Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ekor yang Ada Padanya

31 Juli 2024   22:31 Diperbarui: 31 Juli 2024   22:34 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ekor yang Ada Padanya

cerpen oleh: Wening Yuniasri

Kita tidak mungkin bisa membungkam semua mulut yang telunjuknya---telunjuk para mulut itu---mengarah kepada kita. Tidak mungkin. Yang bisa kita lakukan adalah segala yang ada dalam jangkauan kemampuan kita: membungkam mulut kita sendiri.

Baca juga: Pertemuan

Mendiami kamar, Rara berniat memejam sebentar. Tiba-tiba kelopak mata yang mengatup, terbuka kembali.

Pandangannya terhenti pada tas ransel hitam yang mampu memuat segala macam barang, terutama buku-buku referensi, lembar soal, dan presensi. Ada kalanya, sebuah sajadah anti air dan mukena yang terlipat amat mungil menghuni salah satu kompartmen ransel itu.

Rara, tiba-tiba, dengan segera teringat jadwal baru yang ia sanggupi hari itu. Di suatu tempat, rumah tinggal seorang kawan lama, Dyah. Rara dan Dyah berjarak usia tujuh tahun, tetangga teman bermain dan menari ketika sekolah dasar di kampung mereka. Rara dengan berhati-hati memperkirakan hal yang mungkin bisa kulakukan: sebuah antisipasi.

Baca juga: Perayaan

Mereka memiliki anjing, begitu kepala Rara menyeru. Anjing itu mungkin diberi nama, selain pastinya, diberi makan oleh sang pemilik. Apakah ia akan merasa rikuh memasuki lingkungan itu? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Meski jawaban harapannya, tidak.

Mereka telah bertemu empat hari lalu. Kios kelontong Dyah yang berada di tikungan depan masjid itu cukup mudah ditemukan. Pembicaraan mereka hampir tanpa putus bagai sebuah perjalanan rekreasi; kanan-kiri, berputar, naik-turun, melihat deret pohon cemara, tertawa-tawa sambil mengonfirmasi jadwal yang paling mungkin dari deretan hari dan jam yang bisa Rara gunakan. Salah satunya, mengonfirmasi kedatangannya ke rumah Dyah dua bulan sebelumnya untuk urusan yang sama, tapi sayangnya, tidak bertemu nyonya rumah periang yang renyah tertawa. Hari itu terjadilah komunikasi tatap mata antara Rara dengannya.

 "Oh, itu kirik, Mbak. Aku memeliharanya memang, buat menjaga rumah." Sistem kekerabatan di tempat tinggal mereka telah menempatkan Rara yang jauh lebih muda, mendapat panggilan "mbak". Itu semata-mata karena orang tua Dyah "membahasakan" panggilan "budhe" pada ibu Rara. Jika dirunut ke atas yang lebih jauh lagi, maka leluhur mereka kakak beradik. Aturan mainnya adalah, anak-anak "budhe" dipanggil dengan sebutan "mas" dan "mbak". Jadi meski Dyah lebih matang usia, Rara masih menang "awu".

 

"Mbak lihat? Ada berjajar sepeda motor kami di depan rumah, sedangkan rumah tak berpagar. Dengan pakde dan bapaknya anak-anak memelihara burung pengicau, kerentanan keamanan di rumah kami cukup tinggi levelnya."

 

Rara manggut-manggut mendengar penuturannya. Tentu, bibir yang ia titahkan agar terentang kanan-kiri dengan maksimal itu tetap bertahta di sana, tanpa berontak dan mengerut semilimeter pun. Senyum terbaik!

 

Rumah itu berada satu rumah setelah tikungan. Cukup kentara terlihat dari kios. Dua buah sepeda motor ada di sana, dan kukira, ada tiga buah lagi, dan satu buah motor yang paling baru, tergagah di jaman ini, akan menghuni halaman depan hingga teras.

 

Dyah lalu mengisahkan kejadian kurang menyenangkan: pencurian burung dan sepeda motor setahun lalu, sebelum mereka memelihara hewan putih kecil yang sekilas disangka kucing itu. Kata Dyah, anjing akan menggonggong setiap kali ada orang yang berniat jahat. Bahkan akan menggonggongi orang yang berbau mirip anjing, sesamanya, yaitu, menariknya, orang yang di masa lalu pernah memakan daging anjing. Hal yang baru Rara ketahui dari percakapan mereka, selain kemudian ia menyebut nama seorang dari tetangga untuk dengan tersirat menegasikan kemungkinan persangkaan bahwa mereka pernah memakan. Rara ber-o panjang karenanya dengan kesimpulan di kepala: jadi lelaki bertopi hitam yang lewat tadi pernah makan daging anjing?

 

"Anjingku tidak suka menjilati, Mbak," katanya lagi sambil melihat rinci air muka lawan bicaranya, menyelidik.

 

"Kalau dengan orang baru?" tanya Rara lagi, bermaksud menyelipkan sedikit humor, mengingat bagaimana mereka di masa lalu dulu pernah lari pontang-panting menghindari kejaran anjing Pak Warso, pemilik kebun kakao. Istrinya memiliki salon kecantikan. Tempat itu, dua-duanya dipasangi dua ekor anjing besar. Melintasi kedua tempat itu di waktu subuh hanya akan membangkitkan gejolak semangat, tanpa melihat alasan pelintas jalan beraspal di depan wilayah yang mereka jaga. Meski, dengan alasan yang cukup rasional untuk mengelak dari gonggongan dan kejaran mereka, dua ekor anjing garang itu: pergi lari pagi.

 

Ia berkata bahwa jika mereka melintas dengan berjalan kaki, anjing-anjing itu tidak akan keluar mengejar. Anjing-anjing hanya mengejar jika mereka berlari. Maka ketika mereka menyadari sudah cukup dekat dengan tempat itu, mereka berjalan kaki. Masing-masing menggenggam sebuah batu.

 

Pada akhirnya kegiatan lari-lari kecil yang secara rutin mereka lakukan bersama empat anak lainnya, pada pagi itu, bubar. Semua orang dari mereka lintang pukang ke rumpun bambu, menerabas pagar tanaman perdu berdaun serupa teh setinggi badan mereka, memanjat dinding rumah dan pekarangan, lalu terengah-engah berselonjor kaki di halaman masjid, menekuri kaki-kaki mereka yang lecet terantuk batu, kerakal, dan kerikil, terbarut dinding bata dan pondasi bangunan yang belum jadi. Dimana itu terjadi? Di sebelah utara, dua dusun dari dusun mereka. Anehnya, dengan gemetar dan luka-luka di badan, mereka terkekeh menertawai muka panik masing-masing.

 

Setelah bertahun-tahun setelahnya Rara dan Dyah dapat bertemu untuk suatu urusan, di kampung lain, seperempat jam mengendarai motor dari tempat tinggal Rara.

 

Rara merasa beruntung sudah menyampaikan maksudnya sebelum memulai pembicaraan yang sensitif ini. Anak-anak yang akan ia privat itu, adalah anak orang ini. Rara bukan merasa jijik sebenarnya. Jika boleh jujur mengatakan padanya saat itu, mengingat Rara perlu pergi ke beberapa tempat untuk mengajar tepat setelah mengajar di rumahnya, ia perlu lingkungan yang sekira bisa membantu pakaiannya tetap suci, paling tidak, dengan usaha minimal. Cukup memercik, menepis, dan mengibas, misalnya. Dan untungnya karena Rara sudah mengatakan akan ikut sembahyang di rumahnya, pada pergantian jam belajar antara adik dengan sang kakak, ia harap, ada sebuah kemafhuman untuk mengamankan hewan menggemaskan itu. Rara, jauh di dasar hati, menolak untuk membuatnya tersinggung.

 

"Berapa rumah yang harus dikunjungi dalam satu hari?" tanya Dyah.

 

"Empat, paling tidak," jawab Rara. Dyah terbeliak, "dan jedanya biasanya cukup untuk sembahyang, waktu perjalanan, dan mengatur buku. Sebentar, pergi lagi, begitulah. Hampir-hampir seperti capung," sambungnya kemudian sambil tertawa.

 

"Sampai malam?"

 

Lagi-lagi Rara mengangguk. Kali ini menyeringai lebar.

 

"Ingatlah menikah," godanya yang kemudian di-iyakan saja.

 

"Anak-anak sering ke masjid juga?"

 

"Iya. Hari Rabu dan Jumat mereka TPA."

 

"Wah, baguslah kalau begitu. Jadi jadwal ini tidak mengganggu mereka," kata Rara sambil menyerahkan selembar map berisi presensi les. Dyah menyambut dan mengamatinya.

 

"Nama mereka sudah benar, kan? Khawatir ada yang keliru." Dyah tersenyum, "Sudah benar." Tahun ajaran ini si adik kelas satu, laki-laki, belum bisa membaca. Kakaknya, kelas lima, ancang-ancang untuk naik kelas enam. Segala hal yang paling mungkin agar mendapat "prestasi" maksimal.

 

"Dulu, ketika aku pertama kali tinggal di sini, aku juga sering ke masjid setiap kali sembahyang." Rara menyimak, memerhatikan wajah Dyah yang kemudian serius. "Tapi ada seseorang yang komentarnya menyakitkan hati." Tatapannya mengarah bangunan bercat hijau di seberang jalan itu. "Begitulah, aku tak mau lagi ke situ. Daripada jadi ribut. Wah, padahal pengin ke situ terus." Dagunya dimajukan, seolah-olah menunjuk tempat yang dimaksud. Rara tak dapat mengelak suasana melankoli itu. Merindukan sembahyang di masjid tanpa mengambil hati umpatan orang lain adalah pekerjaan yang sangat besar. Map bening itu disorong kembali pada Rara.

 

"Dibiarkan saja. Coba 'kepala batu', bagaimana? Tetap datang ke situ," kata Rara sambil memerhatikan bangunan hijau di seberang jalan. Seorang bapak mengalirkan keran dan berwudu.

 

"Nanti ada yang merah kuping."

 

"Kamu?"

 

"Bukan, orang itu," suaranya tertahan lebih lirih, "aku mana mungkin merah kuping."

 

"Baguslah," sahutku kemudian, menunjuk map bening itu lagi.

 

"Jadi, aku akan mulai besok di hari yang ini," sambung Rara sambil menunjuk jadwal di kertas presensi itu. Sengaja ia tulis juga jadwal mereka agar tahu dan bisa saling mengingatkan. "Nomor telepon kutulis di sebelah tulisan namaku," lanjut Rara lagi. Dyah mengangguk menyetujui. "Dan sekaligus, pamit."

 

Rara mengemasi ransel hitam di pangkuan yang mulai memerah-coklat karena berakrab-akrab dengan sinar matahari. Dyah beranjak mendekati etalase. Beberapa nampan kue di atasnya.

 

Sebungkus kue buatan tangan diberikannya sebagai oleh-oleh buat ibu Rara. Rara menerimanya dengan suka-cita. Mendapatkan buah tangan dari kawan lama yang sangat mahir membuatnya adalah hal yang menyenangkan. Ibu tentu akan sangat menyukainya, pikir Rara.

 

Rara berjalan menjauh dari kios kelontong itu, mengerling ekor kecil yang mengibas-ibas di sudut pekarangan. Didekatinya sepeda motor dan menyangkutkan plastik bungkusan. Menerapkan badan, memasang helm. Tiba-tiba sebuah lintasan datang. Kepalanya diusik pertanyaan.

 

Jadi, apakah benda ini bisa dimakan? Apa ini juga suci?

 

Buru-buru pikiran itu ditepisnya. Urusan seperti ini, ia perlu mempelajari lebih banyak lagi.

Dinyalakannya mesin motor, tersenyum lebar, mengangguk ke arah Dyah dan berlalu.***[wy]

catatan:

kirik (Jw.)=anak anjing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun