Pertiwi menangis, menahan amarahnya. Hujan deras itu, adalah air mata dukanya yang mendalam. Petir itu, adalah puncak amarah yang ingin diperlihatkannya. Angin kencang itu, adalah lantunan emosinya. Awan hitam itu, adalah gambaran masa depan anak-anak bangsa yang nestapa.
Pertiwi ingat anak-anaknya yang lain, nun jauh disana. Dulu, kemarin, atau mungkin esok! Kau torehkan luka ditubuhnya! Kau tanamkan penderitaan dimasa kecil mereka yang akan berganti ledakan dendam dimasa dewasanya! Kau tertawa dalam duka mereka! Kau rampas senyumnya dengan kesakitan!
"Lindungi anak-anak itu! Bukankah kelak bangsa ini menjadi mercusuar dunia karena anak-anak itu?! Pertiwi memohon, meski tak ada yang mendengar. Tak adakah yang peduli dengannya!? Apakah nestapanya bukan lagi menjadi nestapa kalian? Apakah air matanya bukan lagi menjadi tangis kalian? Apakah jiwa-jiwa baik hanya sedikit yang masih tinggal di bumi ini?!
Rintihan anak-anak itu hanya menjadi nyanyian pilu antara dia dan pertiwi. Selamanya...
***
Ranah: Tanah
Paedofil: Orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak kecil
note: diikutsertakan dalam lomba menulis bertema HAM kerjasama FLP dan Kedutaan Besar Swiss, GoetheHaus di Jakarta, September 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H