"Kalau masih mau bekerja, silakan. Kalau tidak..."
Diambilnya karung besar dan ditaruh dibelakang punggungnya. Pemandangan yang sangat berbeda dengan anak-anak sekolahan. Meski ia merasakan tubuhnya lemah, tetap dipaksanya agar bisa mendapatkan kaleng-kaleng yang lebih banyak lagi untuk dikumpulkan dan dijual. Tubuhnya yang hitam legam senada dengan tempat pembuangan sampah. Ya, tempatnya bekerja mencari sesuap nasi, hingga tak sadar semua yang dilihatnya gelap.
"Aaahhh...!" Ia mencoba membuka mata dan kembali meringkuk, menahan sakit.
Pertiwi kembali menahan pilu, melihat anaknya sakit, juga anak-anaknya yang lain disana. Tapi, tetap tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa memerintahkan angin untuk membelainya dan menghangatkan tanah tempat si anak tertidur.
"Lihat! Tangkap anak itu, jangan sampai lolos lagi!" perintah seorang bertubuh kekar.
"Lepas! Lepaaas!" berontak anak itu.
Baru sesaat menikmati indahnya mimpi bersama Emak, tangan-tangan kasar itu menggotong tubuh lemahnya masuk kedalam mobi. Dilihatnya lelaki yang dulu mencabulinya. Dibawa kemana aku? Tak ada kesempatan memberontak, bahkan melarikana diri. Terlalu lemah, hingga kepasrahan adalah satu-satunya pilihan.
***
Diranah wisata ini, senyum getirnya merekah. Tempat apa ini? Aku dimana? Semakin dekat dengan Emak atau semakin jauh? Laut terbalut ombak ceria tampak mengajaknya bermain-main. Tempatnya berpijak bukanlah tanah atau aspal, tapi pasir halus yang menyapa kaki-kaki mungil. Angin terasa segar, membuat naluri kekanak-kanakannya muncul. Hari-harinya hanya berlari, melompat, dan berdendang.
Pertiwi gundah gulana. Ingin mengulurkan tangannya, mengambil anak itu, dan anak-anak lain dari bahaya yang sebenarnya sedang mengancam, meski terbungkus keceriaan yang tengah dinikmatinya.
Tubuh gontainya memasuki ruangan, orang-orang aneh yang baru pertama dilihatnya terasa ramah. Bercerita dan bercanda. Tetapi... semua berakhir begitu cepat, ketika ia diajak kesebuah ruangan kosong. Disanalah kejadian nista itu terulang kembali. Berulang kali.