Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pertemuan

27 September 2017   18:53 Diperbarui: 29 September 2017   05:24 3905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/StockSnap

- ketika tokoh cerita jatuh cinta pada penulisnya -

Aku sangat ingin bertemu dengannya, benar-benar ingin; karena kagum, karena ia seperti teka-teki bagiku. Aku perkirakan, pikirkan; dia cantik, dengan hidung seperti hidung Julia Robert, meskipun hanya ujungnya saja; pasti tidak mancung, tetapi berujung lancip seperti itu tadi, Julia Robert. Rambutnya; panjang sebahu cukup, bahkan kurang pun tidak apa, dan tidak perlu lurus seperti rambut para putri yang berlomba mendapatkan mahkota kecantikan, atau foto dengan rambut panjang dan lurus yang ditempel di bungkus sampo.

Cerita yang ditulisnya bagiku memikat; meskipun tak pernah bertemu, meskipun aku hanya bisa menduga, merasa. Aku hidup, meskipun hanya di tulisannya, cerita-ceritanya saja, yang kadang seperti siksaan; karena dia menempatkan aku sesuai keinginan dia, terserah dia, suka-suka dia. Sudah menjadi nasibku, menjadi seorang tokoh di dalam cerita yang hidup di dalam pikiran dan cerita penulisnya. Namun semua itu membuat aku sangat ingin bertemu. Olehnya aku hidup, juga hidup, persis seperti dia yang menulis. Hidup di dalam ceritanya membuat aku juga punya keinginan, punya rasa. Dan yang aku takutkan apakah aku sudah jatuh cinta, untuknya, kepadanya, seperti cerita-cerita di karangannya?

Mungkin ia tak menyangka, tak pernah berpikir, sama sekali tak pernah, bahwa tokoh yang ditulisnya, di dalam ceritanya, ternyata mempunyai perasaan, dan hidup. Hidup yang semula hanya di pikirannya, ternyata berubah menjadi hidup yang sesungguhnya, meskipun hanya aku yang merasakannya. Aku merasakan dirinya menghipnotis, menarik perhatianku. Dan yang aku bisa lakukan; merindukannya, menginginkannya dalam satu pertemuan.

Aku menyukainya karena ia menulis bukan asal cerita, bukan asal-asalan; kadang aku ditulisnya berjalan di pesawahan dengan angin kencang, di antara padi yang hijau tua dengan cakrawala yang biru muda terang sejauh mata memandang. Aku tak menikmati pemandangan itu, tetapi aku hafal. Aku lebih jelas merasakan nafasku yang setengah tersengal, memburu satu rumah di seberang sungai di tepi pesawahan. Dari sana terlihat hehijauan pohon yang rindang berjajar-jajar mengikuti liukan sungai yang membatasi sawah dan kampung di seberang sungai.

Dan sampailah aku di rumah itu, yang dituliskannya sebagai rumah orang tuaku, dan bertemu Ragian yang menjadi adikku. Seorang yang lebih mendekati dengan perempuan yang wajahnya menempel di sampul sampo, meskipun ia berkulit coklat karena ia seorang gadis kampung. Aku yakin ia berbeda dengan gadis yang menulis cerita tentang aku.

"Sudah pulang, Mas? Bawa buku baru, kan?" tanya adikku menanyakan pesanannya. Persis bulan sebelumnya ia minta dibawakan buku sastra, karena ia suka membacanya.

"Ya?" tanyaku seperti tak mendengar pertanyaannya, atau karena aku kurang suka ia menyambutku dengan tagihan daripada ucapan apa kabar.

Setelah menaruh tas di bilik kamarku, aku menyusul masuk ke dapur dan melihatnya menyeduh segelas besar teh, sementara aku kebingungan mencari makanan di balik tudung nasi di meja makan.

"Sabar sedikit, setengah jam lagi nasi dan lauk pauknya sudah matang. Sementara, teh hangat bisa mengurangi lapar," katanya datar saja, sembari melihat wajahku kecewa.

"Jadi buku pesananku, bagaimana?" tanyanya lagi, tetap datar.

"Ayah belum pulang? Ibu?" aku menjawabnya dengan pertanyaan, masih dengan kegelisahan, kelaparan.

"Belum! Masih di pasar," kata Ragi maklum, tak mendapati buku yang diharapkannya.

"Nasi dicepatkan matang. Setelah matang, cari bukumu di tasku, dan taruh buku yang dulu di tas. Besok aku kembali ke kampus!" kataku, dan dibalas tiba-tibandengan teriakan gembira sembari memburu tasku di kamar. Ia lebih peduli pada buku daripada memasak makananku.

Akhirnya aku mencari-cari makanan sendiri, dan memasak sendiri setelah melacak di kompor, penggorengan dan panci sayur. Aku sibuk sendiri, semampuku, memasak dengan cara yang paling mudah dan cepat matang dengan wajah serius sekali karena lapar, meskipun sebagian sudah terobati oleh minuman teh di gelas besar berkuping yang disiapkan Ragian.

 "Bukumu masih dipinjam Anne," kata Ragian tiba-tiba sudah berada di dapur. Ia sudah menenteng buku yang terbuka di tangannya, membacanya, lupa dengan masakan.

"Ya, sudah," kataku tetap menggoreng tahu dan tempe, tidak terlalu peduli atau tidak tahu siapa Anne. Ragian sepertinya tidak peduli dengan jawabanku.

Kebingunganku oleh tahu dan tempe yang aku pikir matang sementara nasi belum, membuatku memilih minta bantuan Ragi.

"Ragi," kataku pelan dengan mata memelas melihat dia asyik membaca,. Karena itu ia menaruh buku di meja dapur dan membantuku mencari nasi, entah matang entah belum. Dan sebentar kemudian dia sudah mendapatkan sepiring nasi setelah mencicipnya. Aku benar-benar tak yakin ia telah mencicipi nasi yang matang atau hampir matang. Nasi mengepulkan asap di piring, seperti berebut cepat melarikan diri dari gunungan nasi di piring. Sigap tangan Ragi, mengambil cabe, garam, tomat  dan entah apa lagi. Seperti gerimis deras, penggorengan mengirim suara dari cabe dan tomat yang digorengnya.

Setelah sejenak melihat buku yang dibacanya, aku lebih senang mengudap tahu sembari minum teh yang tinggal separuh. Dan Ragian sebentar kemudian telah menggerus cabe tadi di cobek, membubuinya dan sebentar kemudian menaruh sambel itu ke gunung nasiku, berteman dengan tahu dan tempe.

Aku dan Ragian seperti berganti peran; ia kembali dengan buku dan aku dengan nasi, sambal dan tempe tahu.

"Si Anne minta bertemu, diskusi mengenai buku Kartini yang dipinjamnya," kata Ragi.

Aku terkesima dengan kata Ragi, sembari merasakan enaknya masakan sambal bercampur nasi yang setengah matang.

"Siapa Soe Hok Gie?" tanya Ragi lagi, juga tak aku jawab.

"Kalau mahasiswa harus membacanya?" tanya Ragi sekali lagi, sedangkan aku masih menikmati makananku.

"Kenapa mesti namanya Anne? Bukankah kita orang kampung? Orang kampung seharusnya bernama Ragian, Broto. Bukan Anne!" kataku membalas sambil mengunyah.

"Apa salahnya? Karena namanya Anne?" adikku kebingungan dengan wajahnya yang tetap polos.

"Kita orang kampung, Ra!" kataku memberi alasan.

"Kampung dan Anne menjadi masalah?"

"Mas, tolonglah, bertemu saja. Sudah berkali-kali dia menanyakan. Tetapi kamu tidak pernah mau menemui. Kalau kamu tidak suka, ya, tidak apa," Ragi tak bisa menyelesaikan sanggahannya.

Dan aku masih menikmati sambal dan goreng tempe dengan nasi putih panas yang sudah menjadi hangat. Beginilah orang kampung, makan hanya dengan sambal dan tahu tempe. Sebenar-benarnya orang kampung. Anne bukan orang kampung padahal dia di kampung. Itu alasanku saja; karena aku sedang memikirkan penulisku. Masih ada sambal, masih ada tempe, tetap saja aku makan, karena aku orang kampung. Alasan yang sangat tepat, meskipun ternyata membuat Ragian risau hati.

Tiba-tiba saja, aku sadar bukan Anne atau aku yang membuat Ragi risau. Tetapi karena Ragi sendiri sedang menyukai seseorang, dan takut orang itu tidak suka padanya, seperti Anne menyukai kakaknya, dan tak berbalas.

Akhirnya demi Ragi, aku bertemu dengan Anne, yang cantik, suka membaca, berambut sebahu dan mempunyai ujung hidung persis Julia Robert. Tetapi buatku dia bukan seorang penulis yang membuatku hidup. Kami hanya berbagi cerita, terutama tentang buku, tentang tokoh-tokoh dalam cerita; kadang kebodohan, buku yang sudah dibaca tetap saja dibaca. Kami senang dengan cerita yang terutama dari Anne dan Ragi.

Anne, buatku ia sempurna, malah terlalu sempurna; pipi yang bersih, jidat yang sedikit menggembung, gigi yang rapi, dan bibir yang setengah basah. Terlalu sempurna, alasan yang pasti tidak diterima Ragi lagi, yang aku buat-buat saja. Hanya karena aku memikirkan yang lain, yaitu penulisku saja.

Aku mellihat Ragi yang gembira. Tampaknya ia mempunyai harap, bahwa pertemuanku dengan Anne, kurang lebih sama antara pertemuannya dengan laki-laki yang menarik hatinya, entah besok sore, atau minggu depan, yang aku harap semoga tidak terlalu lama.

Tetapi yang pasti ia tidak tahu kalau aku tidak mau memikirkan orang lain, tetapi hanya penulisku saja.

Di hari lain dia menuliskanku lagi, menarikku ke cerita yang lain. Cerita yang ditulisnya, lagi-lagi, seenak dirinya sendiri.

Aku diceritakan hidup di satu kota dengan sungai yang lebar. Rumah-rumah, bangunan-bangunan yang berjajar rapi, menjadi keseharianku, mengemudikan perahu dari rumah ke kota, atau ke pasar, atau ke bundaran, atau alun-alun.

Kota yang ramai. Orang-orang setengah berteriak ketika berbicara antar perahu, dengan keakraban, dengan kegembiraan, yang seakan-akan, memang hidup di kota itu harus gembira. Dan perahu hilir mudik, bergantian. Seringkali penumpang perahu adalah orang-orang pendatang, yang berwisata, menikmati sungai, dan bangunan di sekitarnya. Sekali lagi, semua orang terlihat suka, bahagia. Banyak tawa di sungai itu. Pembicaraan seolah-olah dengan gampang terjadi antara orang yang baru dikenal.    

"Broto, kamu longgar, kan? Mau menjemput penumpangku?"

"Hei, ada apa? Pulang lebih awal?" tanyaku membalas teriakan Simon.

"Mau tidak mau, aku harus bekerja setengah hari saja. Ada pertemuan keluarga istriku," Simon menjelaskan dan mendekatkan perahunya pada perahuku.

"Dia ini wisatawan. Rombongan tetapi tidak banyak. Temui Kania saja. Bilang, aku tidak bisa, mendadak ada pertemuan." Simon memberi penjelasan, membalas kebingunganku.

Dan sebentar kemudian aku sudah meluncur pelan ke tempat Kania di terminal perahu. Beberapa teman dengan perahunya berkumpul. Masing-masing sudah punya janji dengan agen masing-masing. Dari perahuku terlihat beberapa orang di tempat Kania. Dan aku mendekatkan perahuku.

"Broto, kau lihat Simon?" teriak Kania.

"O, ya, pasti," jawabanku.

"Dimana dia? Kenapa dia tidak datang?"

"Dia wakilkan aku. Ada pertemuan dengan keluarganya, mendadak," kataku pada Kania.

Kania menjelaskan maksudnya, dan memintaku mengantar wisatawan melewati kota, juga untuk menikmati pusat kuliner di dekat pasar.

"Sebentar kurang satu orang, masih di kamar mandi," kata yang satu orang.

Rombongan itu lima orang, muda-muda, dua orang perempuan, dua orang laki-laki. Aku menyapa mereka, tersenyum ramah dengan rasa kegembiraan yang ada di kota itu.

"Anne, cepatlah!" kata yang satu orang.

Aku berangkat membawa mereka. Anne tidak banyak bicara, sepertinya pendiam, berbeda dengan teman-temannya. Ia malah mengeluarkan buku dari tasnya dan membukanya.

"Jangan kencang-kencang, Broto!" teriak Kania dengan kedua telapak tangan membungkus mulutnya membentuk corong.

"Buku ini pas ceritanya," teriak Anne pada teman-temannya.

"O, ya? Tidak salah tempat kita, ya?" balas salah satu temannya.

"Anginnya, airnya, perahunya, bangunannya," balas Anne.

"Ya, perahunya," kata temannya melirik ke aku.

"Masukkan tangan ke air. Air sungai, rasakan dingin atau hangatnya," kataku,"mestinya hangat, seperti suasana dan orang-orangnya."

Anne dan teman-temannya mencelupkan tangan mereka dan merasakan gelombang air yang dibelah perahu kecilku. Wajah mereka memperlihatkan rasa penasaran. Kecantikan Anne mendebarkanku. Sempurna. Namun aku tidak berani memikirkan itu. Aku hanya ingin dia yang sederhana. Aku yakin penulisku sederhana wajahnya. Dia tidak cantik, tetapi cukup  membuatku suka.

Setelah perjalanan yang pertama, Anne memintaku mengantarkannya sekali lagi. Kali ini malam hari. Dan sekali lagi ia berkata memang persis seperti yang dikatakan di dalam buku, air yang berkilauan karena sinar lampu, lampu-lampu yang membayang di dalam air, dan cahaya-cahaya yang bertebaran mengikuti bangunan-bangunan yang berjajaran di samping kiri dan kanan sungai.

"Bagaimana kau bisa hidup di tempat seperti ini? Menyenangkan sekali," kata Anne

"Tentu menyenangkan. Tetapi lebih enak kalian. Bisa bebas. Hidup di sini, ya, begini terus," kataku lebih menjelaskan aku yang tak tahu dunia luar sama sekali.

"Ah, tetapi hidup seperti ini juga sudah cukup. Di pusat kuliner tadi bagus sekali. Orang-orang hampir semua tertawa, berteriak. Piring dan sendok, gelas, seperti ikut berbicara dengan bahasanya sendiri; teng tang ting tung, bersusulan. Dan suara api dan arang yang gemeretak, dan masakan yang memecah suasana dengan suaranya sendiri-sendiri," kata Anne.

"Kata-katamu sepertinya baru aku dengar. Belum pernah ada orang mengatakan seperti itu!" kataku sambil menambatkan perahu.

"Aku akan tunggu di sini,"kataku membiarkannya pergi.

Aku diam di perahu, menyapa beberapa temanku yang masih mengantarkan wisatawan.

Aku diam saja berlama-lama di sana. Anne tidak kunjung kembali. Aku berniat menyusulnya di pasar seni. Tetapi aku tidak tahu mau kemana, apakah ke tempat rajutan, lukisan, batik? Pasar seni itu luas, cukup luas. Penulisku tidak menuliskan ceritanya. Ia berhenti. Apa yang terjadi? Aku harus diam terus? Anne bisa saja menonton pertunjukkan musik, pameran lukisan, merajut, batik, tembikar. Dan  aku bingung. Hanya duduk dan berdiri saja di atas perahu ini. Aku tidak mau diam saja.

Aku mencari Anne. Tempat pertama yang aku temui adalah pameran lukisan. Aku menduga Anne pasti senang melihat, mencermati lukisan yang dipamerkan di tempat ini. Mungkin malah ia minta dilukis oleh para pelukis di jalanan sana. Yang membuatku terkejut, satu lukisan memperlihatkan apa yang dikatakan Anne tadi di perahu, jelas sekali. Dan satu perahu tertambat di halte perahu dengan seorang berdiri di perahu itu, sementara seorang perempuan muda berjalan menjauhi perahu itu mulai menyusuri jalan, terlihat seperti Anne. Beberapa perahu yang lain bertebaran di sana-sini, yang kosong, yang sedang mengantar penumpang, dan yang menunggu sepertiku.

Pikiran tentang lukisan itu membuatku kembali ke perahu tak percaya dengan yang aku lihat. Semakin tak percaya karena di sungai itu masih ada beberapa perahu di sungai mengantarkan wisatawan. Aku celingukan, bingung. Aku ada dalam satu lukisan. Aku hidup di dalam lukisan. Anne, dimana Anne?

Kebingunganku seketika membuatku kembali melihat lukisan itu. Ya, memang lukisan. Dan aku semakin tak percaya, karena aku sudah berada di dalam satu ruangan yang aku tak tahu. Beberapa lukisan menempel di dinding. Aku cermati seperti di pameran tadi. Dan salah satunya ternyata lukisan seorang perempuan di dapur dengan suasana kampung dengan cobek di tangannya, dengan asap mengepul dari kompor minyak yang terlihat menanak nasi, dan seorang pemuda yang ternyata adalah diriku.

Aku hanya tokoh. Aku tidak hidup. Aku hanya hidup dalam lukisan saja. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Aku bingung, terlalu bingung. Ada lukisan lagi di kamar itu, tetapi bukan aku lagi yang di sana. Mungkinkah lukisan alam itu juga harus aku lalui, sebagai tokoh manusia yang hidup, sebagai seseorang bernama Broto? Apakah akan bertemu Anne lagi di sana?

Dan lukisan Anne ada di ruangan itu juga. Hanya ia sendiri dan tampak wajah Anne saja. Dan lukisan yang lain, anak-anak muda berumur tidak jauh dari Anne, seorang laki-laki dan perempuan. Ada juga seorang laki-laki dan perempuan dewasa yang seumur serta Anne dan dua orang itu tadi.

Aku terduduk lemas di sofa panjang, yang empuk dan lembut sekali. Serasa berada di dalam perahu dan merasakan air yang diam tenang. Satu ruangan di sebelah ruangan itu tampak terang. Aku bergegas memeriksa ruangan itu, mengendap-endap dan juga masih dengan bingung dan bertanya-tanya.

Dan aku terkejut menemukan Anne di sana. Ia tertidur. Di sofa seperti di ruangan tadi dengan meja kaca yang lebih pendek, hanya separo tinggi meja Ragian. Ia benar-benar tertidur, pulas. Sementara laptopnya masih menyala. Aku mengamati Anne, dia memang Anne teman Ragian, juga Anne yang aku antar dengan perahuku tadi. Pipinya persis, dan memang itu ujung hidung Julia Robert. Apakah Anne adalah penulisku? Ia baru saja tertidur, sehingga aku harus diam di perahuku tadi?

Perlahan aku mengintip pekerjaan di laptopnya. Dan ternyata benar. Anne adalah penulisku. Aku tidak bisa menerimanya. Aku yang tidak suka dengan Anne teman Ragi, dan Anne yang sempurna di perahu itu, tetapi menemukan ia adalah penulisku, yang aku ingin temui.

Aku ingin mencintai dia yang memberiku cerita, memberiku hidup, pengalaman-pengalaman, rasa yang kadang tak bisa aku pahami. Tetapi mengapa ia adalah Anne? Ia berbeda, jauh berbeda dariku. Dia masih tidur di sana. Aku pikir dia terlalu sempurna,  dan aku pikir aku benar. Rambutnya, hidungnya, pipi, jidat, dan itu semua adalah Anne.

Aku terduduk di sofa itu, di depan Anne. Berpikir, apakah dia akan menjerit ketakutan kalau melihat aku di sini. Atau dia akan bingung juga, bagaimana aku bisa di sini? Aku sebaiknya pergi dari sini. Aku mau kembali ke dalam lukisan itu. Dan aku sudah memilih satu lukisan, untuk kembali.

Sebuah lukisan dengan begitu banyak orang di sana, hampir seperti pasar. Tempaknya itu bukan lukisan tetapi photo sebuah pameran, galeri seperti di pasar seni di kotaku itu. Biar Anne akan bercerita tentang pameran itu. Dan bagiku, sepertinya sama saja di sini atau di antara banyak orang itu, selama ada penulisku, yang membuatkanku, menuliskanku dalam sebuah cerita.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun