"Emaaak...!!!" teriakannya bagai petir di sore hari, dimana lembayung bersiap-siap tenggelam.
Senyumnya pudar, wajahnya berubah geram. Dilihatnya orang-orang kekar berseragam membawa pentungan naik ke mobil pick up.Teman-temannya ada di mobil pick up itu dan sebagian yang lain dilihatnya kocar-kacir mencari tempat bersembunyi. Kepanikannya membuat langkah kakinya berat.
" Hai, cepat sembunyi! Apa kau mau dipaksa naik ke mobil itu dan ditahan?!"
"Emak di mobil itu atau lari?! Ita dimana?"
"Tidak tahu!!!" jawab temannya yang lain.
Nalurinya mengatakan tidak ingin ditahan lagi, Emak? Ita? Jika Emak ada di mobil itu, dimana akan ditahan? Tapi, kalau Emak berlari dan bersembunyi, dimana? Emaaakk...!!! Maaakkk...!!! Itaaaa...!! Tancap gas, mobil itu pergi membawa orang-orang lemah. Entah aka dibawa kemana mereka. Hanya angin yang tahu.
Gubuknya hancur. Hatinya lebih hancur lagi, karena harus berpisah dari Emak dan Ita, adik kecil yang selalu dibawa Emak. Tubuh mungilnya duduk tak berdaya, menunggu nanti malam atau besok mungkin Emak pulang. Tangan kecilnya hanya mampu membasuh peluh kemarahannya. Berkali-kali ia mengalami pengusiran seperti ini. Pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi selalu bersama Emak. Kini?
***
Tubuhnya mungil, tapi hidup dijalanan membuatnya kekar. Tak ada lagi gubuk, tempat ia kembali setelah lelah mencari uang, lebih melelahkan dari pekerja kantoran. Tak ada lagi Ita yang selalu saja bercanda sebelum tidur dan dibalas dengan senyum getir Emak yang pesimis akan masa depan anak-anaknya. Masa depan?
Kini ia harus berjalan sendiri. Tumbuh menjadi pribadi yang keras menerjang kerasnya arus kehidupan yang sangat ganas di usia belianya. Tak ada pilihan, apalagi untuk sebuah paksaan yang selalu dihadapinya.
"Jangan...jangan, Bang!"