah yang ingin diperlihatkannya. Angin kencang itu, adalah lantunan emosinya. Awan hitam itu, adalah gambaran masa depan anak-anak bangsa yang nestapa.
Pertiwi ingat anak-anaknya yang lain, nun jauh disana. Dulu, kemarin, atau mungkin esok! Kau torehkan luka ditubuhnya! Kau tanamkan penderitaan dimasa kecil mereka yang akan berganti ledakan dendam dimasa dewasanya! Kau tertawa dalam duka mereka! Kau rampas senyumnya dengan kesakitan!
"Lindungi anak-anak itu! Bukankah kelak bangsa ini menjadi mercusuar dunia karena anak-anak itu?! Pertiwi memohon, meski tak ada yang mendengar. Tak adakah yang peduli dengannya!? Apakah nestapanya bukan lagi menjadi nestapa kalian? Apakah air matanya bukan lagi menjadi tangis kalian? Apakah jiwa-jiwa baik hanya sedikit yang masih tinggal di bumi ini?!
Rintihan anak-anak itu hanya menjadi nyanyian pilu antara dia dan pertiwi. Selamanya...
***
Ranah: Tanah
Paedofil: Orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak kecil
note: diikutsertakan dalam lomba menulis bertema HAM kerjasama FLP dan Kedutaan Besar Swiss, GoetheHaus di Jakarta, September 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H