Aku terkesima dengan kata Ragi, sembari merasakan enaknya masakan sambal bercampur nasi yang setengah matang.
"Siapa Soe Hok Gie?" tanya Ragi lagi, juga tak aku jawab.
"Kalau mahasiswa harus membacanya?" tanya Ragi sekali lagi, sedangkan aku masih menikmati makananku.
"Kenapa mesti namanya Anne? Bukankah kita orang kampung? Orang kampung seharusnya bernama Ragian, Broto. Bukan Anne!" kataku membalas sambil mengunyah.
"Apa salahnya? Karena namanya Anne?" adikku kebingungan dengan wajahnya yang tetap polos.
"Kita orang kampung, Ra!" kataku memberi alasan.
"Kampung dan Anne menjadi masalah?"
"Mas, tolonglah, bertemu saja. Sudah berkali-kali dia menanyakan. Tetapi kamu tidak pernah mau menemui. Kalau kamu tidak suka, ya, tidak apa," Ragi tak bisa menyelesaikan sanggahannya.
Dan aku masih menikmati sambal dan goreng tempe dengan nasi putih panas yang sudah menjadi hangat. Beginilah orang kampung, makan hanya dengan sambal dan tahu tempe. Sebenar-benarnya orang kampung. Anne bukan orang kampung padahal dia di kampung. Itu alasanku saja; karena aku sedang memikirkan penulisku. Masih ada sambal, masih ada tempe, tetap saja aku makan, karena aku orang kampung. Alasan yang sangat tepat, meskipun ternyata membuat Ragian risau hati.
Tiba-tiba saja, aku sadar bukan Anne atau aku yang membuat Ragi risau. Tetapi karena Ragi sendiri sedang menyukai seseorang, dan takut orang itu tidak suka padanya, seperti Anne menyukai kakaknya, dan tak berbalas.
Akhirnya demi Ragi, aku bertemu dengan Anne, yang cantik, suka membaca, berambut sebahu dan mempunyai ujung hidung persis Julia Robert. Tetapi buatku dia bukan seorang penulis yang membuatku hidup. Kami hanya berbagi cerita, terutama tentang buku, tentang tokoh-tokoh dalam cerita; kadang kebodohan, buku yang sudah dibaca tetap saja dibaca. Kami senang dengan cerita yang terutama dari Anne dan Ragi.