Mei, 2014. Sebuah keputusan besar Indira membawa Kamal ke dalam dunianya. Indira dan Kamal adalah magnet dengan kutup yang sama. Akan selalu bertolak belakang dan selalu butuh keajaiban untuk sepakat pada hal yang sama. Keduanya terlihat berkawan riang, bersaing sehat disegala kesempatan dan tak jarang membuat yang lain iri melihatnya. Meski tak jarang pula mengisahkan hal sebaliknya di belakang. Bukan sandiwara, tapi itulah keduanya. Manis madu dan pait racun yang suka diteguk bersama-sama.
Suatu malam di ruang tamu Indira, keajaiban berbicara sedikit pelit.
“Ra, yakin Ra Bogor-Jogja jauh Ra. Bakal susah, yakin deh! Meski kita kumpul gak banyak akurnya tapi Ra … ” , keluh kamal sambil melipat tangannya diatas meja dengan raut memelas menatap Indira.
“Teknologi canggih kali Mal, kan bisa telfon, bisa chat, dan kalau pas libur aku bisa ke Jogja atau kamu yang ke … , “ jawab Indira belum selesai.
“Bogor. Bogor lagi Ra? Aku belum siap Ra, bagaimanapun aku masih butuh … “ lanjut Kamal.
“Butuh musuh? Yakin deh. Ya kan? Kamal kita tuh udah gedhe. Ngapain sih saingan mulu. SD, SMP, SMA belum cukup Mal ?” , jelas Indira.
“Ra, sini lihat aku baik-baik. Kita bakal barengan sampek tua Ra. Yakin deh Ra gak akan ada yang saling ninggalin diantara kita. Kita bakal terus bersama.”, tatap Kamal serius sambil menepuk-nepuk pundak Indira.
Tertegun Indira mendengar kalimat-kalimat ajaib Kamal.
Hitungan hari setelah Ujian Nasional berlangsung, Kamal bergulat dengan batinya. Jogja adalah cita-cita kamal sejak awal SMA. Seni adalah bagian dari hidup kamal yang rasanya lebih-lebih penting dibanding Indira.Tapi …
“Hallo Ra, hari ini terakhir ngisi pilihan kampus Ra. Aku kerumahmu yaaa … jangan kemana-mana!” , cerocos Kamal pagi-pagi.
“Eehh …, yah ditutup. Dasar Kamal !“ , Indira kesal.
Kamal melaju dengan motor metic merahnya …
“Assalamualaikum, Indiraaa ? ”, nafas terengah-engah dan ketukan pintu yang melemah.
“Waalaikumussalam, iya sebentar yaa “, teriak mama Indira dari dapur belakang.
Cekrekkk … Pintu di buka.
“Wah Kamal toh, masuk le. Indiranya masih mandi. Tunggu sebentar di ruang tamu ya. Sini … sini, eh kamu mau minum apa le?”, sambut mama Indira seperti biasa, hangat.
“Maturnuwun tante, Kopi Kamal di rumahh juga belum habis.”, jawab kamal senyum-senyum.
“Indira mandi lama amat sih, gak tau lagi butuh apa, huh!” , gerutu Kamal membatin.
10 menit berlalu …
“Sopan banget sih orang telfon dijawab belum udah ditutup, bagusnya tadi usah dibukain pintu, hum…” , Indira sibuk mengeringkan rambut dan membawa laptop ditangan kanannya.
“Elah, ngambek. Kalo gak masalah penting juga gak akan kesini Ra.”, jawab Kamal yang ikutan ngambek.
“Tiap hari kamu ke sini Mal, tiap hari aku penting dong?”, batin Indira.
“Nih, laptopnya kalau mau makek.” , Indira meletakkan laptop di meja depan Kamal duduk.
“Udah ngisi Ra? Jadi Bogor nih? Serius? Gak berubah pikiran?” , introgasi Kamal.
“Serius lah, enak aja! Ini tuh masa depan Mal, mana bisa main-main.” , jawab Indira dengan sedikit retorika.
“Ok, aku juga deh. Bogor. Kalau gagal berarti gak jodoh.” , lemparan senyum tengil khas Kamal.
“Jodoh sama kampusnya atau …” bilang Indira.
“Emang mau sama aku ? Ngaco ah … minggir sana aku fokus ngisi pilihanku” , usir Kamal.
“Hmmm … rumah siapa ini Kamaaaal !” , perang handuk pecah.
Terik, menyengat, perut kosong dan siang bolong. Aktifitas siswa tingkat akhir pasca Ujian Nasional tidak lebih dari menikmati setiap sudut sekolah. Terutama kantin.
“Mau pesen apa nih? Es teh? Es jeruk? Soto? Bakso?” , Tia menawarkan dengan gayanya yang salles banget.
“Aku ngikut kalian aja deh mau pesen apa, lagi gak selera.” jawab Uni lesu.
“Kenapa buk? Brantem lagi ma Nuge? Elah ribet banget sih orang pacaran.” , Indira sok-sokan.
“Kayak gak pernah berantem aja sama Kamal Ra, eh tapi beda sih Kamal kan bukan pacar kamu.” Goda Dedeh.
“Dulu sempet kali pacaran ma Kamalsaurus itu. Tapi enak temenan, jadi kita sepakat putus.” , curhat Indira.
“Mana ada Ra mantan akur? Gak ada percaya deh!”, timpal Tia.
“Ada kok, aku sama Kamal baik-baik aja. Kita mau satu kampus loh nanti hihi…”, Indira pede.
Trttttttttttttt……. Trtttttttttttttt…… Getar hp di saku Indira.
“Halo Mal, ada apa?” , tanpa salam.
“Pinjem duit dong mau beli cat nih, kurang 5ribu hahahg aku tunggu di parkiran belakang yak! Buruan .. “ (tut tut tut) telfon putus.
Kebiasaan Kamaaaaaal …………………..
“Nih, 5ribu cukup? Lagi ada orderan lukis atau apa?” , Indira foundation.
“Enggak, lagi iseng aja pengen bikin-bikin. Eh Ra, ntar balik bareng yak, aku tunggu disini. Balik duluan, awas !” , ancam Kamal dengan ekspresi mirip preman.
“Kenapa sih susah bilang enggak, selalu nurutin Kamalsaurus, hufhhh” batin Indira.
Teeeeeeeeeeeeeet …………….teeeeeeeeeeeeeeeet ……………. Teeeeeeeeeeeeeet
“Yok daaaa aku balik duluan yaaa, udah ada janji sama Kamal.” Indira melambaikan tangan kepada teman-teman tongkrongannya.
“Ti ati Ra, jatuh. Jatuh cinta lagi sama Kamal haha”, teriak dede disambut tawa teman-temanya.
Indira melempar senyum dan berbegas pergi ke parkiran belakang sekolah.
“Lama banget sih Ra, panas nih !” gerutu Kamal.
“Eh, Kamalsaurus jadi orang manis dikit napa! Marah mulu, ngomel mulu, gak ada bener-benernya aku. Padahal bilang apa juga udah diturutin. Hmm”, hayoo loh Indira ngamuk.
“Sttttt………. Taraaaa….. Indira satu, aku satu. Semoga mimpi kita buat selalu barengan dikabulin sama Tuhan. Amin”, Kamal serius senyum.
Indira bengong.
“Ra aminin dong! Parah malah bengong, ni helmnya buru!”, Kamal.
“Eh apa barusan bilang apa? Sorry … sorry” , lamunan Indira buyar.
Motor melaju dibawah terik. Tidak ada obrolan, semuanya ashik dengan imaji masing-masing. Syalalala …
Setahun kemudian …
“Ra, udah beli tiket pulang belum? Mampir Jogja yuk?”, ceplos Kamal saat bertemu Indira di halte bus kampus.
“Ngapain? Sama siapa aja?, ditanya Indira malah balik nanya.
“Jalan-jalan, itung-itung Indira bayar ganti rugi karena udah bawa aku ke Bogor haha.” , jawab Kamal sambil ngakak liyat ekspresi Indira kepo
“Hahaaa gak lucu! Apaan ganti rugi. Lagian Indira gak pernah nyuruh kamu ikut kesini. Week!”, ledek Indira gak mau kalah.
“hmmmmmmm……. Raaaaa!” , habis hidung Indira ditangan Kamal.
Malioboro, 2015. Gerimis Jogja dan suasana buka puasa yang riuh ramai. Jajanan di kanan kiri, aroma bunga wangi khas klenik jawa, suara kereta kuda yang lewat, teriakan pedagang menawarkan jualanya. Hmmm …
“Kalian mau kemana lagi nih? Udah puas foto-fotonya?” , tanya Nuge, sahabat Kamal, temen SMA Indira juga yang kebetulan menjadi tourguide mereka malam itu.
“Ke Alun-alun aja beli kopi, hehe gimana?” , tawar Indira.
“Boleh, yuk Ge. Kasian ni jomblo satu ini musti ditemenin ke mana-mana.”, Kamal berjalan berlalu meninggalkan Indira dengan barang belanjanya.
“Kamaaal … Nugee tungguin ihh”, Indira rempong.
Malam berlalu dan pagi stasiun Lempuyangan sudah menanti. Kereta Sri Tanjung menunggu tenang. Dua anak manusia dari kejauhan terlihat sibuk mengatur barang bawaannya. Kamal menarik koper Indira dan menggendong ransel besarnya dan Indira sibuk dengan kantong-kantong belanjaan semalam juga gitar besar Kamal yang digendongnya. Setelah mengantri untuk boarding pass, mereka berhasil menemukan gerbong dan tempat duduk mereka. Gerbong satu, 1A /2A.
Lima menit kemudian kereta bergegas meninggalkan Jogja.
“Liyat foto-foto semalem dong Mal, sinii pinjem Hpnya!”, rebut Indira.
“Eh bentar Ra, sini aku kirim aja. Idupin Bluetooth!”, Kamal pelit.
“Udah Mal”, jawab Indira kesal.
“Eehhh ke hapus. Mampus!”, teriak Kamal memecah sunyi gerbong yang masih kosong.
“Kamaaaaaaal …………”, Indira cemberut, kesal lagi-lagi apa maunya Kamal.
Kereta siang itu panas, sama seperti Indira. Kamal keterlaluan.
Akhir 2015. Sepertinya kedekatan Kamal dan Indira mengundang tanya. Apa kali kedua mereka akan …
Indira : Mal nnton yuk! Ada film baru Mal, skalian nyri buku yg kmren kita omongin.
15 menit kemudian chat Indira di balas.
Kamal: Sorry Ra, mulai sekarang ada hati yg harus ak jaga. Mulai skg ak ga bsa lagi nemenin kamu kluar. Hehe ak baru jadian kemarin, btw ga ngucapin selamat nih? Hihi
Indira: Oh, ok Mal gpp. Selamat ya, langgeng.
Padahal kamu udah janji Mal. Tapi kenapa gini? Apa aku yang salah mengartikan Mal? Aku bahkan tidak berfkir untuk kembali jatuh cinta lagi. Dulu aku pikir Bogor adalah jawaban kenapa kita harus tetap bersama meski rasanya sama-sama mikir, kalaupun cinta itu muncul kembali tapi haruskah kita berjarak seperti sekarang? Bukankah kamu sendiri yang waktu itu bilang,
“Ra, yakin Ra Bogor-Jogja jauh Ra. Bakal susah, yakin deh! Meski kita kumpul gak banyak akurnya tapi Ra … ”
“Bogor. Bogor lagi Ra? Aku belum siap Ra, bagaimanapun aku masih butuh … “
“Ra, sini liyat aku baik-baik. Kita bakal barengan sampek tua Ra. Yakin deh Ra gak akan ada yang saling ninggalin diantara kita. Kita bakal terus bersama.”,
“Jalan-jalan, itung-itung Indira bayar ganti rugi karena udah bawa aku ke Bogor haha.”
Fake.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H