Ia berkata bahwa jika mereka melintas dengan berjalan kaki, anjing-anjing itu tidak akan keluar mengejar. Anjing-anjing hanya mengejar jika mereka berlari. Maka ketika mereka menyadari sudah cukup dekat dengan tempat itu, mereka berjalan kaki. Masing-masing menggenggam sebuah batu.
Â
Pada akhirnya kegiatan lari-lari kecil yang secara rutin mereka lakukan bersama empat anak lainnya, pada pagi itu, bubar. Semua orang dari mereka lintang pukang ke rumpun bambu, menerabas pagar tanaman perdu berdaun serupa teh setinggi badan mereka, memanjat dinding rumah dan pekarangan, lalu terengah-engah berselonjor kaki di halaman masjid, menekuri kaki-kaki mereka yang lecet terantuk batu, kerakal, dan kerikil, terbarut dinding bata dan pondasi bangunan yang belum jadi. Dimana itu terjadi? Di sebelah utara, dua dusun dari dusun mereka. Anehnya, dengan gemetar dan luka-luka di badan, mereka terkekeh menertawai muka panik masing-masing.
Â
Setelah bertahun-tahun setelahnya Rara dan Dyah dapat bertemu untuk suatu urusan, di kampung lain, seperempat jam mengendarai motor dari tempat tinggal Rara.
Â
Rara merasa beruntung sudah menyampaikan maksudnya sebelum memulai pembicaraan yang sensitif ini. Anak-anak yang akan ia privat itu, adalah anak orang ini. Rara bukan merasa jijik sebenarnya. Jika boleh jujur mengatakan padanya saat itu, mengingat Rara perlu pergi ke beberapa tempat untuk mengajar tepat setelah mengajar di rumahnya, ia perlu lingkungan yang sekira bisa membantu pakaiannya tetap suci, paling tidak, dengan usaha minimal. Cukup memercik, menepis, dan mengibas, misalnya. Dan untungnya karena Rara sudah mengatakan akan ikut sembahyang di rumahnya, pada pergantian jam belajar antara adik dengan sang kakak, ia harap, ada sebuah kemafhuman untuk mengamankan hewan menggemaskan itu. Rara, jauh di dasar hati, menolak untuk membuatnya tersinggung.
Â
"Berapa rumah yang harus dikunjungi dalam satu hari?" tanya Dyah.
Â
"Empat, paling tidak," jawab Rara. Dyah terbeliak, "dan jedanya biasanya cukup untuk sembahyang, waktu perjalanan, dan mengatur buku. Sebentar, pergi lagi, begitulah. Hampir-hampir seperti capung," sambungnya kemudian sambil tertawa.