"O, ya? Tidak salah tempat kita, ya?" balas salah satu temannya.
"Anginnya, airnya, perahunya, bangunannya," balas Anne.
"Ya, perahunya," kata temannya melirik ke aku.
"Masukkan tangan ke air. Air sungai, rasakan dingin atau hangatnya," kataku,"mestinya hangat, seperti suasana dan orang-orangnya."
Anne dan teman-temannya mencelupkan tangan mereka dan merasakan gelombang air yang dibelah perahu kecilku. Wajah mereka memperlihatkan rasa penasaran. Kecantikan Anne mendebarkanku. Sempurna. Namun aku tidak berani memikirkan itu. Aku hanya ingin dia yang sederhana. Aku yakin penulisku sederhana wajahnya. Dia tidak cantik, tetapi cukup  membuatku suka.
Setelah perjalanan yang pertama, Anne memintaku mengantarkannya sekali lagi. Kali ini malam hari. Dan sekali lagi ia berkata memang persis seperti yang dikatakan di dalam buku, air yang berkilauan karena sinar lampu, lampu-lampu yang membayang di dalam air, dan cahaya-cahaya yang bertebaran mengikuti bangunan-bangunan yang berjajaran di samping kiri dan kanan sungai.
"Bagaimana kau bisa hidup di tempat seperti ini? Menyenangkan sekali," kata Anne
"Tentu menyenangkan. Tetapi lebih enak kalian. Bisa bebas. Hidup di sini, ya, begini terus," kataku lebih menjelaskan aku yang tak tahu dunia luar sama sekali.
"Ah, tetapi hidup seperti ini juga sudah cukup. Di pusat kuliner tadi bagus sekali. Orang-orang hampir semua tertawa, berteriak. Piring dan sendok, gelas, seperti ikut berbicara dengan bahasanya sendiri; teng tang ting tung, bersusulan. Dan suara api dan arang yang gemeretak, dan masakan yang memecah suasana dengan suaranya sendiri-sendiri," kata Anne.
"Kata-katamu sepertinya baru aku dengar. Belum pernah ada orang mengatakan seperti itu!" kataku sambil menambatkan perahu.
"Aku akan tunggu di sini,"kataku membiarkannya pergi.