Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Double Monday

9 Februari 2017   22:58 Diperbarui: 9 Februari 2017   23:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, pintu gerbang rumah itu terbuka meskipun hari masih gelap, oleh dorongan tangan Hasto dengan sepedanya. Dengan tas ransel di punggung dia segera mengayuh sepeda cepat-cepat menyusuri jalan perumahan menuju jalan raya. Berada di jalur sepeda di jalan raya dia semakin cepat mengayuh sepeda balapnya seolah-olah tanpa peduli pada pengguna yang lain; seperti berlomba, semakin cepat, membelok, manuver dengan santai ia lakukan, sesuka dia. Berulang kali ia keluar dari batas jalur sepeda, seakan-akan ia benar-benar memburu waktu.

Sehingga, tiba-tiba saja satu mobil hampir menabraknya ketika Hasto menyerobot jalur dan klakson mobil itu pun keras membentaknya, membuat ribut pagi yang baru saja mulai. Pengemudi mobil itu tampaknya benar-benar dibuat kesal sehingga mengejarnya dan mengintainya dari jalur mobil. Beberapa kali ia membunyikan klakson, tetapi tetap tak dipedulikan oleh Hasto.

Kota belum terlalu ramai; pengendara sepeda tampak keluar dari jalan-jalan perumahan menyatu dengan motor dan mobil di jalan yang lebih besar, bertemu Hasto dan mulai beriringan makin banyak. Mereka kemudian menyatu di jalan yang lebih besar dengan jalur sepeda yang lebih lebar, hingga mulai tampak banyak bangunan yang kotak-kotak sisinya.

Hasto memutar di salah satu bangunan yang tak terlalu tinggi dan masih sepi. Tempat parkir masih kosong. Selang tak berapa lama satu mobil menyusul dengan manuver yang tergesa-gesa dan sopir mobil menghampiri Hasto dan membentak, ”Hasto, kamu tidak bisa rapi kalau bersepeda? Etika kamu di mana?”    

Hasto terkejut dan membantah, “Ada apa, Pak?” sambil menengok kanan kiri hingga melihat mobil yang di parkir itu adalah mobil yang tadi membuat klakson kencang sekali.

“Jalan itu memangnya punya kakek kamu?” bentak si bapak lagi.

Pak Melaz, bos Hasto, seorang yang pemarah dengan bicara yang keras, dengan kumis paling tebal di kantor itu, dan kepala sedikit botak. Mata pak Melaz sedikit merah, kurang istirahat. Dandanannya rapi, kemeja lengan panjang berwarna gading polos, celana hitam, dengan sepatu mengkilat. Sabuknya berwarna hitam. Rambut disisir ke belakang, basah oleh minyak, sangat rapi.

“Saya, kan tidak salah, Pak?” tanya Hasto.

“Kamu tidak salah, menurut kamu! Menurut saya tidak punya etika!” bentak Pak Melaz.

Mereka saling bantah sembari terus berjalan cepat masuk kantor. Pak Melaz membuka pintu kantor sendiri.

“OB pemalas, jam segini belum datang. Maunya apa anak itu? Sudah dikuliahkan, malah jadi pemalas!” pak Melaz menggerutu.

Hasto masuk kantor setelah berganti baju, dari seragam bersepeda menjadi seragam kantor. Ia segera duduk di ruangannya, membuka satu berkas di mejanya, dan menyalakan komputernya. Ia terlihat membuka buku dan mencermatinya, memeriksanya. Sebentar kemudian dia mengeluarkan buku besar dari tasnya dan mencermatinya di satu halaman.

“Kopinya, Mas,” kata OB sambil menaruh segelas kopi.

“Oke, trims!” Hasto menyahut tanpa melihat.

Dan si OB terus berjalan mengarah ke ruang pak Melaz. Ia membuka pintu dan meletakkan segelas kopi, segelas teh, dan segelas besar air putih.

“Tompi, kamu terlambat lagi?” tanya Pak Melaz mulai sibuk di mejanya.

“Kok lagi? Sama sekali tidak, Pak!” jawab Tompi.

Pak Melaz marah kepada Tompi. Ia menjelaskan bagaimana ia membuka pintu sendiri. Dan Tompi menjelaskan bahwa ia ada di dapur, padahal sudah membersihkan meja, mengepel, tinggal menyiapkan minuman saja.

“Bagaimana pintu masih terkunci?” tanya pak Melaz lagi tampak sibuk sekali dengan dokumen-dokumen.

“Saya ada di dapur, ya, pintu saya kunci lagi. Demi keamanan!” jawab Tompi tak mau kalah.

Tompi lalu menceritakan bagaimana kantor sebelah kecurian hanya dalam waktu seperempat jam, alias lima belas menit. Cepat sekali. Kejadiannya minggu lalu. Ia mendengar dari security di pos depan. Dan pos depan, kehilangan jejak. Dari CCTV, dari nomor motor, dan segalanya buat mengecek. Hasilnya nol. Jadi kuncinya ada di pencegahan, kehati-hatian.

“Jangan sampai kantor kita kecurian juga!” Tompi mengkhiri penjelasannya.

“Jam berapa mereka kecurian? Malam hari, bukan pagi hari!” balas pak Melaz.

“Ya, tapi pencurian, kan, terserah pencurinya. Mau pagi, mau siang, mau malam, terserah dia. Kita hanya bisa jaga diri, Pak!” balas Tompi sekali lagi.

Mereka masih berdebat, dan terus berdebat. Pak Melaz sembari mulai sibuk dengan berkas-berkasnya. Ia membuka, memeriksa dan menulis di buku agendanya. Ia mengecek berkas lagi dan kadang berkas itu diletakkan lagi saja, sepertinya tak penting.

“Kamu dibilang telat. Akui saja!” kata Pak Melaz membuka tasnya.

“Pak, meja sudah bersih. Berkas-berkas sudah aku rapikan. Yang lama ada di lemari. Yang baru sudah di depan meja. Bagaimana mungkin saya dikatakan terlambat?” balas Tompi.

“Bawa ke Hasto, buat 2 hari lagi!” pak Melaz, menyodorkan satu kumpulan berkas ke Tompi.

“Besok, jangan telat lagi!” kata pak Melaz.

“Saya tidak terlambat. Saya tidak mungkin terlambat. Karena nanti jam sepuluh, saya ada jadwal kuliah!” sanggah Tompi.

“Cepat, kasihkan Hasto! Dan jangan karena kamu bisa kuliah, kamu jadi membantah,” bentak pak Melaz.

Dan Tompi berjalan ke arah Hasto. Di mejanya, Hasto sedang berbicara di telpon dengan pak Melaz. Pak Melaz menjelaskan berkas yang dibawa oleh Tompi. Dan Hasto segera membuka filenya. Ia menerima berkas dari tompi dan sekaligus membuka file di komputernya.

“Dua hari lagi kata pak Melaz!” kata Tompi dengan senyum penuh pada Hasto.

“Ya, oke!” kata Hasto menatap Tompi.

Setelah beberapa lama kantor itu telah ramai dengan kedatangan teman-teman sekantor Hasto; sebagian besar perempuan-perempuan muda dan pria-pria muda, beberapa tampak juga yang telah seumur sedikit di bawah pak Melaz. Mereka mulai sibuk di tempat masing-masing; dengan lembaran-lembaran kertas, dengan komputer di meja, telpon yang sering berdering, dengan emosi dan konsentrasi yang terlihat di wajah. Beberapa terlihat saling berdiskusi sebentar, berbicara sambil menunjuk kertas yang mereka pegang.

Tompi membawakan minuman, menaruhnya di meja masing-masing secangkir, sambil mengatakan, “Saya ada kuliah jam sepuluh.” Kata-kata yang diucapkannya setiap menaruh cangkir. Kadang dengan menambahi, “Hanya hari ini saja.” Kadang ditanggapi dingin, tetapi ada juga yang menanggapi, “Bukannya kuliah sore hari? Mengganggu, dong?” dan Tompi menjawab, “Hanya hari ini, saya sudah bilang!” Mereka masih sibuk hingga siang hari, mengeluhkan Tompi tidak membantu mereka.

Di jam istirahat sebagian dari mereka makan bersama-sama di kantin di bagian belakang. Hasto dan teman-teman kantornya tampak di antara mereka. Di sana mereka terlihat ramai, memesan makanan, sebagian masih berdiskusi, tentang pekerjaan, tentang musik yang sedang tren, film dan yang lainnya.

“Sebenarnya, kita ini butuh satu hari lagi. Enam hari itu tidak cukup, tidak pernah cukup,” kata Hasto pada teman-temannya.

“Ya, tapi kalau kamu sudah punya delapan hari kerja, kamu juga akan bilang, ”kita butuh satu hari lagi.”

Dan hasto saling bantah, karena pekerjaan itu selalu dikejar waktu deadline, tak pernah cukup selesai.

Di hari lain, mereka akan bercerita hal lain, tentang hal yang sehari-hari terjadi; macet, tidak ada taksi, dan yang lainya.

“Aneh lho. Aku mimpi sedang bermain baseball. Aku lempar bola, dan dipukul jauh sekali, hebat sekali. Giliran aku lihat orang itu, ternyata kakekku!”

Teman-teman Hasto tertawa. Sebagian mendengar serius. Sebagian lagi usul, bahwa kakeknya yang sudah meninggal ingin bermain kasti dengan Hasto.

Hasto masih diburu-buru dengan kesibukannya. Di hari Senin dia harus meeting di kantor, siang hari. Ia sangat sibuk di hari Senin, selain untuk mempersiapkan meeting, dia juga harus mengerjakan pekerjaan hariannya. Di sore hari ia harus menemani pacarnya menonton. Ia menonton dengan membawa tas dari kantor, berisi berkas-berkas kantor.

“Aduh, kamu tidak pernah meluangkan waktu khusus, lho, buat aku. Nonton saja masih harus bawa tas gede begitu!” kata pacarnya, Rosi.

“Banyak pekerjaan. Belum selesai. Ayo cepat,” katanya ketika sedang makan sehabis menonton.

Hasto asyik menikmati makannya dengan diperhatikan oleh Rosi. Dan tiba-tiba ia kaget melihat Rosi, dan menanyakan kenapa dipandangi seperti itu.

“Sudah, ayo makan,” kata Hasto.

Di hari berikutnya, Hasto masuk kantor seperti biasa. Ia mengayuh sepedanya cepat-cepat, tergesa-gesa. Ia segera membuka berkas-berkas dan mengerjakan dengan komputernya. Sementara teman-temannya masuk dengan tergesa-gesa dan membicarakan hari Senin pasti sibuk sekali, jalan yang macet, dan segala hal yang sepertinya mendesak semua. Hasto mendengarkan mereka mengeluh dan seperti tak peduli. Ia tetap bekerja seperti biasa. Hingga jam makan siang pun ia masih seperti biasa hingga di telepon oleh Rosi, “Ingat, nanti sore jam setengah tujuh sudah di sana ya!”

Dan Hasto membalas, ”Kok, menonton lagi? Kita kan hanya sekali menonton seminggu, di hari Senin!”

Rosi membalasnya, “Ya, memang Cuma sekali. Sampai ketemu nanti, ya. Cium sayang!”

Hasto bingung sebentar dan melanjutkan makan siangnya tak peduli dengan kata-kata Rosi.

“Ayo, cepat! Meeting!” kata temannya.

“Ha? Meeting? Hari Selasa kok meeting?” kata Hasto.

“Bangun, To! Ayo meeting!” kata temannya, sambil mencubit pipinya. Dan satu per satu, mereka meninggalkannya.

“Hari Senin? Meeting? Lagi?” tanyanya bingung sendiri, hingga ia bertanya pada penjaga kantin. 

”Senin,” kata penjaga kantin

Seketika itu juga Hasto bergegas menuju ruang kantor dan langsung menuju ruang meeting. Dilihatnya, di sana pak Melaz sudah duduk dengan berkas-berkasnya di meja, dan Tompi mengedarkan minuman mineral dan meletakkan di meja masing-masing satu di depan kursi.

“Ah, Hasto, cepat sekali kau mau meeting. Silakan duduk!” kata pak Melaz.

“Oh, tidak pak. Ini hari Selasa kan?” tanyanya.

“Terserah kamu. Cepat meeting!” kata pak Melaz santai sekali, tak peduli, sibuk sendiri dengan dokumennya.

Tompi membalas Hasto dengan bahasa isyarat menunjuk kalender dan menggerakkan tangannya supaya cepat-cepat menyiapkan meeting.

Hasto kembali ke ruang besar dan melihat teman-temannya mulai meninggalkan meja dan menuju ruang meeting.

Hasto masih bingung dan berdiri di samping mejanya, ketika Tompi menghampirinya, “Cepat, ditunggu Pak Melaz!”

Ia bergegas ke mejanya merapikan dokuen-dokumennya sembari memperhatikan teman-temannya yang sudah beranjak ke ruang meeting, sebagian merapikan dkumen-dokumen. Dia terlihat bingung, bertanya-tanya hingga akhirnya ia bergegas mengikuti meeting.

Di meeting menjadi kacau oleh Hasto yang tidak siap. Dia seperti linglung. Dia hanya mengikuti saja meeting itu, sembari berharap cepat selesai. Begitu juga teman-temannya memperhatikan Hasto, menjadi bingung dengan Hasto yang tak siap.

Setelah meeting Hasto merasakan ada masalah, dan membuatnya bingung. Dia sepertinya telah berada di hari yang salah.

“Kenapa di meeting kamu seperti itu?” tanya temannya.

“Apa?” Hasto tak peduli. Dia memperhatikan ruangan kantor seperti sebelum meeting tadi, seperti berputar semua, membuatnya bingung.

“Kamu sakit? Kamu lembur apa semalam?” tanya temannya menyambung pertanyaan dan kesal tak mendapat tanggapan yang diharapkan.

Sementara Hasto menjawab, “Tidak apa-apa,” sembari melirik telepon genggamnya, memikirkan seseorang, perlu menelepon seseorang, dan juga melirik jam dinding di ruang itu.

Dia menelepon Rosi menanyakan apakah ia akan menonton atau tidak dan Rosi menjawab, “Iya, sudah berangkat!”

Hasto menengok jam tangannya dan segera bergegas. Dia terlihat terbengong-bengong. Dia seperti melihat ruangan kantor seperti berputar-putar. Teman-temannya yang masih bekerja pun seperti berputar-putar juga.

Hasto semakin sibuk, dan terlihat kelelahan. Minggu ia bermain baseball dengan teman-teman klub. Setelah itu, ia mengalami Senin yang dua kali, dobel. Dan ia tak mengerti. Ia tetap sibuk seperti biasa, bersepeda, membawa berkas ke rumah dan bekerja lagi, dan ia harus mengalami dua kali senin setiap minggu.

Pak Melaz memberinya banyak tugas. Dan Hasto semakin kelelahan, kadang tidak bisa menerima juga dengan Rosi yang selalu meminta agar jangan tertidur ketika di bioskop dan itu menjadi perdebatan di antara mereka. Kejadian yang dulu tidak pernah terjadi, dan Rosi tak mengerti bagaimana bisa terjadi, tetapi Hasto sendiri seperti tak bisa bercerita, tak akan bisa dimengerti. Begitu juga ketika makan bersama, Hasto terlihat dingin. Dia terlihat lelah. 

Sementara itu, Pak Melaz menemui seseorang di bandara, perempuan bernama Nina. Ia melaporkan bahwa ia sedang mencari seseorang supaya menjadi pimpinan divisi, persiapan sudah berjalan. Dan ia menyerahkan berkas-berkasnya. Mereka terlihat serius membicarakan masalah kantor dan divisi baru yang direncanakan, berdiskusi, dan Pak Melaz terlihat sangat menghormati perempuan itu, meskipun umurnya jauh lebih muda. Mereka kemudian bersama-sama menuju kantor, tetapi perempuan itu turun di tempat lain.

Di hari Senin, ternyata Nina menonton di bioskop seperti tempat Hasto dan Rosi menonton. Di sana ia menemui Hasto dan berkenalan tanpa setahu Rosi. Mereka berbicara santai dan bertukar kartu nama. Setelah itu mereka menonton film masing-masing.

Setelah pertemuan itu, Hasto beberapa kali bertemu dengan Nina dan mereka semakin akrab. Hasto kadang-kadang menemui Nina di rumah kosnya. Mereka saling bercerita tentang pekerjaan masing-masing. Hasto bercerita bahwa di kantor ia sibuk sekali karena ia mengalami dua kali Senin.

“Dua kali Senin?” Nina bingung dengan penjelasan Hasto, “orang-orang punya hari Senin, malah banyak, setiap bulan ada empat, setiap tahun ada,”

“Maksudku, setiap Minggu, ada dua Senin,” kata Hasto, yang membuat Nina tertawa dan membantahnya, “Tidak mungkin.”

Hasto menceritakan setiap Minggu ia ada meeting dua kali, berurutan, karena hari Senin dua kali. Senin, Rosi minta nonton. Dan besoknya, dia minta lagi, karena hari Senin lagi. Dia lelah juga merasakannya, tetapi orang lain pasti akan mentertawakannya jika ia menceritakannya. Nina menghentikan tawanya ketika Hasto mengakhiri ceritanya. Tiba-tiba ia seperti bersalah ketika Hasto meliriknya, karena mentertawakan cerita Hasto. Maka ia mengalihkan perhatian Hasto, “Cantik mana, antara Rosi dengan aku?”

Dan Hasto menjawab, “Nina!”

Nina tertawa lagi, sembari mengatakan, “Kalau Rosi yang bertanya, pasti kamu menjawab, Rosi!”

Dan Nina segera menyambung dengan bahasa yang halus, mesra, romantis. “Dasar laki-laki!” Hasto hanya tersenyum mendengar kata-kata Nina. Mereka saling melihat, memperhatikan satu sama lain, saling diam, dan terpesona satu dengan yang lain, “Aku jujur kok,” kata Hasto pelan, santai, terdengar jelas dan Nina sangat memperhatikan kata-kata Hasto. Nina seperti terkejut mendengar Hasto mengatakannya dengan lembut sekali. Tetapi ia terkesiap dan segera mengalihkan pandangannya, menghindar dari pandangan Hasto. Nina menjawabnya, “Ya, aku percaya, kok,” lembut ia berkata, hingga Hasto juga diam memperhatikan dan tersenyum pada Nina. Nina melanjutkan lagi, sambil memandang Hasto, menatapnya, “Laki-laki memang pembohong.” Dan Nina tertawa lagi. Hasto terlihat tersipu malu, telah dikerjai oleh Nina.

Hasto sepertinya sudah lelah, ribut, kacau dengan kondisi itu, dua kali Senin dalam seminggu membuatnya bekerja semakin keras. Tetapi ia masih bisa mengatasi pekerjaannya, bahkan menghadapi Rosi dan ditambah Nina kenalannya.

Setelah beberapa lama Hasto mengalami semuanya, satu hari Hasto dipanggil oleh pak Melaz ke ruangannya. Sementara pak Melaz malah sibuk di ruang tamu dengan tamunya. Di ruang pak Melaz, Hasto terkejut bertemu dengan Nina.

“Hei, Nina, kamu melamar pekerjaan di sini?” katanya memulai cerita. Dan ia mengakrabi Nina dengan cerita-ceritanya, begitu juga Nina menyambung akrab cerita dari Hasto, sembari menunggu pak Melaz. Mereka bercerita tentang film, musik dan lain-lain, dan Hasto menceritakan kehidupan kantor yang sangat dinamis. Pekerjaan banyak pasti Nina akan senang berada di kantor itu.

“Hasto!” pak Melaz tiba-tiba sudah di depan pintu ruangannya, dan menyuruh Hasto supaya duduk yang sopan, jangan mengganggu Nina. Ia menyuruh menghormati Nina.

“Bu Nina, ini Hasto! Hasto, ini bu Nina!” kata pak Melazt memperkenalkan mereka berdua.

Kita akan berbicara mengenai pembentukan divisi baru dan Hasto, aku memilih kamu memimpin divisi itu. pekerjaan akan dijelaskan langsung oleh bu Nina,” dan pak Melaz menyerahkan langsung kepada bu Nina. Hasto pelan-pelan, seperti berbisik, ”Kenapa tidak bilang-bilang?” sambil tersenyum kecil menghindari pandangan pak Melaz.

“Oke, Hasto, santai saja silakan duduk,” kata Nina menunjuk sofa, mempersilakan Hasto duduk ditemani Pak Melaz.

Di sana Hasto kurang nyaman, karena ia salah kira bahwa Nina yang dikira temannya ternyata adalah orang dalam kantor yang selama ini masih sekolah. Ia pulang untuk mewakili tugas dari ayahnya.

“Hasto, kamu bisa serius?” kata pak Melaz yang melihat perilaku Hasto kurang memperhatikan, kebingungan.

“Oke, Hasto. Ikuti kata pak Melaz ya!” kata Nina sambil melirik Hasto. Pak Melaz melihat keanehan di antara mereka.

Siang itu di ruang pak Melaz, Hasto mendapat penjelasan panjang lebar mengenai divisi yang akan dipimpinnya sampai sore, menjelang jam pulang.

“O, ya. Sebagai penghargaan, sebagai tanda, ini ada hadiah. Silakan dibuka!” kata Nina diperhatikan oleh pak Melast.

Dan Hasto membuka hadiah dari Nina, ternyata adalah pemukul baseball. Hasto keluar ruangan dengan tongkat baseball di tangan kanan di pundaknya, dan di kiri memegang berkas-berkas dari Nina dan pak Melaz.

Di mejanya, Hasto mendapat ucapan selamat dari teman-temannya. Dan sebagian mencandainya, “Ingat, ajak kakekmu bermain baseball!”

Terakhir adalah Nina keluar dari kantor diikuti pak Melaz memberi selamat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun