Ekor yang Ada Padanya
cerpen oleh: Wening Yuniasri
Kita tidak mungkin bisa membungkam semua mulut yang telunjuknya---telunjuk para mulut itu---mengarah kepada kita. Tidak mungkin. Yang bisa kita lakukan adalah segala yang ada dalam jangkauan kemampuan kita: membungkam mulut kita sendiri.
Mendiami kamar, Rara berniat memejam sebentar. Tiba-tiba kelopak mata yang mengatup, terbuka kembali.
Pandangannya terhenti pada tas ransel hitam yang mampu memuat segala macam barang, terutama buku-buku referensi, lembar soal, dan presensi. Ada kalanya, sebuah sajadah anti air dan mukena yang terlipat amat mungil menghuni salah satu kompartmen ransel itu.
Rara, tiba-tiba, dengan segera teringat jadwal baru yang ia sanggupi hari itu. Di suatu tempat, rumah tinggal seorang kawan lama, Dyah. Rara dan Dyah berjarak usia tujuh tahun, tetangga teman bermain dan menari ketika sekolah dasar di kampung mereka. Rara dengan berhati-hati memperkirakan hal yang mungkin bisa dilakukan: sebuah antisipasi.
Mereka memiliki anjing, begitu kepala Rara menyeru. Anjing itu mungkin diberi nama, selain pastinya, diberi makan oleh sang pemilik. Apakah ia akan merasa rikuh memasuki lingkungan itu? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Meski jawaban harapannya, tidak.
Mereka telah bertemu empat hari lalu. Kios kelontong Dyah yang berada di tikungan depan masjid itu cukup mudah ditemukan. Pembicaraan mereka hampir tanpa putus bagai sebuah perjalanan rekreasi; kanan-kiri, berputar, naik-turun, melihat deret pohon cemara, tertawa-tawa sambil mengonfirmasi jadwal yang paling mungkin dari deretan hari dan jam yang bisa Rara gunakan. Salah satunya, mengonfirmasi kedatangannya ke rumah Dyah dua bulan sebelumnya untuk urusan yang sama, tapi sayangnya, tidak bertemu nyonya rumah periang yang renyah tertawa. Hari itu terjadilah komunikasi tatap mata antara Rara dengannya.
 "Oh, itu kirik, Mbak. Aku memeliharanya memang, buat menjaga rumah." Sistem kekerabatan di tempat tinggal mereka telah menempatkan Rara yang jauh lebih muda, mendapat panggilan "mbak". Itu semata-mata karena orangtua Dyah "membahasakan" panggilan "budhe" pada ibu Rara. Jika dirunut ke atas yang lebih jauh lagi, maka leluhur mereka kakak beradik. Aturan mainnya adalah, anak-anak "budhe" dipanggil dengan sebutan "mas" dan "mbak". Jadi meski Dyah lebih matang usia, Rara masih menang "awu".
Â
"Mbak lihat? Ada berjajar sepeda motor kami di depan rumah, sedangkan rumah tak berpagar. Dengan pakde dan bapaknya anak-anak memelihara burung pengicau, kerentanan keamanan di rumah kami cukup tinggi levelnya."